Share

Bab 6. KABAR BURUK

Semboja menghentikan langkahnya dan melihat pemuda asing itu. Dia tidak percaya jika Mardawa mengenal Intan.

"Apa? Kamu kenal dengannya?" tanya Semboja.

Pemuda itu menggeleng. Semboja tambah tidak mengerti dengan perkataan Mardawa tadi. Apa maksud pemuda itu bercerita tentang Intan.

"Lalu …." Kalimat Semboja menggantung.

"Dia semalam terbunuh."

Lemas lutut Semboja mendengarnya. Kaget sekaligus tidak percaya dengan ucapan pemuda di depannya.

"Jangan berkata sembarangan!" Semboja mendelik. Dia marah dengan ucapan Mardawa yang dikiranya bercanda. Cepat-cepat dia berjalan mendahului pemuda itu. Dadanya gemuruh dengan bermacam-macam perasaan. Gadis itu tidak percaya dengan apa yang dikabarkan Mardawa.

"Dia tewas dibunuh binatang buas." Mardawa meyakinkan sambil menjejeri langkah gadis tersebut. Pemuda itu bahkan sampai berlari kecil karena Semboja gesit berjalan cepat.

"A … apa?" Dengan terbata-bata Semboja bertanya. Terbayang olehnya wajah Intan yang cantik. Dirinya begitu mengagumi sosok temannya itu. Perangainya bagus halus budi bahasa. "Di mana Kakang melihatnya?"

Mau tidak mau Semboja harus percaya dengan berita ini. Terlihat gadis itu mencubit lengannya. Rupanya dia berusaha meyakinkan jika dirinya tidak sedang bermimpi.

Mardawa diam sejenak. Dia memikirkan kata-kata yang akan diucapkannya. Sementara Semboja terlihat lemas setelah mendengar kabar buruk tersebut. Air matanya luruh di pipinya yang mulus.

"Katakan! Apa yang terjadi padanya?" tanya Semboja lagi. Tanpa sadar gadis itu memegang lengan Cawistra. Kabar itu sangat memukul perasaannya.

"Dia … dia … kejadiannya sangat cepat. Kami tidak tahu persis pelakunya, hanya dugaan saja jika itu binatang buas …." Mardawa lalu menceritakan semua yang diketahuinya saat tadi melihat jasad Intan. Suaranya tergagap karena grogi dengan pegangan tangan gadis itu di lengannya. Sumpah, baru sekarang dirinya dipegang seorang gadis.

"Ah … maaf," desis Semboja lirih begitu sadar. Cepat-cepat dia melepaskan tangannya, mukanya merah karena malu.. Gadis itu menunduk.

Sambil menyeringai Mardawa mengusap-usap tangannya yang tadi dipegang Semboja. Tidak lupa dia menanyakan seseorang yang mengharuskan Mardawa mencari sosok Sari Semboja alias gadis di depannya itu.

"Siapa?" tanya Sari. Gadis itu penasaran mengapa dirinya terlibat dalam dalam kematian Intan. Tidak banyak yang diketahuinya tentang urusan pribadi Intan.

"Aku tidak sempat bertanya namanya, dia tukang kendang saat pertunjukan kemarin." Mardawa menjawab sambil menatap wajah Sari. Remang-remang cahaya bulan membiaskan wajah pucat gadis tersebut.

"Kang Bano? Apa yang dia katakan?" Semboja bertanya setengah berbisik. Takut ada seseorang yang lain di sekitar mereka.

"Disuruh mencarimu, dia bilang kamu tahu sesuatu." Mardawa menjawab sambil diam-diam dirinya waspada. Ada sesuatu yang dirasakan pemuda itu. Mardawa merasa ada aura lain di sekitarnya.

"Kamu mau apa?!" seru Semboja kaget. Dia mundur saat Mardawa tiba-tiba berdiri di hadapannya. Gadis itu mundur, menjauh dari tangan Mardawa yang menyentuh badannya. Rupanya Sari salah paham. Dorongan tangan Mardawa diartikan lain olehnya.

"Ssst." Mardawa meletakan tangannya di bibirnya. Dia cepat berbalik mengokohkan kuda-kuda. Matanya liar menatap kiri-kanan.

Semboja terdiam. Rasa takut merayapi hatinya. Matanya ikut liar mengawasi sekitar. Rimbunan pohon tidak luput dari pandangannya. Gadis itu mengerti jika bahaya tengah mengintai mereka.

"Hey! Siapa di sana?” seru Mardawa bertanya. Pemuda itu dengan cepat memburu sebuah bayangan yang berkelebat dari balik pohon. Bayangan itu melompat di antara dahan-dahan pohon. Mardawa bingung jika mengejar orang tersebut maka Sari akan sendirian dalam bahaya. Akhirnya pemuda itu membiarkan orang asing itu lolos.

“Siapa, Kang?” tanya Sari dengan gemetar. Gadis itu selalu ketakutan jika melihat pertarungan.

“Entahlah, sepertinya dia seorang perempuan.” Mardawa menjawab sambil memandang ke arah orang tadi menghilang.

“Apa? Dia seorang perempuan?” tanya Sari keheranan. Di antara sekian banyak jawara belum pernah terdengar ada seorang jawara perempuan di desanya.

Mardawa yang hendak mengejar pengintip tadi kembali ke samping Sari Semboja. Dia menggamit lengan gadis tersebut untuk segera meninggalkan tempat tersebut.

“Ayo Sari! Kita harus secepatnya pergi dari sini!” ajak Mardawa. Pemuda itu meraih tangan Sari. Gadis itu hanya mengangguk sambil bergegas mengikuti langkah kekasihnya.

Tap tap tap!

Tiba-tiba terlihat kelebatan orang berlari dengan cepat. Ia tidak menyerang Mardawa, tapi terus berlari mengejar perempuan tadi. Sesaat Mardawa dan Sari terkesiap, mereka terkejut dengan sambaran angin yang tiba-tiba. Mardawa dengan sigap berdiri di depan Sari melindungi gadis tersebut.

“Siapa, Kang?” tanya Sari. Gadis itu memegang tangan Mardawa erat-erat, wajahnya mendadak pucat.

“Entahlah, Akang tidak tahu. Sepertinya mereka saling kejar dengan pendekar wanita tadi,” jawab Mardawa sambil tetap waspada.

Sari melepaskan pegangan tangannya setelah dirasa cukup aman. Mereka berjalan cepat-cepat menuju rumah Sari.

"Sampai sini saja rumahku sudah dekat. Terima kasih." Semboja cepat-cepat berlalu sebelum Mardawa sempat berkata. Gadis itu ingin secepatnya sampai di rumah. Kabar yang didengarnya barusan sangat memukul perasaannya.

Mardawa garuk-garuk kepala melihat Semboja berlalu. Sebenarnya hatinya masih ingat ingin lebih lama dengan gadis tersebut. Sambil tertawa masam dia pun berkelebat dan menghilang dalam kegelapan.

Mardawa cepat-cepat berlari dan menghilang ke arah hutan. Ada yang harus diselidikinya, dia harus secepatnya sampai di tempat tujuan.

Mardawa mengawasi sekitarnya dengan jeli. Dia yakin mereka berlari ke arah hutan ini, dia sudah berlari sangat cepat tadi. Mengandalkan jurus Kolebat Layung, sebuah jurus andalan meringankan tubuh agar bisa bergerak secepat angin. Tidak ada pergerakan apa pun, bahkan daun pada pohon-pohon pun terdiam.

“Siapakah mereka? Aku tidak mengenalnya. Sepertinya mereka bukan pendekar dari Tanah Jawa.” Mardawa mengetuk-ngetuk batang kayu lapuk tempatnya duduk. Membayangkan sosok mereka yang tadi sekelebatan dilihatnya.

Pendekar wanita yang dilihatnya tadi sekilas berperawakan mirip dengan Sari. Mengingat gadis tersebut membuat pemuda ingat satu hal.

"Aaah sialan! Aku sampai lupa bertanya tentang ucapan Intan sebelum tewas." Mardawa menepuk keningnya. “Sedang apakah Sari sekarang? Pasti langsung tidur.” Bertanya sendiri dijawab sendiri. Mardawa tersenyum sendiri teringat senyum manis Sari. Gadis cantik dari kampung Jatiwarna itu telah berhasil mencuri hatinya. "Ada-ada saja." Mardawa menggerutu karena menyukai Semboja. Tangannya mengusap bekas pegangan tangan gadis itu yang masih saja terasa olehnya.

**

"Uuuh, cape sekali,” keluh Sari. Dia menghempaskan badannya ke tempat tidur. Matanya nyalang memandang langit-langit kamar. Gadis itu tersipu saat bayangan Mardawa melintas.

"Berani sekali kamu hadir di pikiranku, Pemuda Asing!" Semboja menepis ingatannya tentang Mardawa. Hatinya tidak ingin berharap tentang sesuatu yang mustahil. Dirinya tidak mengenal siapa pemuda itu, hanya kebetulan saja pernah bertemu beberapa kali.

Langit-langit kamarnya menayangkan episode lainnya. Wajah lelaki tua melintas, kembali terngiang kata-kata Pranata saat dirinya tengah menari tadi.

“Menikahlah denganku, Cantik!” kata Pranata saat itu. Semboja tersenyum sinis mengingatnya. Bergidik dan muak dirasa gadis tersebut.

"Dasar tua bangka tak tahu diri!" umpat gadis itu lagi. "Intan … siapa yang tega membunuhnya?" Ingatannya kembali ke sosok sahabatnya.

Semboja tersentak saat teringat sesuatu. Tiba-tiba memorinya melayang ke sosok tinggi ramping nan cantik. Terbayang kembali senyum gadis tersebut. Matanya mengembun teringat semua kenangan dengan Intan. Dia duduk sambil memeluk lutut.

"Menjadi seorang ronggeng tidak seindah saat kita di panggung, Sari," ujar Intan saat dirinya menyatakan ketertarikannya tentang dunia malam dulu.

"Aku sudah lama berlatih. Semua rintangan yang nanti menghadang di perjalanan aku siap hadapi," jawab Semboja waktu itu. Sesungguhnya dia belum mengerti dengan sisi gelap seorang ronggeng. Mereka yang dipuja di atas panggung tapi nyawanya seakan-akan tidak berharga.

"Ada seseorang yang mengintai kehidupan para ronggeng. Entah apa maksudnya? Aku sedang berusaha untuk menyelidikinya." Ucapan Intan masih terngiang di telinga Semboja.

"Aku tidak mengerti," sahut Semboja waktu itu.

"Nanti jika penyelidikanku sudah mendapati titik terang aku kasih tahu." Terlihat Intan dengan pandangan menerawang jauh ke depan. Ucapannya penuh misteri bagi Semboja yang hanya terdiam.

"Hidupku sepertinya terancam, Sari."

Kembali Intan bercerita saat bertemu di satu kesempatan manggung bersama. Wajah Intan tidak seperti biasanya. Raut ketakutan terpancar walau nampak samar.

"Apa? Siapa yang mengancammu?" Semboja terperanjat saat Intan berkata demikian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status