Share

Bab 5 – Sebuah Penjelasan

Setelah sepuluh menit, Ziana terpaksa keluar dengan tubuh berbalut handuk saja. Ia terkejut melihat Mahanta berdiri di dekat jendela besar di dalam ruangan itu. Baru saja Ziana berbalik hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, Mahanta memanggilnya.

“Ziana, apa kau ingin menggodaku?”

Ziana memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh, lalu berkata lirih, “Toh Bapak sudah lihat semuanya. Saya hanya meminjam handuk ini sampai pakaian saya kering. Kalau tidak boleh juga, ijinkan saya meminjam kamar mandi Bapak lima menit lagi.”

“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini, Ziana?”

Ziana berbalik menatap Mahanta dengan air mata membasahi pipinya. Dia benci menangis di depan Mahanta, memperlihatkan kelemahannya hingga memberi celah pada pria itu untuk menghinanya lagi. Ziana bahkan tidak tahu apa kesalahannya pada Mahanta hingga membuat pria itu tega mempermainkan perasaannya.

“Apa maumu, Maha? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah membuatmu sakit hati? Apa aku pernah melukai orang yang kamu cintai? Apa yang membuatmu tega melukai hati dan tubuhku?”

Ziana menengadah mencoba menghentikan air mata yang terus membanjiri pipinya. Suaranya sudah tercekat, tapi Ziana berusaha mati-matian mengontrolnya. Nafasnya pun mulai sesak menahan gejolak emosi yang selama ini ia pendam sendiri.

“Kamu tahu, Maha, butuh waktu satu tahun sampai aku bisa berhenti menyalahkan diriku atas apa yang terjadi.” Ziana mengacungkan jari telunjuknya, lalu menaikkan jari tengahnya.

“Tahun berikutnya, aku mulai menerimanya sebagai pelajaran yang sangat berharga. Jangan pernah percaya 100% pada siapapun. Menginjak tahun ketiga, aku menyibukkan diri menyelesaikan kuliahku dan berharap bisa bekerja di sebuah perusahaan besar.”

Usai menunjukan tiga jarinya, Ziana mengusap kasar pipinya yang basah, lalu menyedot kuat ingusnya hingga membuat Mahanta menarik sudut bibirnya. Reaksi Mahanta membuat Ziana tersenyum sinis padanya.

“Maafkan aku yang terlalu banyak bicara. Pasti bagimu ini hanyalah lelucon. Apa artinya perjuanganku jika dibandingkan privilege yang kau dapatkan sejak di dalam kandungan. Baru lahir saja kau sudah mendapatkan uang, fasilitas mewah, bahkan... (Ziana merentangkan tangannya ke atas lalu mengarahkannya pada Mahanta) ...jabatan CEO. Wow!”

Ziana bertepuk tangan untuk mengakhiri pidatonya yang membosankan. Tentu saja, karena pendengarnya adalah seorang Mahanta. Sekali lagi Ziana tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya ke arah Mahanta.

“Sekarang ijinkan saya pergi, Pak CEO yang terhormat. Saya sudah dipecat dan saya cukup tahu diri kalau kehadiran saya disini tidak diharapkan. Sekian yang dapat saya sampaikan, anggap saja iklan yang membosankan. Saya permisi.”

Ziana hampir berbalik, tapi kembali menghadap ke arah Mahanta. “Saya ijin untuk meminjam kamar mandi Pak CEO lima menit saja.”

“Berhenti, Ziana. Kau tidak diijinkan untuk pergi kemana-mana sebelum aku mendengar penjelasanmu. Kenapa kau pergi?”

Ziana berbalik dan melangkah cepat mendekati Mahanta dengan tatapan mengancam. Telunjuknya menekan keras dada bidang Mahanta. Butuh waktu baginya untuk kembali bicara setelah penutupan yang menurutnya cukup.

“Aku pergi karena aku sadar diri. Kita... (Ziana menunjuk dirinya dan Mahanta berulang kali) “...maaf, maksudnya aku, hanya ingin menempatkan diriku di tempat yang sepantasnya. Seharusnya aku sudah sadar sebelum kita melakukannya, tapi aku justru menyerahkan semuanya untukmu. Penjelasan seperti itu ‘kan yang ingin kau dengar? Kenapa? Apa kau merasa bersalah?”

Mahanta hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Ziana. Dari ekspresi wajahnya, Ziana sudah bisa menebak kalau semua ini memang permainan Mahanta agar bisa mencicipi tubuhnya lagi.

“Katakan sesuatu, Maha. Aku ingin tahu, berapa harga keperawananku bagimu? Jangan katakan angka yang dulu. Berapa ya? Sebentar kuingat dulu.” Ziana mengetuk keningnya dengan jari telunjuknya, tampak mengingat sesuatu.

“Seratus juta? Seharusnya nilainya sudah menjadi lima ratus juta lebih sekarang ya. Apa kau akan membaginya denganku?”

“Hentikan, Ziana.” Ekspresi wajah Mahanta mengeras pertanda pria itu mulai kesal dan marah.

“Kenapa? Salahku dimana kalau minta sharing profit? Aku lupa kalau kemarin kita juga melakukannya. Jadi nilainya dua kali lipat dong. Satu miliar lebih. Aku kasih diskon deh, satu miliar saja. Nomor rekeningku ada di Pak Lintang.”

Mahanta memegang lengan Ziana dan menatapnya dalam, “Aku tidak pernah menerima uang itu, Ziana.”

“Rugi sekali. Sudah dapat perawan, tapi uangnya malah nggak kau ambil.” Ziana bahkan tidak peduli lagi dengan harga dirinya. Toh dihadapan Mahanta, dia bukan siapa-siapa.

“Bisakah kau berhenti merendahkan dirimu seperti itu? Aku hanya minta penjelasan, Ziana. Kenapa kau pergi begitu saja setelah kita melewati malam yang indah?”

Suara lembut Mahanta membuat tubuh Ziana merinding. Bulu kuduknya sampai berdiri hingga Mahanta bisa melihatnya. Tapi perempuan itu sudah benar-benar muak pada Mahanta.

“Kamu belum sadar juga? Ok, aku akan membantumu. Pertama, kau tidak jujur padaku tentang hubunganmu dengan Sherena, hingga aku dicap sebagai pelakor.” Ziana menjeda ucapannya sejenak demi mengatur nafasnya yang tersengal.

“Kedua, aku adalah bahan kegabutanmu dengan teman-teman itu ‘kan? Hingga kalian membuatku sebagai bahan taruhan dengan imbalan uang seratus juta.” Ziana kembali berhenti sambil mengusap pipinya yang basah. Bicara sambil menangis membuatnya kesulitan.

“Ketiga, kau yang bilang sendiri kalau aku hanya seorang gadis bodoh yang tidak pantas mengharapkanmu, padahal kau yang mengejarku lebih dulu. Jadi aku membuatnya lebih mudah bagimu. Aku pergi, menghilang dari kehidupanmu.”

Kali ini Ziana kembali meninggikan suaranya. “Seharusnya kau senang ‘kan?! Atau kau belum puas menghancurkan aku?! Belum puas menjadikanku bahan kegabutan kalian?! Bilang saja aku harus apa?! Melayani teman-temanmu juga?!”

“ZIANA!”

Ziana tercekat mendengar bentakan Mahanta yang sangat keras di depan wajahnya. Cengkeraman tangan Mahanta semakin kuat hinggamembuat Ziana sadar kalau dia sudah terlalu banyak bicara. Perlahan ia mundur berusaha menjaga jarak dari Mahanta.

Saat Mahanta bergerak mendekat lagi, Ziana mengangkat tangannya. “Sudah cukup. Aku benar-benar harus pergi sekarang.”

Ziana bergerak ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung yang tidak tahu arah. Kedua tangannya terus memegang kepala dan wajahnya. Mahanta bisa melihat bagaimana Ziana kehilangan ketenangannya. Perempuan itu kembali panik hingga Mahanta harus mendekatinya lagi.

“Ziana, ganti bajumu dulu dengan ini.” Mahanta menyodorkan paper bag ke tangan Ziana, lalu menuntun perempuan itu menuju kamar mandi. “Tenanglah. Kau bebas memakai kamar mandi ini. Bahkan kamar ini. Aku tidak akan mengganggumu. Take your time.”

Setelah pintu kamar mandi kembali tertutup, Ziana membuka kran wastafel dan mencuci wajahnya dengan cepat. Ia nyaris kehabisan nafas dan baru berhenti saat hampir tidak sadarkan diri. Tubuh Ziana merosot ke lantai dan kembali terisak dengan sangat memilukan.

Butuh waktu setengah jam untuknya menenangkan diri dan memakai pakaian yang Mahanta berikan. Ia menatap penampilannya di cermin wastafel. Pakaian itu sangat pas di tubuhnya dan terlihat sangat indah. Tapi Ziana sama sekali tidak bahagia. Kedua matanya sangat bengkak dan sulit disembunyikan bahkan dengan make up.

“Bagaimana aku bisa keluar seperti ini? Orang-orang akan berpikir kalau mataku habis disengat tawon.”

Ziana menghela nafas panjang sekali lagi, sebelum keluar dari kamar mandi. Ia melihat nampan berisi makanan dan minuman diatas meja. Bahkan tas tangannya juga ada disana. Satu hal yang membuat Ziana tertegun adalah kompres es batu yang dibalut handuk kecil. Sebuah note tertulis disana.

{“Makanlah dulu sebelum pulang. Kompres juga matamu. Saat kau keluar nanti, tidak akan ada orang yang melihatmu. Mahanta.”}

“Masih punya hati juga, Pak. Apa ini pengganti pesangonku ya?” gumam Ziana lirih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status