Sebuah Apartemen sederhana berdiri kokoh di sudut ibukota. Sebuah tempat yang dipilih Darren untuk menjadi tempat tinggalnya sementara.
Memang sudah satu pekan lebih ia kembali ke tanah air, dari negara tempat ia menempuh pendidikan S3 nya. Ada sesuatu yang membuatnya enggan untuk kembali ke rumah. Rumah yang membersamainya tumbuh dikala masih anak-anak dulu.
Sebuah insiden pernah terjadi ketika ia masih berusia sebelas tahun. Darren kehilangan kakak perempuannya. Sang kakak tewas jatuh dari tingkat tiga rumahnya akibat sebuah kecelakaan. Dan semua orang menyalahkan Darren, sementara yang ia tahu itu adalah kecerobohan ibunya.
Nada dering panggilan telepon berbunyi dari Handphone milik Darren. Ia tidak langsung memeriksanya, hanya melihat siapa nama pemanggil. Layar Handphone nya menunjukkan panggilan itu dari kontak yang diberikan nama ‘Ibu’.
Dua panggilan berlalu begitu saja. Ia memang sengaja mengabaikannya. Sampai akhirnya notifikasi lain masuk, yang membuat perhatiannya sedikit tercuri.
‘Nak, apakah kau sudah kembali ke tanah air? Pak Baron mengatakan kau sudah memimpin perusahaan, meski belum datang ke kantor. Bila sudah berada di negeri ini, sebaiknya datang ke rumah. Ayahmu sering menanyakan keadaanmu’
Tulisan pesan dari pengirim dengan nama kontak ‘Ibu’ itu ia baca dengan seksama. Wajahnya sedikit berubah menjadi raut sedih. Namun hanya sesaat wajah itu kembali seperti semula. Dalam hatinya memang sangat mengkhawatirkan keadaan ayahnya, namun ia mengeraskan hatinya untuk tidak datang ke rumahnya itu.
Pukul enam kurang, Darren meninggalkan apartemen menuju kantor perusahaan menggunakan motor bututnya. Tidak seperti biasa, sepanjang perjalanan ia lebih banyak melamun. Hal ini tidak lain dikarenakan pesan masuk dari ibunya tadi.
Darren, yang terlalu asyik melamun, tidak menyadari di depannya seorang gadis sedang menyeberang. Jarak yang semakin dekat antara mereka berdua hingga akhirnya…
Braak!
Motor Darren menabrak gadis itu dengan keras, menyebabkan si gadis jatuh terduduk di atas jalan. Tas gadis itu jatuh membuat isinya beberapa keluar.
“Oh maaf!” Darren langsung merunduk, wajahnya penuh penyesalan. “Maaf, aku tidak melihatmu.”
Gadis itu, meskipun terkejut, mencoba tersenyum, meski jelas tampak kesal. "Tidak apa-apa, aku baik-baik saja," katanya sambil menepuk-nepuk pakaian yang kotor oleh debu jalan.
Darren buru-buru menawarkan tangan, membantunya bangkit. “Aku benar-benar minta maaf. Apa kau terluka?”
Gadis itu menggeleng. "Tidak, sungguh. Hanya sedikit kotor."
Melihat keadaan pakaiannya yang kusut dan kotor, Darren merasa bersalah. Di dalam sakunya, ia mengeluarkan dompetnya, menarik sejumlah uang dan menyodorkannya kepada gadis itu. "Ini untuk mengganti pakaianmu. Tolong, terima."
Awalnya gadis itu menolak. "Aku benar-benar tidak apa-apa. Ini bukan masalah besar," katanya dengan nada sopan, menggeleng sambil tersenyum. Tapi Darren mendesak dengan lembut, menatapnya penuh rasa bersalah.
"Setidaknya, untuk biaya mengganti pakaian yang kotor. Aku tidak akan tenang kalau tidak memberikan ini."
Akhirnya gadis itu mengalah, meski tampak ragu. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih," katanya pelan.
Darren tersenyum lega dan baru saja akan melangkah pergi ketika sebuah pertanyaan tiba-tiba meluncur dari bibirnya. "Ngomong-ngomong, kamu hendak kemana? Sepertinya bawaanmu sangat penting?" tanyanya sempat melihat raut wajah cemas berubah lega ketika memeriksa barang-barangnya itu.
Gadis itu menunduk sedikit malu, sebelum menjawab. "Sebenarnya aku sedang mencari pekerjaan. Sudah berhari-hari aku keliling kota, tapi belum ada yang cocok."
Darren memperhatikan wajahnya, lalu dengan cepat mendapatkan ide. “Kebetulan sekali,” katanya sambil tersenyum. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan kartu nama. “Perusahaan tempat aku bekerja, Anugerah Langit Corporation, sedang membuka lowongan untuk staf administrasi. Sesuai dengan keahlianmu mungkin?”
Gadis itu tampak terkejut dan mengambil kartu nama itu dengan kedua tangan, menatapnya seolah tidak percaya.
“Serius? Terima kasih! Aku sungguh tidak menyangka ternyata kejadian ini bukan musibah bagiku, malah sebuah berkah,” katanya dengan mata berbinar.
"Nama aku Darren, dan aku yakin kamu punya kesempatan yang bagus di sana. Cobalah kirim lamaranmu, atau langsung datang ke kantor besok," kata Darren sambil tersenyum ramah. "Oh, dan sebelum kau datang, sebaiknya kau mengganti pakaian dengan yang lebih rapi. Aku tak ingin perusahaan salah menilai calon karyawan yang berbakat hanya karena penampilan.”
Keisha seperti yang baru ia perkenalkan namanya tersenyum malu, namun matanya berbinar penuh semangat. "Terima kasih sekali, Kak Darren. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Ini sangat membantu. Mudah-mudahan aku bisa diterima di sana."
Darren mengangguk. “Senang bisa membantu. Semoga berhasil.”
Keisha menundukkan kepala sedikit, masih penuh syukur. “Aku akan berusaha datang sebaik mungkin. Terima kasih sekali lagi.”
Mereka berpisah di sana, namun Darren masih bisa melihat bayangan gadis itu yang tampak jauh lebih bersemangat setelah pertemuan singkat mereka. Saat ia berjalan lebih jauh menuju kantornya, pikirannya kembali pada pesan singkat dari ibunya dan hal-hal lain yang mengguncang hatinya pagi ini. Tapi untuk sesaat, setidaknya, ia merasa sedikit lebih ringan setelah membantu seseorang.
Beberapa saat kemudian, Ia sampai di kantornya. Nampak pimpinan satpam sedang menunggunya. Wajahnya menunjukkan ketidak sukaan.
“Apa-apaan ini…! Baru seminggu sudah terlambat,” bentak lelaki 40 tahunan bernama Jaya itu kepada Darren.
Darren menarik nafas, “Maaf pak, tadi aku mengalami kecelakaan kecil sehingga terlambat!” sahutnya sambil melirik ke jam di pos jaga.
Jam masih menunjukkan pukul 06.30. Itu artinya ia belum terlambat. Karena pergantian shift dilakukan pukul 07.00. Datang sebelum itu memang disarankan, tapi bukan sebuah kewajiban.
Pak Jaya tidak sedikitpun peduli dengan ucapan Darren. Ia tetap menunjukkan muka galaknya. “Sekali lagi kau terlambat, kau tak usah datang lagi ke tempat ini selamanya!” ucapnya masih membentak.
Darren hanya menganggukkan kepala menanggapi. Ia kemudian meminta izin untuk memulai bekerja. Pak Jaya sama sekali tidak menanggapi. Ia pergi dari tempat itu tanpa menoleh sedikitpun.
Darren hanya bisa mengelus dada menanggapi. Ingin sekali ia balas membentak. Dirinya yang sebenarnya adalah pemilik perusahaan itu diberlakukan semena-mena oleh seorang kepala satpam yang merupakan karyawan tingkat bawah di perusahaannya. Kalau saja bukan karena misi yang ia sedang jalankan, tentu ia akan memberikan hukuman kepada lelaki bernama Jaya itu.
Perhatian Darren teralihkan pada mobil mewah yang baru saja datang. Ia memberikan sikap hormat dan menyapa orang yang baru saja datang itu. Darren terlihat buru-buru mendatangi dan membukakan mobil. Orang yang berada di dalam keluar tanpa peduli sedikitpun dengan yang dilakukan Darren. Jangankan mengucapkan terima kasih, menyapa atau sekedar memberikan senyuman saja tidak.
“Hmmm… untuk apa Baron pagi-pagi sekali datang ketempat ini. Bukankah tidak ada jadwal pertemuan direksi, dan seharusnya ia berada di perusahaan cabang. Apa yang dilakukannya di tempat ini?”
Darren menatap penuh selidik kepada Baron yang terus berjalan membelakanginya menuju kantor pusat Anugerah Langit Corporation.
Seminggu telah berlalu sejak Darren kembali dari Singapura. Namun, suasana di rumah sakit tetap penuh ketegangan. Tuan Harison tetap dirawat dengan perhatian ketat tanpa ada kemajuan yang berarti, sementara Darren terus memantau situasi melalui tim pengintainya. Silvia mulai menunjukkan rasa tidak nyaman dengan rutinitas monoton di rumah sakit.“Darren, aku rasa rawat jalan di rumah akan lebih baik untuk ayahmu. Lingkungan rumah jauh lebih nyaman dibandingkan tempat ini,” ucap Silvia suatu pagi saat Darren mengunjunginya.Namun, Darren menggeleng tegas. “Tidak, Bu. Di rumah sakit, keamanan dan pengawasan jauh lebih terjamin. Aku tidak ingin mengambil risiko, terutama setelah insiden yang terjadi sebelumnya.”Silvia mendesah, menyembunyikan kekecewaannya. “Baiklah, Darren. Tapi jangan lupa, aku ingin kembali ke rumah sesekali jika keadaanku sudah memungkinkan.”Darren hanya mengangguk kecil, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu yang lebih mend
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete