Share

Bab 7.

Havir segera mengerahkan pasukan yang dipimpinnya untuk menggali terowongan. Havir yang ditugaskan untuk menjaga dengan rapat rahasia ini, berjaga di mulut terowongan.

Sambil menunggu terowongan siap digunakan, Utsman mencoba untuk mengirimkan seorang utusan untuk menegosiasikan pembebasan ayahnya, serta permintaan pembukaan akses pada daerah kekaisaran.

“Siapa di antara kalian yang mau mengirimkan surat negosiasi ini kepada Kaisar Andreas?” di hadapan sekumpulan pasukan, Utsman mencari orang yang mau untuk menyampaikan pesannya kepada pasukan musuh.

Tak ada satu pun yang berani menjawab, tugas yang begitu berisiko dan terasa sedikit gila, mereka takut akan menjadi tawanan jika masuk ke daerah musuh seorang diri.

“Kami mendengar, dan kami taat,” teriak Abu memecah keheningan.

“Berikan tugas itu padaku!” Abu malah meminta untuk mengemban tugas itu. Tak heran, Abu memang orang yang sedikit geser otaknya, yang ada dalam pikirannya hanya patuh terhadap pimpinan, tak peduli dengan risiko yang akan dihadapi.

“Baiklah, kau kirimkan surat ini pada Kaisar Andreas!” perintah Utsman sambil memberikan sebuah gulungan kertas.

Abu pun menuju ke area kekaisaran dengan menaiki sebuah keledai, Abu memang tak punya kuda perang untuk digunakan. Abu juga tak memiliki baju besi dan pedang, hanya panci sebagai pelindung kepala, serta pisau kecil untuk senjata, aksesoris ditubuhnya hanya sebuah katapel yang digunakan sebagai kalung.

Kedatangan Abu pada daerah kekaisaran disambut langsung oleh Jenderal Sina, yang kebetulan sedang bersiaga di atas tembok besar pelindung kekaisaran.

“Hai orang gila, siapa kau? Dan mau apa kau kesini?” tanya Jenderal Sina sambil menahan tawa melihat penampilan dari Abu.

“Aku adalah seorang utusan dari Utsman, ingin bertemu dengan pemimpin kalian untuk memberikan surat ini.”

Mendengar surat itu ditujukan untuk Kaisar Andreas, Jenderal Sina akhirnya menurunkan jembatan angkat yang tempo hari lalu sempat dilalap api, untungnya jembatan ini terbuat dari besi, sehingga masih tetap utuh meskipun sempat terbakar.

“Kawal dia! Aku akan tetap berjaga di sini.” Jenderal Sina menyuruh dua orang anak buahnya untuk melakukan pengawalan, untuk mengawasi seseorang yang gila, Jenderal Sina merasa tak perlu ikut turun tangan.

Ketika memasuki area kastel, Abu melihat Sultan Umar yang sedang berada di atas sebuah menara.

“Hai Sultan, kenapa kau ada di sana? Turunlah!” tanya Abu tanpa sedikit pun sopan santun, wajar saja memang otaknya sudah tidak beres.

“Aku sedang menunggu Utsman, kenapa kau bisa berada sini?” Sultan Umar merasa sedikit kaget melihat salah satu rakyatnya dengan mudah masuk ke dalam area kastel.

“Kau menunggu Utsman? Dia sudah menunggumu di luar. Sebaiknya jangan menunggu di situ, kau bisa menunggu di bawah sini.”

“Di atas pemandangannya jauh lebih indah.” Jawab Sultan Umar dengan bercanda.

“Benarkah? Setelah aku memberikan surat ini, aku akan ikut naik ke sana.” Abu menanggapi canda Sultan Umar dengan serius.

Abu dan dua pengawal sudah sampai di depan kastel, pengawal meminta Abu untuk turun dari keledainya dan berjalan menunduk untuk menghormati Kaisar Andreas.

“Aku tidak mau meninggalkan keledaiku, aku khawatir keledaiku kalian bawa kabur,” tolak Abu.

Dua orang pengawal ini hanya bisa geleng-geleng, mereka tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang dari pasukan musuh berani menghadap Kaisar Andreas, namun memiliki rasa takut kehilangan ketika meninggalkan keledainya.

“Kalau begitu tunggu di sini sebentar! Aku akan melapor pada Kaisar Andreas.” Ucap salah seorang pengawal yang kemudian masuk ke dalam kastel.

Segera saja si pengawal tersebut duduk bersimpuh di hadapan sang kaisar, “Tuan, ada seorang utusan dari Utsman membawa sebuah surat untuk Anda”

“Di mana dia? Biarkan dia masuk,”

“Tapi tuan, dia tidak mau turun dari keledainya, dia ingin masuk dengan menunggangi keledainya.”

“Kalau begitu buka pintu serendah mungkin, sehingga dia harus turun dari keledainya dan masuk dengan cara merangkak.”

“Baik tuan,” jawab si pengawal sambil berjalan mundur dengan menggunakan lutut sebagai tumpuan.

Pengawal pun kembali menghampiri Abu, menurunkan pintu hingga hanya setinggi keledai. Memang beberapa pintu di kastel ini menggunakan sistem buka tutup dengan arah vertikal.

“Cepat masuk! Kaisar Andreas sudah menunggu surat yang kau bawa.”

Meskipun Abu termasuk orang yang bodoh, namun ia mampu menangkap apa maksud dari semua ini.

“Apa kalian mau aku berjalan menunduk untuk menghadap pemimpin kalian?” tanya Abu.

Abu segera turun dari keledainya, kemudian berbalik arah membelakangi pintu. Abu masuk ke dalam kastel dengan cara mundur, tak lupa ia juga menarik keledainya untuk ikut berjalan mundur.

Para pengawal kaget melihat tingkah Abu, Abu sengaja masuk dengan posisi menungging, seolah mengisyaratkan bahwa Abu ingin menyapa Kaisar Andreas dengan pantatnya.

“Sudah aku bilang, aku tak mau tunduk pada pemimpin kalian,” ucap abu setelah berhasil melewati pintu dengan cara berjalan mundur.

Melihat pantat yang tiba-tiba muncul di hadapan mukanya membuat Kaisar Andreas marah, namun ia juga tidak bisa menahan tawa ketika melihat penampilan konyol dari si pemilik pantat tersebut.

“Apa kau yang namanya Andreas?” tanya Abu tanpa sopan santun.

“Siapa kau? Ada perlu apa kau kemari?”

“Apa kau yang namanya Andreas?” tanya Abu sekali lagi.

“Aku Andreas. Ada perlu apa kau mencariku?” Kaisar Andreas mulai merasa sedikit jengkel dengan sikap Abu.

“Ini surat dari tuanku. Tuanku menawarkan sebuah pilihan untukmu, bebaskan Sultan Umar dan bukalah negeri ini untuk siapa saja! Jika kau menolak, tuanku akan datang kemari dan mengusirmu dari sini.”

Bukannya membuka surat yang diberikan oleh Abu, Kaisar Andreas sudah merasa cukup jelas dengan penjelasan yang baru didengarnya.

“Aku tidak bisa memberikan keputusan dengan cepat, aku harus berunding dengan pembesar kerajaan.”

Dalam hati Kaisar Andreas sebenarnya tak ada sedikit pun rasa tertarik untuk berdamai. Dia hanya ingin bermain- main saja dengan seorang badut yang memakai panci ini.

“Kau perlu waktu berapa hari? Satu atau dua hari?”

“Bagaimana kalau satu bulan?” goda Kaisar Andreas.

“Pemimpinku tidak pernah memberi waktu lebih dari tiga hari. Berikan jawaban sebelum tiga hari! Kalau tidak, tuanku akan mengusirmu dari sini,” ucap Abu sambil berjalan keluar. Bagi abu tugasnya sudah selesai, persoalan jawaban itu urusan antara para pemimpin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status