Share

Bab 5.

Jamal merasa sakit hati ketika mendengar pemimpinnya direndahkan.

Bagi Jamal, orang lain boleh merendahkan dirinya, namun tidak ada satu orang pun yang boleh menginjak harga diri pemimpinnya.

“Hentikan, Jamal! Jangan terpancing,” terdengar suara seorang pasukan yang berusaha untuk menahan emosi Jamal.

Melihat pancingannya mendapatkan tanggapan, membuat Jenderal Sina kembali melontarkan beberapa kalimat pancingan lagi.

“Umar akan mati sebagai seorang pecundang. Bukankah itu pantas untuk seorang pemimpin seperti dia?” Jenderal Sina sengaja melemparkan kalimat-kalimat celaan.

“Jangan pernah menghina orang yang telah menyelamatkanku!” Dengan kemarahan yang memuncak, Jamal berlari ke arah Jenderal Sina, beberapa bawahan Jenderal Sina dilewatinya dengan sekali tebasan pedang.

Badan yang kekar karena pernah menjadi budak selama bertahun-tahun, dan keahlian bermain pedang yang sudah sangat terasah, membuat Jamal dengan mudah melewati para bawahan Jenderal Sina.

Ternyata para pasukan Kaisar Andreas hanya mengandalkan tembok besar sebagai pelindung, dan memainkan pertarungan jarak jauh. Untuk pertarungan jarak dekat, kemampuan mereka masih terlampau jauh di bawah pasukan Sultan Umar.

Ting ...

Pedang Jamal beradu dengan pedang Jenderal Sina, ketangkasan seorang jenderal tak bisa dianggap remeh,

“Biar aku yang menghadapi orang ini. Kalian, kejarlah mereka! Jangan ada yang keluar dalam keadaan hidup.”

Segera saja para bawahan Jenderal Sina mengejar para pasukan, para pasukan tak bisa berbuat banyak karena perbandingan jumlah yang cukup jauh, mereka tak bisa menunggu Jamal yang sedang beradu pedang, atau pun menyelamatkan Sultan Umar dari eksekusinya.

"Cepat lari! Sultan Umar memberikan perintah untuk lari," Mereka hanya bisa lari menjauh, berusaha keluar dari area kerajaan, sesuai perintah Sultan Umar.

Ketika sebagian besar dari pasukan sudah berhasil keluar melewati jembatan angkat, terlihat seorang pasukan yang sedari tadi menaiki kuda penarik gerobak pembawa tong, berhenti tepat di atas jembatan. Menggulingkan semua tong yang tersisa, kemudian menyulutnya dengan api.

Jembatan angkat pun dipenuhi oleh api, menjalar ke sepanjang jalan yang telah basah oleh minyak, yang sengaja dituang oleh Jamal ketika memasuki area kastel.

"Jembatan tak mungkin bisa lewati lagi, kita lakukan penyerangan melalui atas." Mengetahui bahwa tak ada jalan lagi untuk mengejar musuhnya, para bawahan Jenderal Sina akhirnya naik ke atas dinding, mencoba untuk memanah para pasukan dari ketinggian.

Namun karena jarak yang sudah semakin menjauh, anak panah dari bawahan Jenderal Sina tak bisa menjangkau para pasukan, "Musuh kita terlalu jauh."

Duel sengit antara Jenderal Sina dan Jamal masih terus berlanjut, terlihat Jamal sedang dikelilingi oleh para musuhnya.

Menyadari kondisinya tak diuntungkan, Jamal mundur sedikit, kemudian mendekati mayat yang ada di belakangnya. Mengambil sebuah pedang dari tangan musuh yang tadi sempat ditebasnya.

Jamal memang tak biasa menggunakan tameng saat bertarung, dia malah lebih terbiasa menggunakan dua pedang ketimbang menggunakan tameng.

‘Mungkin ini sudah waktuku,' batin Jamal,

Dengan segera Jamal mengayunkan pedangnya ke segala arah, dia sadar kematiannya tak akan lama lagi, dia hanya berusaha menebas musuh sebanyak mungkin.

Melihat ada asap yang membumbung tinggi di jauh sana, membuat Sultan Umar meneteskan air mata, dia merasa gagal menjadi pemimpin.

‘Tiga kali aku membuat pasukanku dalam bahaya,' batin Sultan Umar.

Setelah peristiwa parit dan meledaknya terowongan, ini ketiga kali ketiga para pasukan berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.

“Lihatlah! Umar meratapi kekalahannya, ha ha ha,” dengan tawa jahat, Kaisar Andreas mengumumkan kepada warganya yang masih duduk manis menunggu eksekusi.

Sedangkan di istana kesultanan, terlihat Jamil sedang berpapasan dengan Utsman yang sedang memimpin pasukannya untuk turut turun ke medan perang.

“kenapa kau datang sendiri? Ke mana ayahmu?” sang putra mahkota mempertanyakan kedatangan Jamil tanpa ayahnya.

mengingat ketika meninggalkan istana, Jamil ditemani oleh ayahnya, Jamal.

“Bagaimana kondisi peperangan di sana?” tambah Utsman. Jamil menjawab dan menjelaskan sesuai apa yang ia tahu.

Sambil mendengarkan cerita Jamil, Utsman membuka surat yang diterimanya, rasa penasaran sudah membalut hati sang putra mahkota.

Tak berapa lama, terlihat butiran air mata jatuh membasahi surat yang berada pada tangannya. Di sana tertulis rencana dan strategi yang sudah dipersiapkan oleh Sultan Umar, untuk kemudian dilaksanakan oleh Utsman.

“Maaf, apa ada salah kata dari jawaban yang saya berikan?” melihat orang yang sangat dihormatinya berlinang air mata, tentu menimbulkan suatu pertanyaan di kepala Jamil.

Tak ada jawaban, keadaan menjadi hening, Jamil semakin bingung tentang apa yang harus diperbuatnya.

"Terima kasih sudah membawa surat yang sangat penting ini," ucap Utsman. Tak biasanya Utsman bisa selembut ini, mengingat Utsman adalah orang yang berwatak sangat keras.

"Sudah menjadi tugas saya tuan," jawab Jamil merendah. "Lalu apakah tuan akan berangkat sekarang? Bolehkan saya juga ikut?" 

“Jamil usiamu masih terlalu muda, perang kali ini bukanlah panggungmu. Pulanglah dan sampaikan salamku pada ibumu!" Permintaan Jamil untuk turut serta meramaikan kancah peperangan tak di setujui oleh Utsman.

"Ayo, berangkat! Kita tidak boleh membiarkan teman teman kita menunggu." Utsman pun mulai melajukan kudanya untuk memimpin di barisan paling depan.

Kembali ke istana kerajaan Andreas.

Jamal yang bermandikan darah berhasil memisahkan beberapa kepala musuh dari badannya, hal itu harus dibayarnya dengan sayatan-sayatan di sekujur tubuhnya.

Pertarungan yang berjalan cukup lama membuat tubuh Jamal sangat kelelahan, tubuh Jamal yang sudah kehabisan tenaga, segera diseret ke arah kastel.

“Umar, lihatlah sampah ini!” di depan mata Sultan Umar, dengan jelas ia melihat salah satu orang yang sangat dekat dengannya sedang dalam kondisi sekarat.

'Dasar bodoh, kenapa kau kembali?’ batin Sultan Umar dengan aliran air mata yang deras membasahi pipinya.

“Ingatlah! Anakku, anak-anak dari pasukanku yang kalah hari ini, suatu saat akan datang kemari. Bukan hanya untuk membalas dendam, tapi juga untuk membuktikan bahwa leluhur kami tak pernah salah dalam melihat masa depan”

Sultan Umar bersumpah di hadapan semua warga yang hadir menyaksikan acara eksekusinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status