"Relakan Lena, Oliver. Kau akan terluka lebih dalam kalau kau mempertahankannya di sampingmu," ujar Esme memberikan saran.Mendengar itu, Oliver semakin memasang ekspresi sedih di wajahnya. "Kau tahu betul kalau aku tak bisa melakukan hal itu, kan?""Tapi, Lena juga akan terus berusaha kabur darimu. Pecayalah, Oliver... aku mengatakan hal ini karena aku pernah ada di posisi sebagai Lena. Bukankah kau tahu betul tentang bagaimana yang terjadi pada pernikahanku juga suamiku?"Oliver diam."Lalu bagaimana dengan undangan pesta dari rekan bisnismu itu? Apa kau yakin bisa membawa Lena ke sana?""Dia pasti mau. Aku akan membawanya bagaimana pun caranya."Esme tersenyum miring mendengar kesungguhan pada ucapan Oliver. Dia merasa iba pada Oliver karena dia tahu betul situasi seperti apa yang dihadapi sahabatnya itu ketika menikahi perempuan yang membencinya."Aku juga menikah dengan suamiku tanpa cinta. Kau tahu kan aku memperlakukan suamiku dengan sangat buruk dan tentu itu tak hanya berlaku
Walau harga dirinya menolak, tapi pada akhirnya Lena hanya bisa diam dan pasrah ketika Oliver mulai melumat bibirnya.Ini kali pertama dia berciuman dengan Oliver dalam keadaan sama-sama sadar, dan untuk sesaat hal itu membuat Lena tertegun. Ciuman Oliver kali ini terasa hangat dan lembut, tak seperti ketika pria itu menciumnya saat dalam keadaan mabuk. Namun, sehangat dan selembut apapun ciuman itu tak membuat Lena membalasnya."Apa kau hanya akan berdiam diri saja? Bukankah kau sudah setuju dengan kesepakatan yang kita buat."Antara tertegun dengan ciuman itu atau karena kebenciannya pada Oliver, Lena merasa tak punya tenaga untuk membalas ciuman pria itu. "Iya," jawab Lena datar. Pada akhirnya dengan sikap yang lebih tenang, Lena mulai membalas ciuman itu walaupun dengan gerakan yang cukup kaku.Satu balasan ciuman darinya, mendapatkan lumatan yang lebih dalam dari Oliver. Seolah pria itu hendak memakan bibirnya. Hal itu memicu gelenyar aneh dari dalam diri Lena, tetapi bukan pera
"Kau datang dengan siapa, nona cantik? Tahun-tahun sebelumnya aku tak pernah melihat dirimu, apa ini kali pertama untukmu?" tanya pria asing berambut pirang itu di sela-sela dansa mereka."Iya, ini pertama kalinya bagitu. Oliver yang mengajakku untuk datang," jawab Lena sekenanya.Saat itu Lena tak bisa fokus pada aktivitas dansanya karena beberapa kali dia masih melirik ke arah Oliver tampak begitu berbahagia ketika berdansa bersama mathew. Oliver lebih banyak tersenyum dan bahkan tertawa ketika berdansa dengan anak itu, sementara Esme tampak memperhatikan mereka bedua dari kejauhan."Apa kau tak masalah melihat hal itu?" tanya pria asing itu lagi sembari mengikuti arah pandang Lena karena dia memperhatikan bagaimana sedari tadi Lena bahkan tak memusatkan pandangan kepadanya. Lena selalu memperhatikan Oliver."Apa ada yang perlu dipermasalahkan?" sahut Lena balik bertanya. Kali ini dia memandang wajah pria asing itu."Jadi kau tak masalah melihat Oliver dan Esme yang berinteraksi seh
"Kuharap kau bisa mewujudkan mimpi itu untuknya, Lena."Lena butuh beberapa waktu untuk bisa menelaah ucapan Esme, sampai akhirnya dia pun meringis sendiri. Sebab, bagaimana pun juga Lena merasa itu hal yang sangat mustahil."Mewujudkan mimpi Oliver itu seperti hal yang mustahil, nona Esme. Aku tak berniat sejauh itu. Mungkin dikemudian hari hal itu bisa diwujudkan dengan perempuan yang bukan aku orangnya. Kau sepertinya salah paham, aku tak akan lama bersama dengan Oliver. Kami akan berpisah dalam waktu dekat," ujar Lena penuh tekad.Bukan tanpa alasan. Tapi, Lena merasa kalau dengan melakukan strategi dimana Oliver harus membayar dalam nominal tertentu untuk jasa yang dia inginkan darinya, Lena pikir dia akan segera mencapai tujuannya untuk punya uang yang cukup agar dia bisa membeli tiket dan kabur dari pria itu. Setidaknya, Lena ingin melunasi uang yang telah Oliver berikan pada Vincent agar dia bisa terbebas dari belenggu pria itu.Esme mena
"Selama aku berada di sini, bukankah inu pertama kalinya kau membantuku mandi bahkan memberikanku aroma terapi yang berbeda dari yang disimpan di kamar mandi ini? Aroma terapinya lebih harum," tanya Lena yang berendam di dalam bathub berisi air hangat yabg harun oleh aroma terapi yang menenangkan, sembari menikmati pijatan yang diberikan maid itu pada pundaknya."Tuan Eduardo yang meminta saya memberikan aroma terapi khusus itu untuk anda."Lena menaikan sebelah alisnya. "Dia memberiku aroma terapi khusus? Untuk alasan apa?" lanjut Lena bertanya. Kini dia mendadak merasa risau karena takut Oliver merencanakan hal jahat untuknya melalui aroma terapi itu."Alasannya karena tuan Oliver merasa kalau nona sedang kelelahan, maka dari itu beliau meminta saya memberikan aroma terapi dan membantu anda mandi untuk sedikit meringankan rasa lelah anda," jawab maid itu kembali memberikan penjelasan.Lena menghembuskan napas lega setelah mendengar hal itu, tapi kemudian tertegun untuk beberapa saat
Tak henti-hentinya Oliver mengulas senyum di wajahnya, sekalipun senyuman itu hanyalah senyuman lemah karena dia yang kehilangan tenaga karena tubuhnya yang roboh terserang demam.Dengan langkah kaki yang lambat dan sesekali terhuyung karena rasa pening yang mendera kepalanya, Oliver tetap mengikuti langkah Lena dari belakang dengan begitu senang hati."Ternyata aku tak bisa berlama-lama marah padamu, Lena. Mendengar kau yang begitu perhatian padaku, membuat amarahku tiba-tiba menguap begitu saja," ujar Oliver senang. Walaupun sesekali terbatuk."Kau terlalu percaya diri. Siapa yang kau pikir sedang memberikan perhatian padamu? Aku tak melakukan hal itu. Jangan salah paham, pak tua. Aku memintamu tidur di satu ranjang yang sama denganku bukan berarti aku menaruh perhatian padamu," tegas Lena.Namun, apa pedulinya Oliver. Entah Lena menampik hal itu sampai seribu kali pun Oliver tak akan mengubah anggapannya kalau sikap Lena yang mulai baik padanya ini adalah bentuk perhatian untuknya.
"Kau bisa mewujudkan mimpi besarmu itu dengan perempuan lain yang juga akan mencintaimu. Sebab, sangat tidak mungkin kau punya keluarga bahagia denganku karena aku tak mencintaimu dan tak akan pernah mencintaimu, pak tua," tegas Aleah.Oliver terdiam. Napasnya terdengar menderu karena demam juga rasa linu pada setiap persendian yang membuat tubuhnya menggigil."Apa kau akan benar-benar meninggalkan aku?" gumam Oliver dengan kedua kelopak matanya yang perlahan terpejam. Dia mulai merasa ngantuk, terlebih peluk hangat Lena benar-benar menenangkannya seperti sebuah nyanyian pengantar tidur yang membuat Oliver merasa seperti sedang dalam buaian.Lena mengangguk. "Iya, aku akan meninggalkanmu sesegera mungkin. Jadi lekaslah sembuh, beri aku uang sebanyak-banyak agar aku bisa melunasi uang satu juta dolar yang kau berikan pada Vincent. Ini kali pertama aku bisa berbicara setenang ini padamu karena kau sedang sakit."Oliver diam. Kedua matanya sudzmah terpejam rapat, diiringi dengan napas t
"Bangunlah. Kau harus makan," ujar Lena sembari dengan lembut membangunkan Oliver, walaupun ucapannya justru cukup kasar.Lagi-lagi hati Lena berdesir tak nyaman saat melihat ketidak berdayaan Oliver, terlebih saat ini kedua mata pria itu yang biasanya selalu berbinar indah dan penuh semangat, justru kini menatapnya dengan tatapan sayu. Kedua mata indah pria itu kehilangan binarnya.Apa dia akan meninggal?. Batin Lena sedikit ketakutan."Aku belum punya selera untuk makan. Lidahku masih terasa pahit...." Oliver berucap dengan suara yang terengah-engah. Seolah-olah untuk mengucapkan satu kalimat saja Oliver sudah merasa sangat kelelahan."Tapi kau harus makan. Abaikan rasa pahitnya dan makan saja. Lagipula maid yang kau pekerjakan itu membuat seduhan teh lemon hangat, itu pasti akan sedikit membuatmu segar. Bangunlah...."Oliver butuh beberapa kali mengerjapkan matanya untuk benar-benar bisa berada dalam kesadaran penuh setelah dipaksa bangun dari tidur lelapnya.Tanpa kata, Oliver pun