Arabela Mandala tidak menyangka di usia yang masih belia harus menggantikan perjodohan yang telah dilakukan oleh orang tuanya sebab kakak perempuannya menolak untuk menikah dengan seorang duda tanpa anak yang usianya terpaut lima belas tahun di atasnya, Danial Abdisatya. Bela menjadi pengantin pengganti sebagai jaminan agar Nial tidak menghentikan pembiayaan pengobatan ibunya yang sedang sekarat di atas ranjang pesakitan. Bela tahu tidak akan pernah ada cinta dari Nial untuknya sejak pria itu tidak bisa melupakan mantan istrinya terdahulu yang tewas dalam kecelakaan. Ia terus berada dalam duka lara yang diciptakan oleh Nial. Bisakah Bela menyentuh CEO berhati dingin itu? Ataukah ia lebih memilih Samudera Nikolass Arka, cinta pertama Bela yang ternyata juga mencintainya tanpa syarat? Sementara Nial telah mengatakan, "Kamu milikku" sejak malam pertama? Bisakah Bela dan Nial saling menguraikan luka dan menerima satu sama lain? Ataukah hubungan mereka hanyalah sebuah permulaan dari takdir yang saling menyakiti?
Lihat lebih banyak"Kalau ayahmu berbohong lagi, aku tidak akan melepaskanmu dan akan membuatmu menderita."
Suara berat seorang lelaki terdengar di hadapannya.
"Lihat aku, Arabela Mandala!"
Bela sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat wajah lelaki yang bertubuh tinggi itu. Dia bernama Nial, Danial Abdisatya. Ia masih mengenakan setelan jas berwarna hitam karena memang mereka baru saja menikah.
"Buka bajumu!"
Ia memerintahkan, tapi Bela hanya menyuguhkan sebuah keheningan. Tangan Nial mengarah ke depan untuk menyentuh Bela yang membuatnya beringsut mundur.
"Kamu menolakku?"
Bibir Bela mengatup rapat. Ketakutan merundungnya hingga ke ujung kaki. Ia menunduk, merasakan air mata yang sudah akan jatuh saat jeritannya tertahan di tenggorokan.
Tangan Nial menyentuh bahunya, membuka resleting gaun putih yang ia kenakan setelah akad dan menariknya agar ia berdiri.
"Apa kamu benar-benar masih gadis? Kalau kamu tidak gadis lagi, aku akan membuat ayahmu membusuk di penjara karena menipuku untuk kedua kalinya. Dia sudah membiarkan uang perusahaan dicuri oleh anak perempuannya, sekarang kalau kamu terbukti tidak gadis lagi seperti yang dia katakan, aku tidak akan menoleransi."
"Kamu bisa membuktikannya sendiri."
Bela menunduk menghindari tatapan Nial. Tapi lelaki itu meraih dagunya dan membawa pandangannya naik sehingga mata mereka bertemu.
Sebuah seringai tersungging di salah satu sudut bibirnya.Nial membuat Bela terhempas di atas ranjang. Ia juga mulai membuka pakaiannya sendiri sehingga Bela bisa memandang tubuh atletisnya dan bagaimana bagus bentuk perutnya.
Bela memejamkan matanya saat Nial telah membuka habis seluruh pakaian yang tersisa sehingga ia merasakan tubuhnya yang menggigil kedinginan setelah tanpa sehelai benang.
Ia juga bisa merasakan kulit mereka yang kini bersentuhan. Memegang erat-erat seprai yang ada di tangan kanan dan kirinya saat Nial tidak mengatakan apapun selain senyumnya yang terlihat kejam.
'Tidak! Jangan menangis, Bela!'
Ia menasehati dirinya sendiri saat ia dan Nial menjadikan ini sebagai malam pertama mereka setelah Bela menyetujui untuk menerima Nial sebagai suaminya.
Bukan dalam pernikahan baik-baik, tapi ia sebagai pengganti kakak perempuannya, Vida, yang menolak perjodohan dengan Nial setelah Nial membuka bobroknya yang membawa kabur uang perusahaan yang dibawa oleh ayahnya Bela.
Nial mengatakan bahwa ia akan menghentikan pengobatan ibunya yang saat ini sedang sekarat di rumah sakit, yang seluruh biayanya ditanggung Nial sesuai janjinya saat menikah dengan Vida. Tapi setelah Vida menolaknya, tentu saja Nial membatalkan kesepakatan.
Ayahnya Bela diancam oleh Nial karena telah menipunya. Nial dan Vida dijodohkan atas persahabatan orang tua mereka. Dia yang menjanjikan putrinya adalah perempuan baik-baik ternyata adalah seorang penipu, setidaknya itu yang dipikirkan oleh Nial."Bapak jangan khawatir! Biar aku saja yang menikah dengan Nial!"
Bela ingat betul ia mengatakan itu pada malam harinya saat ia dan ayahnya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Sasti, ibunya Bela.
"Tapi dia kejam. Lihat bagaimana pribadinya, Bel!"
"Tapi Bapak mau bagaimana sekarang? Membiarkan ibu meninggal karena Nial nggak mau membayar pengobatannya? Pak ... Bela nggak mau kehilangan ibu."
"Biarkan Bapak saja yang dipenjara karena Nial menganggap Bapak menipunya."
"Lalu ibu bagaimana, Pak? Kak Vida juga nggak mau dijodohkan, kalau bapak dipenjara siapa yang mau rawat ibu? Pak, kita nggak punya uang sebanyak itu untuk pengobatan ibu."
Bela menangis, menggenggam erat-erat kedua tangan keriput ayahnya yang usianya memasuki senja.
"Tapi, Bel ... kamu 'kan masih kuliah. Nanti masa depanmu hancur di tangan Nial."
"Demi ibu, Pak! Nggak ada cara lain. Apa yang diminta sama Nial sebenarnya? Bilang sama Bela!"
Ayahnya sejenak menghela napas, sedikit menghindari mata Bela yang sudah beruraian air mata.
"Nial nggak minta apa-apa, dia cuma mau perempuan baik-baik. Tapi sepertinya dia sudah nggak akan percaya pada siapapun karena terlanjur berpikir Bapak mempermainkannya."
"Percaya sama Bela, Pak! Bela nggak akan menipunya. Bela juga nggak pernah berhubungan sama lelaki manapun, dia bisa menilai sendiri nanti kalau Bela perempuan baik-baik."
Ayahnya ikut menangis. Ia menunduk dengan penuh sesal. Pupil matanya bergetar dalam cemas saat ia melihat wajah putrinya yang masih belia. Ia dihadapkan pada kebimbangan antara menyerahkan Bela atau tidak.
Jika iya, dia jelas akan menghancurkan masa depan Bela. Tapi jika tidak, maka Sasti akan mati.
"Maafkan Bapak, Bel! Kalau saja Bapak nggak berteman dengan keluarga kaya seperti Hendro Abdisatya mungkin kamu nggak akan mengorbankan hidupmu seperti ini."
"Jangan menangis, Pak! Nial bisa membuktikannya sendiri nanti, yang terpenting Bapak di sini jaga ibu!"
Ingatan itu mengabur dalam sesaat. Bela merasakan ngilu pada bagian di bawah sana saat Nial memenuhi dirinya.
'Kamu bisa membuktikannya sendiri' adalah satu-satunya kalimat yang dikatakan Bela setelah mereka masuk ke dalam kamar pengantin. Tadinya Nial menganggap Bela ini sama saja dengan kakak perempuannya yang seorang penipu. Namun ternyata ia salah.
'Dia benar-benar perawan!'
Ia yakin dalam hatinya karena jelas ia akan kalah.
Nial tahu perbedaan dan rasanya. Bagaimana kesulitan ini telah menjawab sekaligus membuktikan apa yang dikatakan Bela sepenuhnya benar.Nial bisa melihat air mata perempuan yang ada di bawahnya itu menggantung di kedua sudut matanya. Ia pasti kesakitan.
Meski Bela bersumpah untuk tidak menangis atau pun berteriak, tapi nyatanya ia tak bisa membendung air matanya yang kini benar-benar telah jatuh.
"Mulai hari ini, kamu milikku, Bela. Kamu milikku."
Bela bisa mendengar itu dalam kesakitan, dan memilih untuk tidak menjawab.
Nial tampak menemukan seprai putih yang kini ternoda oleh noktah merah yang tertinggal di atasnya. Ia memejamkan matanya sementara Bela meringkuk kesakitan.
Ia merasakan nyeri yang menjalari sekujur tubuhnya. Memandang sekilas pada Nial yang sudah tak bergerak dan jatuh dalam lelap.
Bela tidak bisa memejamkan matanya sampai pagi dan keluar dari pintu kamar milik Nial. Pergi ke ruangan lain yang tersebar di seluruh tempat ini.
CEO Ones Air, Nial adalah pemilik jabatan itu. Dia mewarisi kekayaan ayahnya. Dan lelaki bernama Hendro Abdisatya itu adalah sahabat Hendro sejak dari bangku SMA.
Lelaki itu juga tampak di rumah ini saat Bela turun tangga menuju lantai satu.
"Selamat pagi," sapanya lebih dulu saat melihat Bela.
"Selamat pagi." Bela menjawabnya dengan gugup.
Ia bingung harus melakukan apa di hadapan ayah mertuanya."Sepertinya kamu berhasil meyakinkan Nial. Karena jika tidak anak itu pasti sudah menendangmu keluar dari rumah ini sejak semalam."
Bela menggigit bibirnya sekilas. Ia sedang merasa ditelanjangi karena jelas lelaki di hadapannya ini sedang mengatakan tentang bagaimana malam pertamanya dengan Nial.
"Minta apapun yang kamu butuhkan pada Bu Kim. Dia kepala pelayan di rumah ini."
Kalimat itu mengakhiri percakapan mereka dengan Hendro yang mengusap puncak kepalanya. Bela terlambat menghindar dan membiarkannya melakukan itu.
Punggungnya menghilang saat ia berbelok ke ruangan lain. Meninggalkan Bela yang masih berdiri kaku di tempatnya dengan tidak bergerak sedikit pun.
Butuh waktu beberapa saat baginya untuk memahami bahwa saat ini ia tidak lagi memiliki hidupnya sendiri. Melainkan juga harus berbagi dengan Nial.
Dengan rumah ini, dengan duka yang terjadi di depan sana yang tidak ia ketahui akan seperti apa."Kamu menggoda ayahku?"
Suara bariton itu datang dari belakangnya dan saat Bela memutar tubuhnya, ia dapat melihat Nial yang sedang berjalan di anak tangga sembari mengancingkan kemejanya.
"Tidak."
Bela menjawabnya secepat mungkin. Tapi Nial hanya melemparkan senyumnya yang penuh kecurigaan.
"Hendro itu brengsek, jangan dekat-dekat dengan dia!"
Bela berpikir, 'Jadi siapa sekarang yang lebih brengsek? Bagaimana bisa Nial memanggil ayahnya hanya dengan menyebut namanya saja?'
"Dia itu suka main perempuan sampai membuat ibuku stres dan mati bunuh diri. Tapi ya ... yang penting aku sudah memperingatkanmu! Lagi pula 'kan aku sudah bilang, kamu milikku, Bela! Aku tidak suka saat milikku disentuh orang lain. Baik itu Hendro atau siapapun."
Nial berlalu pergi dari hadapannya.
"Mas Nial!"
Lelaki itu berhenti dan kembali menatapnya.
"Mas Nial akan memenuhi janji untuk tidak menghentikan pengobatan ibuku, 'kan?"
Nial hanya mengangkat kedua pundaknya sekilas.
"Tergantung, kalau kamu bisa memberi yang terbaik sama seperti yang dilakukan mantan istriku dulu, aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi kalau tidak, jangan harap!"
"Mantan istri?"
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen