Share

Terjebak Mantra!
Terjebak Mantra!
Author: Azka Taslimi

Inikah Hayalan?

Ah, aku menyesal telah membaca mantra itu. Bagaimana tidak, setelah aku membaca mantra ‘Alih Nggon’ tadi, aku langsung menghilang entah kemana saat ini. Tempatnya gelap, kekurangan  sinar, penuh dengan semak-semak sepanjang perjalanan. Aku terpaksa berjalan dengan menyibak-nyibak semak, jika ingin sampai tujuan.

Sampai tujuan? Kemanakah aku harus menuju? Rupanya, saat ini tujuanku adalah menemukan tempat tertulisnya mantra untuk kembali pulang.

Sebelumnya, aku akan menceritakan tentang diriku pada kalian. Perlu kalian ketahui bahwa sebenarnya dunia ini penuh dengan misteri. Dan, bahkan, dari sekian misteri itu, kebanyakan dari kita belum mengetahui bahwa itu adalah misteri. Misalnya adalah kisah hidupku ini.

Lima tahun yang lalu, aku menemukan sebuah buku yang berasal dari jaman manusia silam. Atau, mudahnya kita namakan  berasal dari orang-orang terdahulu. Nah, dalam buku itu terdapat banyak sekali mantra, doa, dan bacaan-bacaan lainnya yang bersifat ghoib. Bukan ghoib, ya, tapi bisa menimbulkan suatu efek yang tidak terduga sebelumnya.

Pertama kali aku membaca mantra dari buku itu, tubuhku hilang, dan langsung berada di puncak pegunungan. Awalnya aku takut, lalu berjalan mondar-mandir. Akhirnya aku menemukan sebuah batu yang bertulisakan sebuah mantra lagi. Aku membacanya, dan setelah membaca tiga kali, aku berhasil kembali di rumah dengan keadaan selamat. Mulai saat itu, aku menamakan buku kumpulan mantra itu dengan sebutan ‘Buku Ajaib’.

Pukul sembilan pagi, aku bangun tidur, mandi, dan sarapan pagi. Tidak sekolah? Tidak, Indonesia masih lock down, tidak boleh keluar rumah, apalagi pergi sekolah. Korona, menjadi virus paling mematikan menurut orang Indonesia yang tidak mengetahui.

Setelah sarapan, iseng-iseng aku membuka buku ajaib, dan membaca-baca mantranya. Syarat agar mantra yang aku baca dari buku itu berfungsi, harus diulangi sebanyak tiga kali. Aku hanya membacanya dua kali, sehingga tidak berfungsi. Tapi, walaupun hanya satu kali, kalau diiringi dengan niat, maka akan berfungsi. Hingga pada halaman 1928, bab 75, aku menemukan sebuah mantra yang bunyinya sangat indah, sehingga aku lupa sampai mengulanginya sebanyak tiga kali. Jadilah aku sampai pada tempat ini. Sebuah tempat yang menurutku cukup menakutkan.

Kanan-kiri dipenuhi dengan pepohonan besar, lebih besar dari pada pohon terbesar di taman safari, bogor. Daunnya rindang, banyak burung beraneka warna bermain. Andai aku tidak sedang berada pada posisi seperti ini, aku pasti langsung menangkap mereka dengan jaring-jaring raksaksa. Ah, jangan memikirkan tentang burung itu dulu, tidak penting. Yang penting sekarang adalah menemukan tempat tertulisnya mantra selanjutnya, mantra untuk kembali pulang.

Mataku mengarah pada sebuah sungai besar, airnya jernih, ikan-ikan nampak berenang bebas di sana. Wah, andai aku tadi membawa pancing, pasti asyik sekali, sambil menikmati satu gelas kopi hitam. Tapi, kekaguman itu tidak bertahan lama. Tiba-tiba, dari balik semak belukar muncul satu manusia dengan topi besar, berteriak mengarah padaku. Anehnya, aku tidak paham dengan bahasa yang dia gunakan. Mungkin ini adalah lokasi di luar Indonesia.

“Aenek woeng asaeng!” sambil menengok kanan-kiri, sepertinya sedang mencari seseorang.

Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Akhirnya aku memilih diam, tidak berlari atau meninggalkan dia. Siapa tahu kalau dia ternyata adalah orang baik-baik, bisa menunjukkan mantra untuk kembali pulang.

Kini, aku terus melihatnya. Dia merasa aneh sendiri. Adakah yang aneh dengan diriku? Jika aku menafsirkan apa yang dia rasakan saat ini, pasti dia menganggap bahwa aku manusia aneh.

“Haei, kamuoe siepoe?”

Sepertinya aku agak mengerti dengan bahasa itu. Apakah... itu salah satu bahasa daerah di Indonesia? Ah, sebentar, aku perlu mengingat-ingatnya kembali.

“Haiiiieeeee ... !” katanya dengan ekspresi membentak.

Aku samar, ragu, dengan kalimat apa aku harus menjawab? Akhirnya, pelan-pelan aku mengeluarkan suara, dengan bahasa Indonesia asli.

“Maaf, aku tidak paham bahasa kamu.” Dari hati paling dalam.

Dia plengah-plengoh, nampaknya juga bingung. Dia diam sejenak, berpikir nampaknya. Tiada kata-kata balasan darinya. Dari kejauhan terdengar suara kaki berlari menginjak daun-daun kering.

Kresek ... kresek ... kresek ...

Semakin keras saja suara itu aku dengarkan. Dia, manusia yang berada di depanku menengok pada sumber suara kaki berlari. Sepertinya dia senang. Berarti, jika aku menafsirkan, dia yang datang itu adalah temannya.

“Syuoerkerlah, kamoeisu tangda suh.” Kata orang di depanku sangat ramah, bahagia.

“Aoupa kamuoe o buotuohken?” balasnya.

“Adioe oroeung asieoeng.” Katanya lagi sambil menunjukku.

Aku bingung. Apa sebenarnya yang sedang mereka berdua bincangkan? Rasanya, ingin aku segera memukul kedua kepala itu, dan menghanyutkan pada sungai di belakangnya.

Orang yang baru datang maju ke depan, menujuku, dan menjulurkan tangan. Apa yang dia inginkan? Apakah dia ingin berkenalan denganku? Baiklah, aku ikut menjulurkan tangan kepadanya. Dan, apa yang akan terjadi?

Ah, sial, rupanya dia tidak hendak berkenalan denganku. Dia mengulur tangannya kebelakang lagi, membiarkan tanganku terjulur. Sumpah, andai saja dia adalah temanku, maka aku akan menampar pipinya dengan tanganku yang terjulur.

“Sori, kamu pasti datang dari Indonesia, bukan?” tanya orang bertopi lebar.

Jawabku terbata-bata, “Iy ...ya.”

“Selamat datang di kota kami, kota paling tua dalam sejarah manusia, pusat peradaban pada jamannya.” Katanya lagi.

Manusia laki-laki bertopi lebar itu memperkenalkan diri dengan nama Hanai. Dan yang satunya lagi, yang datang dengan berlari, mengaku menyandang nama Hinia, berjenis kelamin perempuan.

“Kamu pasti telah membaca ‘Alih Nggon’?” tebaknya.

Aku hanya menganggukkan kepala. Rupanya mereka berdua bisa berbahasa Indonesia.

“Maaf, apa kalian bisa berbahasa Indonesia?” tanyaku dengan nada paling sopan seumur hidupku.

“Ha? Kamu kira kita berdua tidak bisa berbahasa Indonesia?” si topi lebar marah-marah.

Apakah ada yang salah dengan tutur bahasaku? Sepertinya tidak. Oh, sekarang aku baru sadar kenapa dia marah-marah. Pertanyaanku memang sangat tolol. Jelas-jelas tadi dia sudah menggunakan bahasa Indonesia, kenapa aku masih menanyakannya? Memang bodoh sekali aku.

“Maaf, kakak saya ini orangnya memang sangat pemarah, keras, tapi baik hati sebenarnya. Dia adalah salah satu manusia paling tidak perasa di sini. Baiklah, aku akan menjelaskan padamu, bahwa kami bisa berbahasa Indonesia. Jadi, mulai sekarang kita mulai interaksi dengan bahasa aslimi.” Tutur wanita yang datang.

“Iya, aku juga minta maaf.” Kataku dengan menjulurkan tangan.

“Oh, iya, kami belum mengenal namamu.”

“Perkenalkan, namaku Safara.”

Setelah mereka mengetahui namaku, Hinia membisikkan kata ketelinga Hanai, aku tidak mendengarnya. Hanai hanya menganggukkan kepala setelah mendengar apa yang Hinia bisikkan tadi.

“Mari, ikut bersama kami. Kami akan mengajakmu terlebih dahulu berkunjung ke rumah kami.”

Lalu, Hinia menggandeng tanganku. Tangannya dingin, tapi lama-lama dia memegangku, tangannya berubah menjadi hangat. Nyaman sekali tangannya.

“Apakah jauh rumah kalian?” tanyaku sangat polos.

Aku belum mengetahui apakah mereka berdua adalah orang baik-baik. Tapi, begitu mereka mengajakku pergi, berkunjung ke rumahnya, kenapa aku langsung mengiyakan? Tidak tahu, mungkin mereka mempunyai daya tarik tersendiri. Mungkin itu adalah kemampuan karismatik dari dalam diri mereka.

“Oh, tidak, rumah kami dekat sekali. Depan itu adalah rumah kami, setelah tikungan pertama nanti.” Jelas Hanai.

Kami bertiga berjalan beriringan, jalan kaki. Aneh, aku tidak menemui orang sama sekali kecuali mereka berdua. Inikah yang dinamakan dengan negeri dongeng? Udara di sini cukup dingin. Pantas saja, pakaian yang mereka kenakan sangat tebal, mungkin udara adalah salah satu alasannya.

Sepertinya kami bertiga sudah melewati tikungan pertama, berarti rumah mereka berdua sudah dekat. Tapi, rasa-rasanya tidak akan ada rumah di sini. Bayangkan saja, aku saat ini masih berada pada jalan setapak, yang hanya saja lebih baik dilewati dari pada jalan setapak yang aku baru datang tadi, mungkinkah di sini terbangun sebuah rumah? Mungkin saja, karena aku semula belum pernah  berkunjung ke sini.

Di depan sana, sekitar jarak lima belas meter, ada sebuah patung kepala singa besar, menyandar pada sebuah batu. Mata singa itu sipit sebelah, dan bibirnya tidak terbuka sama sekali. Bahkan, telinga singa itu terlihat bergerak-gerak, walaupun sepertinya terbuat dari ukiran batu.

“Nah, itu adalah pintu masuk rumah kami.” Hinia berkata.

“Bukan, itu bukan pintu rumah kami, tapi adalah pintu masuk desa kami. Rumah kami masih sekitar dua puluh meter lagi setelah melewati pintu itu.” Hanai membenarkan adiknya.

“Sama saja, kali.” Hinia tidak terima.

“Beda, lah.” Hanai mengelek.

Akhirnya mereka terdiam sendiri setelah mendekati patung kepala singa.

“Lalu, apakah hutan ini bukan termasuk desa kalian?” aku memberanikan diri bertanya.

“Masih, sebenarnya hutan ini masih termasuk lokasi desa kami. Hanya saja, hutan ini tidak ada yang menghuni. Yang kami maksud dengan desa kami, adalah sebuah bangunan desa yang berpenghuni. Jadi, di dalam nanti, setelah melewati pintu singa itu, adalah sebuah desa yang berpenghuni. Aku tahu, kamu pasti bertanya-tanya, kenapa kamu tidak menemui manusia lain, bukan?” Hinia menjelaskan.

Aku lagi-lagi hanya menganggukkan kepala.

“Nah, setelah sampai rumah nanti, aku akan menjelaskan lebih banyak lagi kepadamu.” tambah Hinia.

Baiklah, alangkah baiknya sekarang aku diam manis, tidak banyak tanya. Jika sudah tiba saatnya aku mengetahui, pasti aku akan mengetahuinya dengan mudah, tanpa banyak tanya seperti ini.

“Jangan mengeluarkan suara.” Kata Hanai, tegang.

“Tidak usah tegang juga, kali.” Hinia menimpali.

Lalu, Hanai melirik kepada Hinia, sinis.

Aku tidak mengeluarkan suara, sama sekali, seperti yang diperintahlah oleh Hanai, kakak Hinia. Patung kepala singa bergetar ringan, menimbulkan debu-debu di atasnya beterbangan. Sepertinya, patung kepala singa itu jarang sekali bergerak.

“Maosesok, kamiorer tangda su.” Kata mereka bersamaan. Aku? Masih diam manis.

Pelan-pelan, patung singa itu terangkat, terbuka sebuah pintu baru. Pintu itu sepertinya terbuat dari kayu, hitam legam. Hinia dan Hanai maju menuju pintu itu, dan aku otomatis mengikutinya. Aku tidak mau ditinggal sendiri oleh mereka.

Aku baru sadar, pintu itu tidak ada gagangnya sama sekali. Persis dengan perwajahan lift. Lalu, bagaimana kami bisa masuk? Itu yang menjadi pertanyaanku sekarang. Apakah ada sebuah tombol rahasia seperti difilm-film barat? Ah, ini baru pengalaman menarik.

Hinia mengeluarkan sebuah kartu dari dalam saku bajunya. Ukurannya hampir sama dengan kartu KTP, berwarna merah darah. Kemudian, dia menggosokkan kartu pada pintu itu. Dan, kemudian pelan-pelan, pintu terbuka kesamping kanan-kiri, terbelah menjadi dua bagian.

Dari balik pintu itu, nampak sebuah kota dengan bangunan megah, seperti hayalan pada sebuah novel-novel yang mengisahkan masa depan dunia. Gedung-gedung tinggi berjajar rapi, mengejutkan. Kendaraan terbang, melayang-layang tanpa adanya jalan bagaikan pesawat. Hampir tidak ada kendaraan darat, hanya terlihat beberapa sepeda manual. Inikah hayalan masa depan yang digambarkan oleh sebuah novel?

“Selamat datang di desa kami.” Ucap mereka berbarengan.

Lalu, pintu lebar di belakang kami pelan-pelan menutup kembali setelah kami masuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status