Share

Dewan Kota

Sekarang di sinilah aku berada. Ruangan ini berbentuk persegi empat, hampir sama dengan bangunan rumah Indonesia, biasa. Namun bedanya adalah, ruangan ini penuh dengan gambar-gambar simbol, yang sebagian besar aku tidak mengerti artinya. Mungkin, Hinia dan Hanai adalah manusia yang suka mengoleksi gambar dengan simbol. Diantara simbol yang aku maksud adalah gambar dengan ukuran 50x50 cm2. Di atas kanvas, atau apalah itu, tergambar sebuah kepala ular dengan tiga mutiara, bersinar terang. Ular itu tidak mirip dengan ular manapun di Indonesia, atau hanya aku saja yang belum pernah melihatnya. Dan masih banyak gambar-bambar aneh lainnya.

“Bagaimana? Kamu suka dengan ruangan ini?” tanya Hinia ramah.

“Iya, aku suka, banyak gambarnya.” Jawabku.

“Kamu tahu? Setiap gambar itu adalah mantra! Tidak sembarang orang bisa melihatnya.”

“Maksudnya?”

“Hanya sebagian orang yang bisa menggunakan mantra gambar itu dengan benar. Kalau sampai pada orang yang salah, maka akan berbahaya.”

Oh, begitu. Aku mengangguk-anggukkan kepala untuk yang kesekian kalinya. Meskipun tidak begitu mengerti dengan apa yang dia jelaskan, setidaknya sekarang aku menjadi mengerti tentang makna yang tersimpan dalam simbol gambar itu, bahwa maknanya adalah sebuah mantra.

“Kamu lihat gambar itu?” katanya dengan menunjuk pada sebuah gambar.

“Iya, aku tahu.”

“Itu adalah mantra yang digunakan untuk mengetahui kondisi suatu lokasi, jarak jauh.”

Di sana, pada sebuah bingkai kayu coklat, ukuran 20x202, tergambar semut sedang menggunakan teleskop, menggunakan kursi sebagai pijakan. Aneh sekali, kan? Aku juga masih bingung bagaimana arti semut menggunakan teleskop bisa sampai dihubungkan dengan mengetahui kondisi jarak jauh.

“Kamu pasti bingung.” Tebaknya.

Memang aku tengah membingungkan bagaimana simbol itu bisa berarti demikian. Namun sah-sah saja, karena simbol hanya sebagian orang saja yang bisa memahami, serta mengartikan. Untuk selanjutnya, pasti banyak lagi hal aneh yang akan aku jumpai, tidak hanya soal simbol itu.

               “Semut adalah gambaran manusia, teleskop adalah alat jarak jauhnya, sedangkan kursi adalah ukuran dimensi. Jika kita menghendaki melihat suatu suasana, maka hanya dengan membayangkan tiga kali saja gambar simbol ini, dengan niat mengetahui, maka akan tergambar jelas dalam pikiran kita.”

Lagi-lagi aku hanya menganggukkan kepala. Lalu apa gunanya kursi? Aku masih belum mengetahuinya. Nanti, kalau aku sudah mengetahui, akan aku ceritakan pada kalian semua. Maka, bersabarlah.

“Aku akan menjelaskan padamu satu gambar lagi.” Katanya tidak sabaran.

Tapi tiba-tiba bangunan bergetar hebar, seperti gempa bumi. Aku takut, bingung, lalu bertanya kepada Hinia.

“Apa yang sedang terjadi?”

“Tenang, ini hanya masalah kecil. Jangan takut. Mungkin diluar sedang terjadi tabrakan antara mobil terbang.”jelasnya padaku.

Tiga puluh detik kemudian getaran sudah berhenti. Aku kembali tenang, mungkin tragedi tabrakan di luar sana sudah usai. Sebegitu dahsyatnyakah tabrakan antar mobil terbang, sehingga melebihi ledakan gunung berapi skala sedang?

“Baiklah, aku akan menjelaskan kembali padamu satu simbol.” Lanjut Hinia.

Tapi, belum sempat Hinia menjelaskan tentang gambar simbol yang dia maksudkan, tiba-tiba Hanai datang terengah-engah, dengan wajah cemas tambah takut. Sepertinya, dia habis melihat hantu-hantu pada rumah hantu. Wajahnya jika seperti ini memang mengasihankan, berbeda jauh ketika dia marah. Ketika marah, rasanya ingin menjitak kepalanya dengan tangan kosongku.

“Bahaya, bahaya, Dewan Kota menyerang desa kita.” Tuturnya pada kami berdua.

Aku tidak paham. Apa maksudnya Dewan Kota menyerang desa? Seiring dengan kebingunganku tentang Dewan Kota, dari luar memang terdengar suara keributan, seperti suara pertempuran lebih tepatnya.

“Kita harus mencari tempat aman.” Tambah Hanai lagi.

“Baiklah, kemana kita harus menuju?” tanya Hinia tidak kalah cemas.

Sedangkan aku hanya melihat mereka berdua yang saling cemas-cemasan, mereka sepertinya sudah mendapatkan tempat untuk menghindar dari pertempuran.

Gedubrak ... krosak ... brukk ...

Suara-suara bangunan runtuh terdengar jelas. Bagaikan runtuhnya gedung putih yang terkena bom, bahkan ledakan runtuhan ini lebih keras lagi. Membuat telinga langsung berdenging.

“Kita sekarang menuju gua Saeu. Aktifkan semua sandi rumah, simbol rumah, kunci rapat. Aku akan membawa simbol mantra yang kiranya kita butuhkan nanti.” Hanai berbicara tanpa jeda.

“Apa yang bisa aku bantu?” aku menawarkan diri pada Hinia.

“Kamu tenang saja, tidak usah banyak bergerak.” Hinia menjawab tanpa melihatku.

Dari seluruh ruangan rumah terdengar alarm  kebakaran. Apakah ini pertanda bahwa semua ruangan sudah dikunci? Sudah mendapatkan perlindungan? Sepertinya, iya.

“Hanai, sudahkah kau mempersiapkan mantranya?” tanya Hinia tidak sabaran.

“Sebentar lagi, masih kurang beberapa.”

“Butuhkah bantuan?”

“Tidak usah, ini sudah hampir selesai.”

Aku dan Hinia hanya menunggu dengan perasaan takut tidak menentu. Aku bingung, sebenarnya apa yang saat ini aku takutkan? Padahal, kebisingan yang terjadi ini entah dari mana. Tapi aku terlanjur percaya kepada mereka berdua, kepada Hanai dan Hinia.

“Selesai,” kata Hanai sambil berjalan, “Ayo kita berangkat. Mereka sudah sangat dekat.”

“Aku juga sudah mengunci semua ruangan, mengaktifkan sandi serta mantra.” Tambah Hinia.

Apa selanjutnya yang kami lakukan?

Hanai terlihat mengerluarkan sebuah kertas berukuran kecil, macam tiket bus malam. Warnanya biru, dengan tulisan entah apa di dalamnya.

“Kamu pegang tanganku!” kata Hanai padaku.

Aku ragu. Apa? Aku harus memegang tangan orang yang belum aku pahami ini? Ah, andai saja kondisinya tidak seperti ini, maka akan mematahkan tangan itu. Akhirnya aku memegang juga tangan Hanai. Dan ketika aku memegangnya, rasanya hampir sama dengan tangan manusia pada umumnya, ada rasa hangat, serta sedikit dingin. Saat itulah, saat aku merasakan hangat tangannya, dari luar ruangan terdengar ledakan super dahsyat.

Jebleeeerrr ... bruakkkkk .... krosak ....

Saat itu pula, aku mendengar Hanai dan Hinia menyuarakan sebuah mantra, yang terasa aneh sekali untuk telingaku.

“Ingusoen koeri niungke wesetye koqlion madkde.”

Dalam sekejap, tidak lebih dari satu detik, tubuh kami bertiga melenting ke belakang. Rasanya, seperti ada tarikan magnet yang memaksa kami untuk mengikuti arahnya. Anehnya, tarikan itu terasa sangat halus, terasa seperti menghentikan kerja otak. Awalnya tubuh kami memasuki sebuah lorong, semakin ke sana lorongnya semakin gelap. Bahkan, saat ini, mataku tidak kemasukan sinar sedikitpun. Yang ada hanya gelap, gelap, dan gelap. Tapi syukurlah dalam lorong gelap ini aku masih mendengarkan suara Hanai.

“Jangan lepaskan pegangan tanganmu sampai kita keluar lorong.”

Aku hanya diam, tidak membalas kata-katanya. Mungkin jika aku melepas pegangan tangannya, aku akan hilang dan tidak dapat melanjutkan perjalanan. Aneh sekali memang. Mungkin ini adalah salah satu perkembangan teknologi transportasi modern, semacam kereta bawah tanah paling cepat di dunia. Indonesia sebaiknya jangan menggunakan teknologi semacam ini terlebih dahulu. Kenapa? Septik-septik tank di Indonesia letaknya sangat tidak terkontrol. Kasihan Masinis kereta apinya jika harus melewati kotoran manusia setiap harinya.

“Sebentar lagi kita akan sampai. Tutup matamu dari sekarang. Mata kita akan buta jika tetap terbuka ketika akan keluar lorong.” Hinia berkata.  

Lagi-lagi aku hanya diam. Soalnya aku bingung, teman, apa yang harus aku ucapkan. Apakah benar jika aku mengucapkan ‘tidak mau’, ‘ah, sok pintar kamu’? Tidak, itu tidak benar. Walaupun selama ini aku sangat menyukai kata itu untuk temanku di Indonesia.

Lorong terasa seperti bergetar. Aku tidak berani membuka mata, sedikitpun. Kata Hinia, aku akan buta jika membuka mata ketika akan keluar lorong. Baiklah, tidak ada salahnya aku menutup mata untuk beberapa saat, daripada nanti aku buta selamanya. Dari arah depanku, terasa ada tarikan magnet yang berlawanan dengan magnet yang pertama tadi. Mungkin kami akan keluar dengan tarikan magnet dari depan ini.

Benar, tidak berselang lama dari angan-anganku, tubuhku merasakan sebuah tarikan halus dari arah depan.

“Kita sampai.” Kata Hinia ketika kami sudah keluar seluruhnya dari dalam lorong.

Ah, kenapa kami kembali lagi di hutan seperti awal pertama kali? Atau, memang hutan adalah tempat teraman untuk bersembunyi? Bisa saja jawabannya adalah, ‘iya’. Apakah memang ini adalah hutan tempat pertama kali aku datang?

“Ini adalah tempat teraman dari desa kami, saat ini. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa masuk pada tempat ini.” Penjelasan dari Hanai.

Oh, begitu. Jadi, ini bukan hutan pertama kali aku datang?

“Hutan seperti ini masak tempat teraman?” aku bertanya dengan nada tidak percaya.  

Ah, sial, sepertinya Hanai tersinggung dengan kata-kataku. Bagaimana ini? Matanya mulai mendelik-delik, menakutkan. Hilang sudah karisma yang dia miliki selama yang aku lihat, bahwa dia adalah manusia laki-laki yang bijaksana.

“Apa kamu bilang? Hutan?” benar, matanya mendelik.

Dia maju kedepan, ingin menunjukkan sesuatu kepadaku. Sepertinya, dia sangat tidak suka banyak bicara, lebih suka menunjukkan sesuatu dengan tindakan langsung, atau dengan bukti barang yang nyata.

“Kamu lihat mantra ini?” dia mengeluarkan selembar kertas dari balik saku bajunya, “Dengan mantra ini, maka gerbang hutan akan terbuka.” Hanai masih tidak terima sepertinya.

“Sudahlah, Nai, tidak usah diperpanjang. Mungkin dia hanya bercanda.” Hinia menyela sebelum Hanai bertindak lebih lanjut.

Hanai melihat Hinia sekejap, dan melanjutkan apa yang ingin dia tunjukkan padaku. Oh, keras kepala sekali orang ini. Atau, mungkin dia adalah orang yang terlalu berambisi?

“Baiklah, sekarang kita masuk gerbang kota. Persiapkan mantramu Hinia.” Akhirnya Hanai berubah pikiran.

“Bagaimana dengan Safara?” tanya Hinia.

“Kita tinggalkan dia di sini saja, biar menjadi makanan semut hutan.” Apa? Aku dia tinggalkan?

Bagaimana ini? Orang keras kepala itu ingin meninggalkanku di tempat aneh seperti ini? Ha, menjadi makanan semut hutan? Memang sebesar apa, sih, semut hutan di sini sehingga bisa makan tubuhku?

“Aku serius!” Hinia menimpali lagi.

“Aku juga serius.” Jawab Hanai dengan nada sebal.

“Ajari aku mantra itu terlebih dahulu.” Hinia masih ingin berdebat.

“Nanti saja, setelah sampai tujuan.”

“Lalu bagaimana dengan Safara?”

“Aku hanya bercanda, Nia. Dia akan tetap bersama kita,” dan Hanai melihat diriku, “Cepat, kamu pegang tanganku!” perintahnya dengan sinis padaku.

Cepat-cepat, aku segera mendekat padanya, dan memegang tangannya. Masih sama dengan rasa yang aku rasakan ketika pertama kali memegang. Tangannya hangat, sedikit dingin. Nyaman. Kenapa aku malah berpikiran demikian? Ah, biarkan saja dia marah, yang penting aku bisa pulang secepatnya.

“Jangan erat-erat, sakit, tahu!” bisiknya padaku, tapi dengan nada tetap sebal.

Aku melirik kepadanya, hampir saja memelototkan mata, tapi aku urungkan, samar nanti dia benar-benar meninggalkanku.

Bibirnya mulai bergerak-gerak, membaca mantra. Aku tidak mendengar sama sekali mantra yang dia bunyikan. Dan, dari arah belakang kami, terasa ada sebuah magnet raksaksa yang menarik tubuh kami bertiga, persis ketika awal kami berangkat menuju hutan ini. Dan akhirnya tubuh kami masuk kembali ke dalam lorong hitam, tiada merasa.

“Ketika akan keluar nanti, pejamkam matamu seperti yang sudah Nia beritahukan.” Ucap Hanai padaku disebelahnya.

Aku rasa, laki-laki di sebelahku ini tidak terlalu menyebalkan juga. Nyatanya, dia juga menghitungkan nasibku dalam perjalanan. Dia, memberitahukan kepadaku bahwa aku harus menutup mata ketika akan keluar lorong. Dengan begitu, aku mengira dia hanya seorang yang keras kepala, namun tidak jahat juga.

Pelan-pelan, setelah beberapa menit berada dalam lorong hitam gelap, terasa ada sebuah magnet raksaksa dengan kekuatan tarikan super, menarik dari arah depan kami. Lembut namun kuat, itulah gambaran tarikan yang dihasilkannya.

Sampailah kami pada tempat ini. Sebuah ruangan penuh dengan bangunan kuno, seperti kuil, klasik sekali. Aku belum pernah menyaksikan pemandangan bangunan seperti ini sebelumnya, bahkan ketika aku berkunjung pada sebuah museum bangunan klasik.

“Inilah tempat paling aman dalam hidukpu, penuh dengan kedamaian.” Kata Hanai setelah sampai.

Dia, langsung berjalan pada sebuah bangunan berwarna cokelat tua, dengan atap terbuat dari kayu hitam. Bangunan itu berukuran tidak lebih besar dari pada rumah manusia pada umumnya, hanya saja yang membedakan adalah bentuk bangunan dan bahan penyusun. Hanai membuka pintu dengan menggunakan kartu sebesar KTP yang pernah aku lihat sebelumnya untuk membuka gerbang kepala singa. Dia, menempelkan kartu itu pada pintu bangunan yang berbentuk segi tiga. Perlahan, pintu segi tiga terbuka.

“Ayo, masuk!” ajak dia pada kami berdua.

Aku berjalan bersebelahan dengan Hinia. Aku baru tahu, ternyata badanku lebih tinggi dari pada badannya. Kepalanya, sejajar dengan pundakku, atau bahkan jika aku mengukurnya dengan sebuah alat, rasanya sangat jauh berbeda antara tinggi kami. Sudahlah, tidak usah dipermasalahkan. Mungkin, memang kodrat perempuan adalah mempunyai tinggi badan yang lumayan pendek.

Ruangan dalam bangunan yang mirip kuil itu gelap, tidak ada penerangan. Mungkin belum ada yang menyalakan lampu di dalamnya. Atau, memang sengaja tidak diadakan sebuah penerangan?

Hanai sudah masuk terlebih dahulu. Entah kemana dia menuju, aku tidak dapat melihatnya. Hinia, rupanya juga telah memasuki ruangan, mendahuluiku. Kini, aku sendirian di luar pintu, mereka kurang ajar, meninggalkanku tanpa teman. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang tidak dikenal membawaku pergi, lalu membunuhku?

“Ayo masuk, tunggu apa lagi?” Hinia memanggil dari dalam.

Aku hanya dapat mendengarkan suaranya, sedangkan orangnya entah di mana. Kok, dia bisa saja masuk tanpa sebuah penerangan? Meskipun saat ini adalah siang hari, suasana dalam kuil terlihat sangat gelap. Apalagi, atap teras kuil berukuran lebih dari dua meter, menjadikan suasana ruangan dalam semakin gelap.

“Aku tidak bisa melihat.” Kataku dengan nada bingung.

“Oh, iya, aku lupa,” Hinia kembali keluar ruangan, “Aku belum memberikanmu mantra penerang ruang.” Kata dia sambil mengulurkan sebuah kertas kecil padaku.

Oh, begitu alasannya kenapa mereka berdua bisa masuk ruangan. Ternyata ada mantra untuk menerangi sebuah ruangan, aku baru tahu. Ini kabar baik. Harga listrik Indonesia sekarang cukup mahal, alangkah baiknya jika aku menggunakan mantra ini dan menghentikan penggunaan listrik. Ah, tidak, itu bukan ide yang baik. Bagaimana untuk menyalakan televisi?

“Padaiuong keneniuo.” Aku membaca mantra yang diberikan Hinia, pendek sekali mantranya.

Aku membaca mantra itu sebanyak tiga kali dengan niat memberikan penerangan. Sedikit kesulitan memang ketika awal mengucapkan, belum akrab dengan kata-katanya.  Maka, setelah membaca mantra tersebut, ruangan dalam kuil terlihat terang sekali.

Aku masuk ke dalam ruangan, dan melihat Hinia serta Hanai sudah duduk manis pada sebuah kursi besar. Mereka terlihat sangat bahagia. Walaupun aku bukanlah bagian dari kehidupan mereka, atau bahkan keluarga, aku turut merasakan rasa bahagia pada mereka.

“Nah, sekarang, apakah kamu sudah bisa melihat?” tanya Hanai padaku dengan nada menyepelekan.

“Sudah, sekarang aku sudah bisa melihat wajah jelekmu.” Sengaja, agar dia marah.

Tapi ternyata dia tidak marah. Akupun menyusul mereka duduk.

“Siapa yang suruh kamu duduk?” Hanai masih menyebalkan.

“Tidak ada, aku ingin duduk sendiri.” Dan aku menganggap ruangan ini sebagai rumahku sendiri.

Kursinya empuk, mungkin terbuat dari kapas murni. Baru saja aku berada di atasnya, betah sudah menjadi sebuah rasa. Hilang sudah rasa sebal dengan Hanai.

Aku berniat melirik Hanai sebentar, tapi aku malah dibuat betah melihat bibirnya yang membaca sebuah mantra rupanya. Jadi, aku meliriknya lama-lama.

“Kenapa lirik-lirik?” tiba-tiba Hanai menyadari.

Apakah yang harus aku katakan? Apakah aku harus bilang pada dia aku ngefans sama kamu, aku suka kamu, padahal yang aku lirikkan adalah kesebalanku padanya.

Aku tidak menjawabnya, memilih untuk diam saja. Tidak tahu juga akan membalas dengan kata apa.  Tapi, tiba-tiba aku dikagetatkan dengan kemunculan sebuah benda di depanku, tepatnya di atas meja.

“Astaghfirullah ...” kataku keras-keras dengan ekspresi terkejut.

“Hahahahah ...” Hinia dan Hanai tertawa bersama.

“Kenapa kalian tertawa?” bentakku.

“Kamu lucu.” Hinia yang menjawab.

Ternyata yang muncul di depanku itu adalah sebuah gelas, dengan minuman terisi penuh. Warna minuman itu merah tua, sepertinya minuman bersoda.

“Kamu harus terbiasa dengan kejadian seperti ini, Safara.” Hanai menambahkan.

“Apa ini?” tanyaku sidikit sebal.

“Itu minuman, muncul dengan hanya membaca sebuah mantra.” Hinia akhirnya menjelaskan.

“Apakah semua benda bisa keluar dengan mantra itu?” tanyaku semangat.

“Tidak, hanya benda-benda tertentu.” Jawab Hanai.

Ah, ini tidak seru. Masa hanya sebuah minuman yang bisa keluar dengan mantra itu? Kurang hebat aku rasa. Bahkan, di Indonesia sendiri, bisa mengeluarkan minuman hanya dengan menempelkan kartu kredit. Biasa saja, tidak hebat.

“Yang bisa keluar hanya benda-benda biasa, tertentu, seperti minuman ini.” Hinia menambahkan penjelasan.

Tapi menarik juga. Kapan-kapan, aku akan minta pada mereka untuk mengajari mantra itu padaku. Baik juga kalau hanya dengan membaca mantra, minuman bisa keluar.

“Kamu jangan senang dulu. Minuman tidak akan keluar begitu saja. Yang membaca mantra harus menyiapkan dahulu bahan minuman pada tempatnya. Jadi sesungguhnya tidak ada yang luar biasa. Hanya saja, dengan mantra kita tidak perlu repot-repot kerja.” Hanai menjelaskan lagi lebih detail.

Sekarang aku paham, bahwa minuman tidak akan keluar begitu saja. Tapi, kita harus menyiapkan bahan-bahannya terlebih dahulu. Jadi, kalau persediaan bahan yang kita siapkan sudah habis, maka sampai rusak bibis kita membaca mantra, minuman tidak akan pernah kaluar. Lalu, bagaimana sebenarnya cara kerja mantra? Aku tidak tahu.

“Safa, bagaimana caramu untuk pulang? Atau, kamu sudah betah di sini?” Hanai bertanya, sok perhatian sekali dia.

Ini yang aku bingungkan sampai sekarang. Aku belum menemukan tempat mantra untuk kembali pulang. Atau, jangan-jangan mereka berdua mempunyai mantra itu?

“Entahlah, aku masih bingung.” Jawabku.

“Aku rasa, harus secepatnya kamu mencari mantra itu.” Hinia ikut bicara.

“Apakah kalian tidak punya mantra itu?” tanyaku penuh kasihan.

“Tidak ...” jawab mereka bersamaan.

Ah, ini baru menyebalkan sekali. Dimana aku harus mencarinya lagi?

“Kami tidak punya mantra itu. Tempat asalmu sangat jauh dari sini. Jika menggunakan mantra kami, mantra perjalanan kami yang biasa kami gunakan, bisa satu tahun cahaya kamu sampai.” Itu penjelasan Hanai.

“Apakah kalian tidak tahu tempat mantra itu?”

“Tidak tahu. Tapi tenanglah, mungkin kami mempunyai kenalan yang bisa membantumu.” Kabar baik.

“Sudahlah, jangan dipikirkan dulu. Sekarang, kita minum minuman ini.” Kata Hanai sambil mengangkat gelasnya.

Benar saja, minuman ini adalah minuman strowberi dengan soda sangat kuat. Ungtungnya aku sudah terbiasa dengan minuman soda. Jadi, ekspresi wajahku tidak sangat memalukan ketika minum, ambyar.

Di Dunia ini aku hanya menginap

Lalu, kenapa aku harus berlama-lama

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status