Share

Bab 4.

Bala bantuan tak kunjung datang, area perkemahan sudah dibongkar, para pasukan sudah bersiap untuk kembali pulang.

Sisa pasukan yang sedikit serta tidak adanya pemimpin membuat mereka tidak bisa melanjutkan peperangan. Mereka tak mau berlama-lama lagi, mereka takut jika pasukan musuh datang menyergap.

Sementara itu di alun-alun kastel Kaisar Andreas sudah dipersiapkan sebuah menara, tak terlalu tinggi, namun cukup jelas untuk dilihat dari kejauhan, Sultan Umar akan dieksekusi di atas sana.

“Ayo, cepat! Jangan sampai kita ketinggalan.” Berita pengeksekusian Sultan Umar sudah tersebar ke berbagai pelosok kerajaan, semua warga berbondong-bondong untuk menyaksikan peristiwa ini.

Alun-alun kastel sudah dipenuhi oleh berbagai kalangan, tak hanya bawahan Kaisar Andreas saja, rakyat jelata pun ikut menyaksikan acara ini, beberapa orang penulis sejarah juga sudah siap untuk mengabadikan momen ini.

“Berdiri!” Dua orang pengawal membuka pintu penjara.

Dengan tubuh yang lemas karena sudah kelelahan Sultan Umar ditarik dan dipaksa untuk berjalan, berjalan melewati barisan penonton, namun tatapan penuh ancaman masih terus terpancar dari matanya.

"Cepatlah naik! Jangan biarkan orang yang antusias menunggu eksekusimu menjadi bosan, karena terlalu lama menunggu," seorang penjaga memperlakukan Sultan Umar seperti sampah yang tak berguna.

Satu demi satu anak tangga mulai dinaiki, beberapa bagian tubuh Sultan Umar tampak biru memar, karena memang semalam tubuhnya mendapatkan jatah khusus saat di dalam penjara.

Dua orang petugas sudah menyilangkan pedangnya di depan leher Sultan Umar, mereka tinggal menunggu perintah dari Kaisar Andreas untuk menggoreskan pedang tersebut pada tubuh sang Sultan.

“Semua, Lihatlah! Ini akibatnya jika ada orang yang berani memberontak,” Kaisar Andreas mulai membuka pidatonya.

Seluruh yang hadir hanya dapat mengagumi betapa kuatnya pemimpin mereka. Harta, reputasi, kekuatan, dan kekuasaan, tak ada satu orang pun yang mampu melengserkan Kaisar Andreas.

Bagi penduduk yang hidup di sekitar kastel, Kaisar Andreas adalah orang yang sangat mengayomi para masyarakatnya, bahkan untuk ukuran rakyat jelata di sana adalah seorang bangsawan dari luar, yang baru saja memulai bisnisnya di wilayah kerajaan.

“Kalian yang ingin pulang, pulanglah! Bagiku tak ada pilihan untuk pulang, mati atau menang ,” ucap Jamal dengan penuh semangat, dia ingin membuktikan kesetiaannya melebihi para pasukan lain.

Jamal adalah satu dari sekian banyak pasukan yang tidak sempat masuk ke dalam terowongan.

“Aku yakin tembok ini akan runtuh, mungkin kita bukanlah pasukan yang diramalkan, tapi aku yakin ramalan leluhur kita tentang runtuhnya tembok ini adalah nyata adanya.”

Pasukan mulai terbagi menjadi dua, pasukan yang memang siap mati membela Sultan Umar, mereka yang memilih maju akan masuk dan tetap meneruskan perjuangannya, mereka akan kembali melakukan serangan dengan cara menurunkan jembatan angkat.

Sedangkan pada kelompok kedua adalah orang-orang yang memilih untuk mundur, seperti para penasihat dan juga tim medis, mereka lebih memilih untuk menunggu kedatangan Utsman, sang putra mahkota.

“Yang memang sudah siap mati, ikuti aku!”

Dengan gagah berani Jamal menunggang kuda, entah kuda siapa yang ia bawa, mengingat kuda miliknya sendiri sudah dibawa pulang oleh Jamil.

Tak sia-sia, usaha Jamal untuk membangkitkan semangat para pasukan membuahkan hasil.

Jamal yang dulunya adalah seorang budak, kini memandu beribu-ribu pasukan untuk menyelamatkan pemimpin mereka yang sebenarnya. Sedangkanpasukan yang berisikan para penasihat terlihat mulai menunggangi kudanya ke arah yang berlawanan.

"Kenapa tidak ada penjagaan sama sekali disini?" Jamal terheran heran saat melihat pintu gerbang sama sekali tidak dijaga oleh para musuhnya. Mungkin para penjaga sedang sibuk dengan acara pengeksekusian Sultan Umar.

Jamal memutar tuas yang berfungsi untuk menurunkan jembatan angkat, para pasukan langsung menyerbu masuk kedalam area kekaisaran.

Kedatangan Jamal di lingkungan kastel membuat para pasukan lawan kaget setengah mati.

"Kita diserang.” para bawahan Jenderal Sina mulai lari tunggang langgang ke arah kastel untuk mencari bala bantuan. Jamal tak tinggal diam, langsung saja ia beserta pasukannya mengejar para musuhnya.

Dalam pengejaran menuju kastel, Jamal melihat sebuah lubang besar yang tadinya berfungsi untuk memotong terowongan, di sana terlihat beberapa ekor kuda dengan gerobak pada bagian belakang, gerobak-gerobak tersebut memuat tong berisikan minyak, setelah diperiksa, ternyata masih banyak sisa minyak yang belum sempat digunakan oleh musuh.

Tiba-tiba terbesit sebuah ide di kepala Jamal, segera saja Jamal turun dari kudanya, kemudian beralih menaiki gerobak.

"Kemarilah, peganglah tali kekang kuda ini! Bawa aku ke arah keramaian! Dan aku akan menuangkan tong-tong minyak ini di sepanjang jalan,” ucap Jamal.

Jamal berniat untuk membumi hanguskan para pasukan musuh, dia ingin pasukan musuh juga merasakan bagaimana rasanya dipanggang hidup-hidup.

Kuda penarik gerobak mulai digiring mengelilingi area di sekitar kastel, minyak dalam tong ditumpahkan di sepanjang perjalanan, “Sultan Umar ... Di mana sultanku?” teriak Jamal seperti orang yang sedang kesurupan.

“Lihatlah! Siapa yang di atas sana?” ucap seorang pasukan sambil menunjuk pada sebuah menara.

“Sultan Umar ... Itu Sultan Umar,” setelah mereka tahu bahwa yang di atas menara adalah Sultan Umar, mereka segera memacu kuda mereka ke sana.

“Lihatlah! Kita kedatangan tamu,” ucap Kaisar Andreas sambil menunjuk pasukan yang dipimpin oleh Jamal.

Hal ini tentu saja mengagetkan Sultan Umar, dari atas menara dengan jelas dia melihat semangat para pasukannya masih belum padam.

“Umar, Lihatlah tikus kecilmu, berani-beraninya mereka masuk ke dalam kandangku." Kaisar Andreas menertawakan kekonyolan yang sedang dilihatnya.

Perbandingan pasukan yang sangat jauh, tentu saja akan memberikan kemenangan yang mudah bagi Kaisar Andreas.

Dari atas menara, Sultan Umar melihat para pasukan musuh berusaha mengelilingi pasukannya, jika para pasukannya terus memaksakan diri untuk menyelamatkan dirinya dari menara, itu tak akan ada hasilnya, hanya akan membuang nyawa mereka dengan sia-sia.

“Dengarkan aku! Ini perintah terakhirku sebagai pemimpin kalian, pergilah menjauh! Aku tidak butuh untuk diselamatkan, kalian kira aku siapa? Kalian meremehkanku? Aku bisa menyelamatkan diriku sendiri.” Dengan suara lantang Sultan Umar memberikan perintah kepada pasukannya.

Bukannya sok kuat, Sultan Umar hanya menyadari bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan perlawanan.

“Aku tahu sultan tak ingin diselamatkan, tapi aku juga tahu kalau dia tak mungkin selamat,” pekik Jamal dengan mata yang berkaca-kaca.

Para pasukan sudah tahu kalau pemimpin mereka pasti sudah mempertimbangkan keputusannya dengan sebaik mungkin.

“Ayo, mundur! Ini perintah dari pemimpin kita,” ucap seorang pasukan mencoba menenangkan Jamal.

Para pasukan hanya ingin menghormati keputusan pemimpinnya, mereka mulai memutar arah, mereka mencoba untuk menjauh dan keluar sesuai apa yang sudah diperintahkan.

Perjalanan untuk keluar dari area kerajaan tentu saja tidaklah mudah, pasukan musuh sudah mendapatkan bala bantuan, mereka tak akan membiarkan pasukan Sultan Umar keluar begitu saja. Dengan acungan pedang, mereka menghadang pasukan Sultan Umar.

“Kalian memang hanya kumpulan para pecundang.” Teriak Jenderal Sina yang juga ikut mengejar Jamal dan yang lainnya.

“Ayo, dia hanya ingin mengacaukan kita, jangan sampai terpengaruh kata-katanya,” teriak seorang yang berlari di depan Jamal.

“Bagaimanapun juga, pemimpin mereka, Umar, juga seorang pecundang, kan?” Ejek Kaisar Sina.

Hal ini tak bisa diterima lagi oleh Jamal. Jamal segera berhenti dari pelariannya, “Siapa yang kau sebut pecundang?” sambil berbalik, Jamal segera mengeluarkan pedang dari selongsongnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status