Share

Bab 4. MISI SARI SEMBOJA

Secercah harapan terbit tentang terkuaknya misteri ini. Mardawa memandang lekat pemuda di hadapan. Dia merasa penasaran dengan ucapan pemuda tadi.

“Apa maksudmu? Cepat katakan!” desak Mardawa karena pemuda itu hanya diam. Orang-orang menjadi terbagi perhatian oleh ucapan Mardawa.

“Dia … dia … Nyi Ronggeng yang tadi malam menari bersama dengan Pranata.” Lelaki itu berbisik dengan suara gemetar.

“Pantas aku seperti pernah melihatmu. Apakah kamu tukang kendang yang ikut pertunjukan tadi?” tanya Mardawa penasaran.

Lelaki itu menoleh melihat sekitar. Dia seperti merasa ada yang memperhatikannya dengan penuh ancaman hingga dia merasa sangat ketakutan. Mardawa mengikuti pandangan lelaki tersebut, tapi dia tidak menemukan orang yang mencurigakan.

“Ya. Akang harus mencari Sari Semboja, dia tahu sesuatu. Sekarang aku harus pergi.” Tanpa basa-basi lagi pemuda itu cepat berlalu dari tempat tersebut.

“Hei, tunggu!” seru Mardawa. Pemuda itu berniat mengejar, karena apa yang dikatakannya tidak jelas. Namun, langkah lelaki tadi begitu cepat menghilang di antara kerumunan warga. Dirinya didera rasa penasaran dengan ucapan pemuda tadi, sampai pulang ke pondok milik Danu.

"Di mana aku harus mencari Sari Semboja? Wajah gadis tadi memang mirip sinden yang aku lihat tadi. Apakah dia ada hubungannya dengan bisikan Pranata saat di panggung?” pikirnya.

“Siapa sebenarnya Semboja? Kemana harus mencarinya? Apa yang dia ketahui tentang ini semua?” Pertanyaan demi pertanyaan berkelebat dan berputar-putar dalam benak Mardawa. Tidak bisa terlelap, dia mengubah posisi tidurnya.

"Danu … kamu tahu siapa Sari?" tanya Mardawa. Pemuda itu melirik lelaki di sampingnya.

"Brrrh brrrh!"

"Uuuh!" keluh . Rupanya Danu sudah mendengkur begitu kepalanya bertemu bantal.

**

Malam ini adalah kali kedua Semboja menari. Dia mengikuti jejak teman menjadi seorang ronggeng. Dia harus menjadi ronggeng demi sebuah misi.

Wajah yang cantik menjadikannya seorang primadona. Seketika hidup Semboja berubah. Dirinya banyak dipuja oleh masyarakat yang haus hiburan. Namun, tidak sedikit ibu-ibu yang merasa was-was takut suami kecantol ronggeng tersebut.

"Menarilah dengan hati riang. Auramu akan terpancar saat kamu tersenyum." Semboja teringat nasihat seorang teman dan mempraktikkannya.

"Malam ini dia tidak datang." Tukang kendang –Bano berbisik di sebelah Sari.

"Siapa?" tanya Semboja. Dia tidak mengerti arah pembicaraan Bano. Matanya menyelidik ke arah jajaran tamu undangan.

"Pranata." Raut wajah pemuda itu berubah saat mengucapkan nama itu. Suaranya sedikit bergetar, muka berubah sedikit pucat.

Semboja heran melihat raut Bano. Tidak biasanya dia seperti itu.

"Akang sakit?" tanya Sari. Dia melihat wajah pucat Bano, matanya mengikuti arah pandang lelaki itu.

"Ada apa lagi, Kang?" tanya Semboja penasaran. Terlihat ada rombongan kecil baru datang.

"Dia sudah hadir." Bano berbisik, dia memandang khawatir kepada Sari Semboja. Gadis itu belum banyak tahu dunia ronggeng. Ada seseorang yang begitu kejam mengintai kehidupan mereka.

"Dia hanya pengunjung biasa. Kok, Intan gak datang, ya?" Semboja bertanya sambil mencari-cari di deretan sinden yang berjajar.

Bano tidak mampu menjawab pertanyaan Sari, raut wajahnya berubah murung. Dia teringat peristiwa semalam yang sangat tragis. Pastilah Semboja belum mengetahui jika temannya tersebut sudah berpindah alam.

"Giliranmu, Sari!" suruh Bano. Tangannya bergerak lincah memukul gendang.

Gadis itu merekahkan senyum terbaik. Dia menari dengan gerakan yang sangat luwes. Tidak sia-sia dia selalu berlatih sejak kecil. Dirinya memang terobsesi untuk menjadi ronggeng sejak dulu. Kini kepintarannya menari memuluskan tujuannya.

Mata Pranata seketika melebar. Dia melotot melihat kecantikan Semboja. Baru kali ini dia melihat ronggeng secantik gadis itu. Hasrat kelelakiannya seketika bergejolak. Ronggeng ini otomatis masuk dalam daftar istri muda Pranata.

Pranata tidak akan membiarkan gadis satu ini lolos dari jeratnya. Ronggeng satu ini begitu menarik perhatian.

"Akan kujadikan dia ratuku," desis Pranata sambil memelintir kumis.

Dia memutar otak menyusun rencana. Bagaimanapun juga ronggeng itu tidak boleh ada yang menyentuh kecuali dia.

Jleng!

Lelaki tua itu kini sudah berada di atas panggung. Menyeringai sambil menari dan menghambur uang buat nyawer. Malam ini dia bahagia. Bau tubuh Semboja yang harum mewangi, bakal membuatnya melek semalaman.

**

"Ini bagianmu, Sari,” kata Bano. Laki-laki pimpinan grup seni itu menyodorkan setumpuk kantong uang kepada Sari. Gadis itu menerima dengan senyum sumringah. Tangannya segera menyimpan uang tersebut di kantong berwarna merah miliknya. Gadis itu memandang Bano, sebab laki-laki itu tidak langsung beranjak pergi seperti biasa.

“Ada apa, Kang?” tanya Sari mengurungkan niat melanjutkan membersihkan sisa make-up. Gadis itu memandang heran lelaki itu.

“Tadi Pranata berkata apa?” tanya Bano. Laki-laki itu menatap Sari dengan khawatir.

“Oh itu … kirain apa? Hihi hihi.” Sari malah terkikik geli. Teringat kembali bisikan lelaki tua itu tadi, terucap dari bibirnya yang hitam dan bau tembakau. Mual Sari membayangkan napas laki-laki itu menyapu telinganya.

“Sari! Kamu jangan anggap sepele perkataan dia!” sergah Bano. Laki-laki itu yakin hidup gadis itu kini dalam bahaya.

“Ya ampun, Kang. Tenang saja, dia hanya menginginkan aku untuk jadi istrinya. Mustahil!” Sari menjawab dengan santai. Sedikit pun tidak tersirat nada kekhawatiran. Sebaliknya, gadis itu malah cekikikan lagi.

Bano malah yang kaget mendengar tawa kecil Sari. Benar-benar dia tidak tahu ini adalah sebuah masalah besar. Tidak bisa dianggap sepele. Jika sampai Pranata sudah berkehendak maka itu artinya sebuah perintah.

“Apa? Menginginkan kamu jadi istrinya? Hidup kamu dalam pantauannya, Sari. Kamu harus cepat pergi dari kampung ini!” saran Bano. Dia memandang Sari dengan tatapan yang sukar diartikan.

“Ahaha haha. Ihh, Akang sampai segitunya, gak akan lah Kang. Akang kan tahu aku pacarnya ….”

“Ssst!” Bano memotong perkataan Sari sambil melihat kiri kanan, diletakkannya telunjuk di bibir. Isyarat agar Sari tidak meneruskan pembicaraan.

“Hihihi hihihi.” Sari hanya terkikik. Bano pun berlalu dari depan gadis tersebut sambil menggelengkan kepala. Sari kemudian mengingat perkataan Pranata tadi di panggung. “Kamu tidak akan bisa menolak, Cantik.”

Sari menggelengkan kepala, sambil melanjutkan pekerjaan yang tertunda tadi; menghapus make-up di wajah. "Huh, mana mungkin aku bersuamikan pria tua itu," gerutunya.

Setelah selesai cepat-cepat Semboja keluar dari rumah penduduk tempat dia menumpang dandan. Sudah ditolaknya tadi Bano yang mau mengantarkan pulang. Kini, dia menyusuri jalan kampung sendirian dalam remang cahaya bulan.

Gadis itu melihat-lihat sekeliling, dia menantikan seseorang datang. Namun, setelah menunggu hampir setengah jam, orang yang dinanti tak kunjung datang. Sari berjalan dengan kecewa. Diterobosnya malam yang kian larut.

Semboja mempercepat langkah karena perasaan yang tiba-tiba tidak enak. Dia merasa ada yang mengikutinya diam-diam.

Menajamkan telinga, Sari berhenti sejenak. Jantungnya berdetak kian cepat. Hawa di sekitarnya terasa semakin dingin.

“Apa bener kata Kang Bano? Jangan-jangan anak buah Pranata membuntutiku?” Sari membatin dalam hati. Dia kembali melanjutkan langkah kaki. Angin malam kembali berhembus menerpa tengkuknya. Seketika semua bulu-bulu halus di tubuhnya meremang.

"Aaah!" Tiba-tiba Semboja menjerit histeris.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status