Share

Bab 5. PERKENALAN

Set set set jleng!

Tiba-tiba dihadapan Sari sudah berdiri seorang laki-laki yang menatap tajam dirinya. Sari kaget, refleks dia mendekap kantong kecil yang berisi uang hasil saweran.

Semboja mundur sambil memeluk kantong kain erat-erat. Dia tidak tahu siapa yang datang tersebut. Gadis yang tengah menantikan seseorang itu hanya terdiam. Tidak berani bergerak apalagi berlari, kakinya seperti terpaku ke bumi. Dia bersiaga, jika laki-laki itu berniat jahat, dirinya akan melawan sekuat tenaga. Orang yang ditunggu-tunggu juga tak kunjung muncul. Sang paman yang menjadi penjemput setia pun tidak juga tiba.

“Kemanakah dia? Biasanya tak pernah terlambat.” Gadis itu mengeluh dalam hati. Dia merasa terancam dengan kehadiran sosok di hadapan.

Sari yakin, sosok yang mencegatnya adalah seorang lelaki. Dia merasa mengenal sosok itu dari perawakan tubuhnya. Bersembunyi di balik penutup muka berwarna hitam, mata tajamnya benar-benar mengintimidasi Sari untuk tidak beranjak dari tempat berdiri. Sosok tersebut maju selangkah. Wajah Semboja pun memucat.

“Mau apa kamu?” Gemetar suara Sari memperlihatkan ketakutan. Terlintas kembali bisikan Pranata. "Apa ini anak buahnya yang akan menculiknya?" pikir Semboja.

Laki-laki itu maju selangkah, Semboja mundur beberapa langkah. Wajah gadis itu tampak pucat dalam redup cahaya bulan. Sejak mendapat bisikan dari Pranata dia merasa takut sendiri.

“Mengapa kamu ketakutan, Sari?” tegur laki-laki misterius itu. Dia membuka penutup wajah. Sari kaget begitu mendengar suara tersebut serta melihat mukanya. Dia mundur beberapa langkah. Pemuda itu adalah teman masa kecilnya. Sedikit kelegaan menyusup di hati Semboja.

“Hahaha hahahaha!” Laki-laki itu tertawa melihat sikap Semboja.

“Apa maumu?” tanya Sari sambil tetap waspada. Dia tahu siapa yang datang menghadangnya, menurut kabar burung kini temannya berguru di Perguruan Bangbung Hideung.

Terbayang kembali ucapan lelaki tua itu. Namun, dia tidak berani berandai-andai. Mungkin yang diucapkan Pranata itu hanyalah candaan. Lelaki itu terlalu tua untuk menjadi suaminya yang baru berusia dua puluh tahun. Entah menjadi istri yang keberapa, karena tiap ada gadis cantik selalu diincar. Begitulah menurut kabar yang beredar.

“Maaf, Sari. Aku hanya mengikuti perintah Pranata. Ikutlah denganku!"

"Ooh, benar kata orang rupanya, kamu jadi anak buahnya sekarang. Aku tidak sudi ikut denganmu!" tolak Semboja tegas.

"Jangan sampai aku memaksamu!" Pemuda itu rupanya sudah habis kesabaran. Dia meraih tangan Sari dan menariknya.

Sari memberontak. Disentaknya tangan lelaki itu, tapi percuma. Suruhan Pranata tersebut justru semakin mempererat cengkeraman. Sari menoleh sekitar sambil terus berusaha menarik tangannya.

“Tolong … tolong!" jerit Semboja. Dia berharap ada seseorang yang mendengar teriakan lalu datang menolongnya.

"Diam atau kusumpal mulutmu!" teriak anak buah Pranata kesal. Dengan kasar dia menarik lebih keras lagi tangan gadis tersebut.

"Sakit! Tolong … tolong!" Kembali Semboja menjerit. Tetap berharap seseorang datang memberi pertolongan.

"Lepaskan!"

Seseorang datang sambil bersalto. Dia berdiri tegak menghalangi jalan mereka. Tangan bersedekap dengan kaki yang berdiri kokoh.

Deg!

Hati Sari berdegup, apa yang dilihatnya kali ini benar-benar diluar dugaan. Pemuda yang tempo hari berjumpa di pinggir sungai, kini berdiri di hadapan mereka.

"Rupanya dia seorang pendekar," pikir Semboja. Dia melihat ke arah kakinya, teringat pernah diobati oleh pemuda itu. Hanya saja dirinya tidak tahu nama pemuda itu.

"Minggir kamu! Anak kemarin sore saja sok jagoan mau melawan anak buah Pranata! Siapa namamu, hah?" Penculik itu berteriak dan bertanya dengan sombong.

"Namaku Mardawa. Kamu yang harus minggir, lepaskan tangan gadis itu!" Mardawa akhirnya turut berteriak. Pemuda itu menyebut nama dengan penuh kewibawaan. Suaranya tegas menunjukkan kekuatan agar suruhan Pranata segera melepaskan Sari.

"Mardawa … Mardawa … hmm nama yang bagus. Hadapi aku dulu, Bocah!" Anak buah Pranata menerjang Mardawa.

Mardawa yang sudah menduga serangan tersebut menghindar ke kiri. Serangan pemuda itu lewat begitu saja. Merasa gagal dia mengulangi serangannya dengan membabi-buta. Pendekar itu menghadapinya dengan tenang.

"Kurang ajar!" maki pemuda itu. Sudah tiga kali serangannya digagalkan Mardawa. Amarahnya naik ke ubun-ubun.

"Hahaha. Marah-marah cepat tua," timpal Mardawa, membuat emosi pemuda itu tak tertahankan. Pemuda itu tersenyum mengejek.

"Hiaaat!" Sambil bersalto kakinya diarahkan ke dada Mardawa. Gerakan yang sangat cepat. Dia mengerahkan seluruh kemampuannya.

Traaak! Mardawa menyambut dengan kedua telapak tangan yang diletakkan di depan dadanya.

"Sialan!" teriak pemuda itu. Dia tidak menyangka jika telapak tangan Mardawa begitu keras. Rasanya seperti menendang tembok yang kokoh. Tangannya memegang kaki yang terasa remuk. Rasa sakit menjalar sampai ke ulu hati. Dia ingin sekali mengerang tapi malu kepada Semboja yang memandangnya.

Sorot mata gadis itu sulit diartikan. Pandangan antara kasihan dan tentu saja senang. Pengganggunya bisa dikalahkan dalam sekali gebrakan.

"Bagaimana? Masih mau melawan?" tanya Mardawa. Dia sudah bersiap lagi untuk serangan berikutnya.

Pemuda itu tidak menjawab. Tidak mau kehilangan kakinya, penculik Semboja itu memilih untuk pergi. Dia berpikir nanti setelah kakinya sembuh, akan dicarinya Mardawa sampai ketemu. Pemuda itu melihat kesempatan untuk lari saat pendekar itu lengah.

"Hey! Jangan lari!" teriak Mardawa. Namun, dia membiarkan pemuda itu pergi. Cukuplah baginya memberi pelajaran kali ini, sebelah kaki penculik itu remuk.

**

Semboja mundur saat pendekar itu memandangnya. Dia takut jika pemuda itu juga berniat menculiknya.

"Rasanya aku pernah bertemu denganmu," ujar Mardawa. Dia masih ingat jika gadis itu yang bertemu dengannya di pinggir sungai. Namun, karena takut salah dia berbasa-basi demikian.

"Kakang yang menolongku tempo hari, mengobati luka kakiku." Semboja menjawab malu-malu.

"Aaah, iya! Aku ingat sekarang! Bagaimana mungkin aku lupa dengan gadis seayu kamu, Nyimas," seru Mardawa riang. "Kamu pergi begitu saja tanpa menyebutkan namamu," sambungnya.

Semboja tersipu. Pemuda itu telah membuatnya salah tingkah. Bukan saja karena kalimat pujian barusan, tetapi juga oleh tatapan mata serta senyumannya. Seluruh kata-kata yang ada di benaknya lenyap seketika. Dia tidak tahu mesti bicara apa. Suasana berubah canggung.

Apalagi Mardawa. Dia kikuk berhadapan dengan seorang wanita. Baru kali ini seumur hidupnya berurusan dengan seorang gadis. Mana gadis itu sangat cantik pula.

"Nama kamu … nama kamu … siapa?" tanya Mardawa terbata-bata. Dia yang begitu gagah di hadapan musuh, di hadapan seorang gadis seperti tak berdaya.

"Namaku Sari … Semboja," jawab gadis itu dengan pelan.

"Sari Semboja?" tanya Mardawa dengan terkejut. Dia tidak menyangka gadis di depannya mempunyai nama yang kini sedang dicarinya.

"Iya, mengapa Kakang begitu kaget?" tanya Semboja heran. Diam-diam rasa takut kembali merayapi hati. "Apa yang salah sampai pemuda di depan begitu terkejut mendengar namanya?" Pikirannya bertanya-tanya.

Mardawa mengulurkan tangan ke arah Sari, gadis itu menyambutnya dengan ragu. Gadis itu masih trauma dengan kejadian yang baru saja dialaminya.

“Namaku Mardawa, murid Eyang Suwita.”

Semboja mengangguk, menyalami sebentar lalu bergegas menarik tangan.

"Mengapa tengah malam kamu ada di sini?" tanya pendekar itu lagi. "Apa yang kamu kerjakan di tengah hutan begini?"

"Aku seorang ronggeng, tadi baru selesai pertunjukan." Semboja menjelaskan singkat. "Aku harus pergi, terima kasih." Gadis itu buru-buru pergi dari hadapan pemuda itu.

"Aku antar sampai rumah." Mardawa menawarkan diri, sambil bersiap mengikuti gadis tersebut.

"Jangan! Aku bisa sendiri," sahut Semboja. Dia berharap orang yang ditunggunya cepat datang. Gadis itu berjalan dengan tergesa-gesa.

“Tunggu! Aku ingin bertanya sesuatu tentang temanmu.” Mardawa menjejeri langkah Semboja. Ada aura kehadiran orang lain yang dirasakan pemuda itu tiba-tiba di sekitar mereka. Dia meningkatkan kewaspadaannya. Sebuah aura yang kuat dari seseorang yang berilmu tinggi tengah mengintainya.

"Apakah kamu mengenal Intan? Apa yang dikatakan gadis itu padamu?" tanya Mardawa.

Semboja mendadak berhenti melangkah. Dia tidak menyangka jika pertanyaan pemuda yang baru dikenalnya melenceng dari dugaannya.

“Intan? Apakah pemuda itu pacar Intan?" pikir Semboja kecewa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status