“Ke pesta, tante. Memangnya kenapa?” tanya balik Mahanta.“Apa kamu lupa kalau hubungan kalian ini rahasia. Bagaimana kalau nenekmu curiga, Maha?” tegur Juwita.Mahanta menepuk pelan keningnya, lalu celingak-celinguk mencari jalan lain. “Aku beneran lupa, tante.”“Lewat jendela,” titah Juwita membuat Mahanta dan Lintang saling pandang. Jendela yang mana?Juwita kembali fokus pada Ziana dan menuntunnya menuju tempat pesta. Rasa gugup dan sedikit cemas membuat Ziana meremas pelan tangan Juwita. Syukurlah wanita paruh baya itu mengerti lalu balas mengelus punggungnya.“Jangan gugup, sayang. Tetaplah tersenyum pada semua orang. Darimana pun asalmu, sekarang kamu putri kami. Putri dari ayah Tomo dan Ibu Juwita. Kamu mengerti?”Ziana mengangguk dengan senyum mengembang yang menambah kecantikannya. Keduanya kembali berjalan memasuki areal pesta yang sudah penuh dengan tamu undangan. Tampak beberapa bodyguard Tomo mengawasi keadaan disekitar Ziana dan Juwita. Tomo tidak ingin kecolongan lagi.
“Aku kangen banget, sayang. Dari tadi kutahan-tahan nggak meluk kamu. Akhirnya bisa meluk juga,” sahut Mahanta sambil memeluk erat pinggang Ziana.“Kan hubungan kita dirahasiakan. Tapi aku penasaran, bagaimana kalau nenekmu tahu tentang pernikahan kita?”“Jelas kaget ‘lah. Nggak usah ditanyain ke orang pinter, jelas itu jawabannya.”“Aku serius, mas. Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Bukannya kamu bilang kalau nenekmu punya penyakit darah tinggi?”Ziana menatap Mahanta yang menggeser posisi duduknya hingga mereka berdua duduk bersampingan. Tubuhnya sedikit bergetar ketika tangan Mahanta mengelus pelan punggungnya.“Kita sudah punya bayi kita untuk menghadapinya, sayang. Aku yakin saat nenek tahu kamu sedang hamil, nenek akan sangat senang.”“Benarkah?” Ziana mengelus perutnya yang masih rata.“Iya, sayang. Jangan dipikirin ya. Kita bisa melaluinya sama-sama. Dan sekarang... aku mau kelon.”“Mas, jangan aneh-aneh deh. Gimana kalau bunda tiba-tiba memanggilku?”“Sudah larut juga. Tante p
Ziana mengambil ponselnya lalu mencari chat terakhirnya dengan Hannah. Kakaknya itu sepertinya sibuk, karena chat terakhir mereka sudah jauh dibawah dari deretan chat masuk ke ponsel Ziana. Setelah membuka room chat Hannah, Ziana mulai mengetik.{“Kak Hannah, sibuk nggak?”}Satu pesan terkirim pada Hannah, dan tidak langsung dibaca. Ziana berpikir kalau kakaknya itu sedang sibuk di toko kuenya. Rasa penasaran membuat Ziana ingin menelpon Hannah, tapi pintu ruang meeting terbuka dan Lintang keluar dari sana.“Gimana, Pak?” tanya Ziana tanpa bisa menahan rasa penasarannya.“Tidak terlalu bagus. Semua bukti mengarah pada Pak Renan. Bahkan ada yang melihatnya bertemu dengan wakil perusahaan pesaing. Saksinya tidak hanya satu, tapi tiga orang. Sebentar ya, aku harus mengambil laptop.”Lintang berlalu meninggalkan Ziana yang masih termangu di tempatnya berdiri. Situasinya semakin rumit dan sepertinya Renan tidak akan lolos dengan mudah. Bersamaan dengan itu, ponsel Ziana berdering pelan. Pe
Lintang menunjuk sofa ruang kerja Mahanta agar mereka bisa bicara lebih nyaman. Mereka beranjak ke sofa itu lalu duduk bersama disana.“Aku tidak sengaja melihatnya saat memeriksa CCTV di lantai divisi operasional. Sherena keluar dari lift. Tapi aku tidak tahu dia menemui siapa disana. Apa mungkin menemui Pak Renan?” tanya Lintang.“Kalau memang begitu, seharusnya ada CCTV yang mengarah ke ruangan Renan. Coba periksa semuanya sampai Sherena keluar dari sana.”Mahanta mengepalkan tangannya menahan amarah karena kemungkinan Sherena ada kaitannya dengan kejadian yang menimpa Renan. Kemarin Hannah, sekarang Renan. Sherena seolah memberi peringatan pada Ziana lewat orang-orang terdekatnya.“Mas, apa semua ini terjadi karena aku?”Ziana menatap Mahanta sendu, lalu menghela nafas panjang. Perempuan itu tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran di hatinya. Mahanta menggenggam tangan Ziana untuk menenangkannya.“Nggak, sayang. Memang wanita itu saja yang gila. Aku janji akan menyelesaikan masalah
Situasi yang tidak memungkinkan membuat Ziana dan Mahanta menuntun Hannah masuk ke dalam kamarnya. Tampak Rania sudah tertidur pulas di tempat tidur yang tidak terlalu besar itu. Dengan sedikit bujukan, Ziana meminta kakaknya itu untuk beristirahat.“Sudah tidur?” tanya Mahanta yang langsung keluar setelah Hannah duduk di pinggir tempat tidurnya. Pria itu menunggu Ziana keluar dari kamar Hannah.“Sudah.” Ziana duduk di samping Mahanta. “Mas, apa kak Renan bisa bebas?”“Aku juga tidak tahu. Lintang sedang mengusahakan bukti untuk membela Renan. Semoga saja Renan memang tidak melakukannya.”Keduanya kembali terdiam sebelum ponsel Mahanta berdering nyaring. Mahanta mengeluarkan ponselnya dan melihat Lintang menelponnya.“Dari Lintang. Sebentar ya.” Mahanta mengangkat teleponnya dan bicara dengan asistennya itu. “Halo, Lin. Kenapa?”[“Bos, dimana? Sudah sampai apartemen?”]“Aku di rumah Hannah. Ada apa?”[“Aku perlu bicara penting. Aku kesana sekarang, bos.”]“Ya, aku tunggu.”Ziana menat
“Posisinya di Bali saat ini. Boleh ‘kan kalau aku curiga dia yang terima suap?”“Coba kirim datanya ke Lintang. Biar sekalian dia selidiki. Sekarang kita makan dulu ya.”Ziana segera mengirim foto dan sosial media milik karyawan itu kepada Lintang. Perempuan itu juga mengetik kecurigaannya pada anak buah Renan itu. Keseriusan Ziana membuatnya tidak fokus saat Mahanta menyodorkan sepotong pizza ke depan bibirnya.“Sayang?” panggil Mahanta berharap Ziana akan menoleh padanya. Tapi harapan tinggal harapan karena Ziana masih terus mengetik tanpa menghiraukannya. “Sayang, makan dulu ya. Buka mulut.”“Makan saja duluan, mas.”Mahanta menjadi tidak sabaran dan mengambil ponsel Ziana. Ketika Ziana hampir melayangkan protes, pria itu menyodorkan pizza ke tangannya. “Makan. Biar aku yang chat Lintang.”Ziana tidak punya pilihan selain menggigit sepotong pizza yang hampir dingin itu. Kedua sudut bibirnya tertarik merasakan kebahagiaan karena ngidamnya terpenuhi. Ziana merasa sangat beruntung kar
Lintang menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang cukup ramai. Pria itu lalu keluar dari mobil dan membiarkan Hannah menangis sendirian. Satu hal yang terlintas di pikiran Lintang saat itu, Hannah membutuhkannya karena di rumahnya, dia tidak bisa menangis di hadapan Rania.Selang lima belas menit berlalu, Lintang mengetuk pintu di samping Hannah. Wanita itu tampak mengusap wajahnya lalu membukakan pintu. Keningnya mengerut melihat sebungkus es krim yang dibeli Lintang di ruko tak jauh dari mobilnya terparkir.“Makan es krim dulu, Bu. Mau makan sesuatu? Di dekat sini ada restoran yang enak,” tawar Lintang.“Terima kasih, Pak Lintang. Tapi saya mau pulang saja. Terima kasih juga es krimnya.”“Baik, Bu. Sama-sama.”Lintang segera memutari mobilnya dan masuk ke belakang kemudi. Pria itu juga menyodorkan tas plastik yang cukup besar selain es krim yang kini memenuhi kedua tangan Hannah. Ketika wanita itu memeriksa isinya, netranya nyaris melotot keluar.“Banyak banget, Pak. Bapak borong
“Pak Renan?!”Suara Lintang membuat sekuriti yang ikut mendorong brankar itu menoleh padanya. “Bapak kenal sama korban kecelakaan ini?”“Sebentar saya pastikan dulu, Pak.” Lintang mendekat untuk memastikan pria itu benar Renan atau bukan. Dan hatinya mencelos melihat wajah Renan penuh darah. “Saya kenal, Pak. Cepat bawa masuk.”“Kalau begitu, tolong hubungi keluarganya, Pak.”Lintang memejamkan matanya lalu mengeluarkan ponselnya. Berat rasanya menghubungi Hannah dan memintanya datang ke ruah sakit. Tapi Lintang harus segera mengabari keadaan Renan pada Hannah. Akhirnya pria itu mencari kontak Hannah dan menghubunginya.[“Halo, Pak Lintang. Ada apa ya?”]“Halo, Bu. Maaf mengganggu. Apa Ibu bisa ke rumah sakit sekarang?”[“Memangnya kenapa ya, Pak?”]Lintang terdiam, ragu untuk memberitahu tentang Renan. Otaknya berputar mencari sesuatu alasan yang masuk akal agar Hannah tetap datang dalam keadaan tenang.[“Halo, Pak Lintang? Bapak masih disana?”]“Iya, Bu. Maaf, sinyalnya sedikit jele