Ziana menuntun Hannah keluar dari kamar untuk mengantar kepergian Renan. Mereka berjalan beriringan bersama Mahanta dan Lintang yang terus mengawal keduanya. Sedangkan si kecil Rania sengaja dibawa jalan-jalan oleh anak buah Mahanta.Kesedihan sangat kental terlihat di pemakaman saat Renan bersatu kembali dengan tanah. Air mata terus mengalir dari mata bening Hannah dan Ziana. Saat semuanya sudah selesai, Hannah menatap papan nisan bertuliskan nama Renan.“Mas, secepat ini kamu pergi. Kalau tahu akan seperti ini, aku nggak akan meninggalkanmu sendirian, mas,” sesal Hannah.“Sudah, kak. Kak Renan akan sedih kalau kakak terus menangis. Kita pulang ya. Kasihan Rania sendirian.”Bujukan Ziana membuat Hannah mau beranjak dari kuburan Renan. Sesekali Hannah menoleh kebelakang, menatap sendu pada tanah basah yang masih dihiasi bunga itu.Ketika mereka tiba kembali ke rumah Hannah, Rania sedang menunggu mereka. Gadis kecil itu tampak gembira dan buru-buru mendekati Hannah dan Ziana.“Mama, bu
“Tadi polisi menjelaskan kalau Pak Renan menjadi korban tabrak lari. Tubuhnya terpental sampai beberapa meter dari lokasi kejadian dan kepalanya terbentur trotoar jalan,” sahut Mahanta.“Tapi saksi mata mengatakan kalau Pak Renan menyebrang jalan dalam keadaan jalanan sedang sepi. Tiba-tiba mobil ini mendekatinya dengan kecepatan tinggi dan langsung menabraknya. Setelah menabrak, bukannya berhenti, malah kabur begitu saja,” lanjut Lintang.“Apa mobil yang menabrak kak Renan sudah diketahui pemiliknya?”“Saat ini polisi sedang melacak keberadaan mobil itu. Dari petunjuk CCTV yang ada di sekitar lokasi kejadian, mereka sudah memperkirakan rute pelarian mobil itu. Semoga saja kita segera menerima kabar baik.”Ziana mengangguk dan berharap pelaku tabrak lari Renan akan segera tertangkap. Setidaknya tidak ada korban lain yang senasib seperti Renan.~~~Beberapa hari kemudian, kondisi Hannah semakin baik dan sudah bisa menerima kepergian Renan. Wanita itu menyibukkan dirinya di toko kue dan
“Mama. Tumben banget. Ada apa ya?” “Jangan tanya aku. Cepat angkat,” pinta Ziana dengan wajah tegang. Perempuan itu segera beranjak dari tempat tidur dan mulai memunguti pakaiannya satu persatu. “Halo, mah. Kenapa?” [“Maha, cepat pulang sekarang. Ajak Ziana. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”] Mahanta hampir bertanya lagi, tapi Intan sudah menutup teleponnya lebih dulu. Pria itu menatap ponselnya yang sudah kembali ke layar semula dengan tatapan bingung. Ziana yang hampir masuk ke kamar mandi, menoleh ke arah Mahanta. “Kenapa, mas?” “Aku disuruh pulang... Sama kamu.” “Aku? Nggak salah?” Ziana bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan menginjakkan kaki di rumah besar keluarga Hirawan. “Disana ‘kan ada Nyonya Darisa.” “Aku juga bingung. Apa mama bermaksud mempertemukanmu dengan nenek.” Ziana menggeleng pelan dan tanpa sadar melangkah mundur selangkah. Membayangkannya saja membuat Ziana mulai gelisah. Jantungnya berdetak cepat dan keringat dingin membasahi punggungny
Mahanta membaca chat masuk terbaru yang muncul di notifikasi. Ada nomor asing yang mengirimkan informasi tentang pernikahan Ziana dan Mahanta. Bahkan ada foto-foto saat pernikahan mereka. Bukan hanya itu, tapi juga foto saat Ziana dan Mahanta menemui dokter Kavya di rumah sakit.“Apa nenek kenal dengan orang yang mengirimkan semua ini?” tanya Mahanta sambil memperlihatkan chat itu ke arah nenek Darisa.“Mana nenek tahu? Nomornya saja tidak tersimpan. Lupakan siapa pengirimnya. Kamu harus segera bercerai dengan perempuan rendahan itu, Maha,” sahut nenek Darisa sengit.“Nenek! Sudah kubilang jangan menghina Ziana. Dia yang pertama untukku dan begitu juga aku untuknya. Aku sangat yakin anak di dalam kandungannya memang adalah putraku.”Intan dan Hasan mencoba melerai situasi yang mulai panas antara Mahanta dan nenek Darisa. Tapi mereka juga bingung karena nenek Darisa bisa pulih dengan cepat, setelah sebelumnya mengeluh kepalanya sakit.“Kamu membentak nenek, Maha?! Demi perempuan tidak
“Aku tidak mau membahasnya. Tapi aku yakin kamu sudah tahu apa yang keluargaku inginkan.” Ziana menghela nafas panjang, lalu menatap Mahanta yang terlihat sedih. Diusapnya lembut pipi Mahanta yang terasa dingin. “Kita masuk dulu yuk. Tadi kak Hannah membuat lemper untukmu.”Mereka lalu masuk ke rumah Hannah dan disambut keceriaan Rania. Setidaknya kesedihan mereka karena beratnya menunggu restu dari orang tua Mahanta bisa sedikit terobati.~~~Enam bulan kemudian, Ziana sedang berjalan-jalan di halaman mansion Tomo ketika sebuah mobil memasuki pintu gerbang mansion itu. Perempuan itu mengusap perut besarnya dengan lembut. Sambil menahan nyeri di pinggangnya. Sejak seminggu terakhir ini Ziana sering merasa nyeri karena pergerakan bayinya yang semakin turun ke jalur lahirnya.“Siapa yang datang ya?” gumam Ziana lalu berjalan menuju pintu depan.Mobil itu berhenti di depan pintu dan sopirnya keluar dari sana. Kedua netra Ziana membola saat melihat nenek Darisa keluar dari mobil setelah s
“Kavya, apa yang terjadi pada Ziana?” tanya Mahanta mencoba mencari tahu tentang kondisi Ziana.“Maha, tunggu di luar. Aku harus segera memeriksa Ziana,” pinta dokter Kavya.Seorang perawat mendorong Mahanta agar keluar dari ruang bersalin. Mahanta yang tidak ingin beranjak, terpaksa keluar setelah melihat perawat lain memasang jarum infus di pergelangan tangan Ziana. Diluar ruang bersalin, Mahanta bertemu dengan Lintang yang datang bersama Hannah dan Rania.“Pak Maha, bagaimana dengan Ziana?” tanya Hannah cemas. Wanita itu terkejut saat Lintang menjemputnya dan memberitahu tentang kondisi Ziana.“Dokter Kavya sedang memeriksanya. Ziana sudah melahirkan. Bayinya laki-laki.”Jawaban Mahanta tidak lantas membuat Hannah tenang. Pasalnya ekspresi pria itu masih terlihat sangat cemas. Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Seorang perawat yang datang membawa kantung darah, segera masuk ke ruang bersalin tanpa menghiraukan Mahanta.“Kenapa ada kantung darah?
Tomo dan Juwita tampak sumringah ketika melihat bayi tampan itu. Walaupun terhalang kaca jendela besar, tapi tidak membuat senyum keduanya surut. Tomo terus mengacungkan jempolnya memuji bayi laki-laki yang masih betah terlelap.Usai melihat bayi Ziana, Tomo, Juwita, dan Mahanta pun berjalan menuju ruang ICU. Hannah, Lintang, dan Rania tampak duduk di depan ruangan sambil sesekali mengobrol. Mereka berdiri ketika melihat Mahanta dan kedua orang tua itu mendekat.“Bagaimana, Pak Maha? Apa kata dokter?”“Ziana kehilangan banyak darah dan butuh istirahat total. Bu Hannah tenang saja ya,” sahut Mahanta lalu menatap Lintang. “Lintang, aku perlu bicara denganmu.”Mahanta mengajak Lintang menjauh bersama Tomo juga. Pria itu baru berhenti setelah mereka sampai di ujung lorong ruang ICU. Sebelum bicara, Mahanta melirik ke arah Hannah, Juwita, dan Rania.“Ada apa, Maha? Kenapa serius sekali?” tanya Tomo.“Om sudah dengar sendiri dari dokter Kavya ‘kan? Sekarang kita harus mencari tahu siapa yan
“Mama? Sedang apa mama disini?” tegur Juwita sambil memutar tubuhnya menghadap nenek Darisa.“Bukan urusanmu, Juwita.”Juwita kembali menatap Ziana yang terlihat enggan. Ziana tampak melindungi bayi di gendongannya saat nenek Darisa berjalan mendekatinya. Dengan cepat Juwita berdiri di antara nenek Darisa dan brankar Ziana.“Minggir, Juwita. Jangan ikut campur.” Nenek Darisa menatap tajam pada Juwita yang tetap tidak mau menyingkir dari hadapannya.“Tidak, mah. Aku tidak bisa membiarkan mama mendekat lebih dari ini.”“Kurang ajar! Tidak tahu sopan santun! Minggir!”Nenek Darisa melotot kesal pada Juwita dan melayangkan tangannya ke wajah wanita itu. Tapi sebelum tangan itu sampai di pipi Juwita, wanita itu menahan tangan nenek Darisa. Tatapan tajam Juwita tidak berkurang sedikit pun pada wanita tua itu.“Jangan coba-coba menyentuh anakku lagi. Apa mama tidak malu? Mama tega meninggalkannya sendirian disaat seharusnya mama membantunya. Apa mama pikir nyawa Ziana dan bayinya tidak penti