Share

Bab 5. Bantuan Saka

Author: HIZA MJ
last update Last Updated: 2022-10-07 15:44:47

Sepulang bekerja dari restoran malam itu cukup larut. Dia keluar restoran saat jam menunjukkan pukul 23.37 dengan raut gelisah. Laila tak pernah bekerja sampai selarut itu sebelumnya. Laila mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi hijau untuk mencari taksi online. Tangannya mencoba menggulirkan ke layar ponsel cukup lama tapi belum satu pun yang menerima orderannya.

Lalu sebuah mobil SUV putih mendekat ke arahnya. Laila berusaha menyembunyikan kegugupannya. Berusaha keras menelan ludah agar tetap tenang. Laila sama sekali tidak pernah keluar malam lebih dari jam 9. Dan saat ini untuk pertama kalinya ia merasakan pengalaman ini gara-gara seseorang yang melilitkan banyak hutang padanya. Laila menyalahkan.

Si pemilik mobil itu membunyikan klakson. Berhenti tepat di depan Laila lalu menurunkan jendela gelap mobilnya. Seulas senyum muncul di wajah yang sudah tak asing bagi Laila. Saka.

Saka datang di waktu yang tepat. Begitu pikir Laila. Dan ia sangat bersyukur untuk itu.

“ayo naik..” ajak Saka. Laila sedikit ragu tapi tetap melangkah memasuki mobil.

“mas darimana? Kok tahu saya disini?” tanya Laila.

“pakai seatbeltnya. Aku dari kafe, setiap hari aku lewat jalan ini, dan baru kali ini aku lihat kamu. Kamu bekerja disini? Sejak kapan?” tanya Saka. Dia sudah melajukan mobilnya pelan. Sengaja, agar lebih banyak waktu untuk bersama Laila.

Sudah lama tak bertemu Laila, pikir Saka. Jadi kali ini dia ingin berbicara tentang banyak hal pada Laila termasuk tentang sahabatnya, Malik.

“baru malam ini. Dan ini pekerjaan pertamaku yang sampai larut malam begini. Terimakasih mas” ucapnya.

“terimakasih untuk apa kan belum sampai?”

“terimakasih karena udah lewat sana tadi. Aku sangat ketakutan awalnya karena baru pertama kali ini diluar rumah saat larut malam. Cari-cari taksi online tapi belum ada satupun yang nerima,” terang Laila jujur. Dia memang tipe gadis yang apa adanya dan lugas. Laila tak enggan mengekspresikan apa yang sedang dirasakan pada Saka yang dirasanya sudah menjadi teman.

“kebetulan aja tadi, nggak perlu berterimakasih. Oiya, alamat rumah kamu dimana ini? Aku harus antar kemana?” tanya Saka.

“oh, di jl. Kenanga mas, kos mahasiswa putri Ageng Sarimbi, 15 menit dari sini. Tau?” tanya Laila.

“tau—tau.. Terus, kenapa kerja sampai malam? Kan nggak biasa katanya. Malam ini kebetulan ketemu aku, besok-besok bagaimana?” tanya Saka lagi.

“aku harus bekerja keras untuk membayar ganti rugi pak Malik, teman mas Saka..” Laila lalu terdiam. Menerawang. Benar, malam ini dia sangat beruntung bertemu Saka, lalu besok bagaimana? Apa yang harus ia lakukan saat ia tak mendapat ojek ataupun taksi online.

“iya, Malik memang temanku. Teman yang kejam. Benar kan? aku bisa mewakilimu untuk mengumpatnya kalau kamu nggak sanggup..” ucap Saka, mengerling pada Laila sembari terkekeh.

Laila ikut terkekeh.

“tidak perlu sampai mengumpat mas. Karena semua ini memang salahku yang tidak berhati-hati.” Katanya.

“jadi? Gimana besok?” ulang Saka.

“besok ya? mm.. entah, aku belum tau mas, ada kan taksi online jam segini? Aku rasa masih ada. Jadi aku bisa pakai itu aja.” ucapnya pelan. Sejujurnya dia pun masih meragukan hal itu dan mencemaskan dirinya besok.

“jangan.. aduh bahaya La. Selarut ini dan kamu gadis sendirian. Gimana kalau aku yang jemput? Aku antar sampai depan rumah dan aku jamin utuh sampai depan rumah? Bagaimana? Mau ya?” tanya Saka setengah memaksa.

“ha? Nggak perlu mas, aku bisa sendiri. Aku nggak mau merepotkan mas Saka.” Sanggah Laila.

“aku nggak merasa direpotkan. Besok aku jemput. Ok kan? ok pasti.” Jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk huruf o diiringi senyum lebar sambil melirik sekilas pada Laila.

Laila hanya menatap penuh tanya pada Saka. Laila tak bisa membantah, dia butuh tumpangan dan Saka memberinya penawaran yang dia sendiri paksakan.

“sudah sampai..”

“terimakasih sekali lagi mas Saka.” Ucapnya.

“sama-sama. Sampai jumpa besok.”

Malam selanjutnya dan berikutnya, Saka benar-benar datang menjemput. Mobil SUV putih yang sebelumnya  dipakai sudah terparkir rapi di halaman resto tempat Laila bekerja. Laila baru saja selesai bekerja dan saat ia tiba disamping mobil Saka dia tidak mendapati Saka di mobilnya.

“kemana mas Saka?” katanya. Laila merogoh ponselnya di tas dan menggulir jarinya di layar ponsel, mencari kontak Saka. Laila baru sadar ternyata dia tidak memiliki nomor ponsel Saka.

             

“aku di sini” suara laki-laki yang berada di belakangnya membuat Laila terkesiap.

Laila hampir melompat karena saking terkejutnya. Kaki Laila seketika lemas dan hampir saja ia terkulai. Matanya terpejam dengan nafasnya tersengal dan degup jantungnya terasa tak beraturan. Dia terkejut sekaligus takut. Takut jika seseorang yang jahat yang akan menyakitinya.

“ya ampun Lail kamu nggak apa-apa? maaf—maaf.. Aku mau bercanda tapi kok malah gini,” Saka menangkap bahu Laila, menopangnya agar tak terkulai, lalu membuka pintu mobil dan menuntun Laila untuk duduk.

“tunggu di sini sebentar ya, aku mau beli air mineral. Tunggu.”

Laila tak mampu menjawab, hanya anggukan lemah dengan mata masih terpejam. Kepalanya tersandar di kepala kursi. Degup jantungnya masih cepat hingga bisa terdengar jelas dianatara heningnya malam itu.

Saka menutup pintu mobilnya, dan mendengar bantingan pintu itu jemari Laila pun ikut terkepal erat, matanya makin memejam rapat.

Laila memiliki trauma di masa lalu yang membuatnya tidak nyaman saat sendirian di malam hari. Perasaan cemas selalu menyerangnya jika ia berada di tempat sepi saat malam.

Resto malam itu memang tidak terlalu gelap dan sepi, tapi masih terasa asing bagi Laila. Terlebih saat itu ia berdiri sendirian di lahan parkir yang cukup luas dan sendirian.

Saka dengan cepat menyadari bahwa ada sesuatu yang salah pada diri Laila. Saat ia kembali, dengan sangat pelan membuka pintu mobil dan memanggil nama Laila terlebih dahulu.

“Lail,”

Laila mengerjap dan memberikan senyum samar pada Saka.

“maafkan aku, minumlah dulu..”

“nggak apa-apa mas, aku hanya terkejut.”

“sepertinya bukan kaget biasa..” Saka melempar tatapan yang sulit ditepis oleh Laila.

Di perjalanan pulang malam itu, Laila menceritakan tentang traumanya, sebuah pengalaman yang membekas di dirinya hingga saat ini. Tangan Laila berkeringat saat menceritakan hal itu, ditambah bayang-bayang masa lalu masih melekat jelas diingatannya.

Sejak kejadian saat itu, Laila sangat menghindari kegiatan malam hari. Kalaupun harus, Laila akan mempersiapkan dengan matang dia harus bagaimana pulangnya dan dengan siapa. Tapi malam ini dia lupa akan hal itu. Antusias sebab diterima kerja part time dan desakan waktu tempo ganti rugi yang semakin sempit membuat Laila melupakan hal yang paling penting dalam dirinya.

Saka melirik tangan Laila yang bergerak gelisah. Ingin rasanya menggenggamnya. Titik-titik peluh juga memebuhi dahinya. Ingin rasanya Saka menyeka.

Saat hampir tiba, Saka mengalihkan pembicaraan mereka perihal ganti rugi yang harus dibayar Laila. Bahkan Saka mengingat dengan baik kapan tenggat waktu itu berakhir.

“mmm.. Soal ganti rugi itu, aku bantu ya?” tawar Saka.

“hah? Nggak—nggak, jangan mas.. Maaf, bukan saya sombong, tapi mas Saka ini sudah saya anggap teman dan saya nggak mau pertemanan kita harus dirumitkan karena uang.” Sergah Laila. Tawaran dari sahabatnya saja dia tolak, apalagi ini laki-laki yang abru ia kenal kurang dari 3 bulan.

“tapi cuma tinggal 3 hari lagi kan? atau aku bantu ngomong ke Malik buat kasih waktu lagi?” tawar Saka lagi.

“kalau itu boleh. Saya sangat berharap pak Malik bisa mendengar permintaan mas Saka dan memperpanjang waktunya lagi.” ucap Laila sedikit dengan candaan tapi raut mukanya penuh harap.

“sudah sampai.. terima kasih sekali ya mas. Saya merepotkan mas Saka terus.” Ucapnya saat mobil mulai melambat. Bangunan tingkat tiga tempatnya tinggal sudah nampak jelas berikut nama tenar itu. cukup tenar karena termasuk kos-kosan mahasiswa paling diminati oleh mahasiwi dari kalangan manapun. Lalu Laila turun dari mobil.

“nggak merepotkan. Sudah sana masuk. Bye..” Saka melambaikan tangan dan pergi lenyap di kegelapan malam.

Laila melangkah lesu ke dalam kamar kosnya. Diingatkan soal tenggat waktu itu seolah membuat dunia kembali tertimpa di pundaknya. Berat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Hutang Mr. Arogant   End

    Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg

  • Terjerat Hutang Mr. Arogant   Extra Bab 2

    Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg

  • Terjerat Hutang Mr. Arogant   Extra Bab

    Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t

  • Terjerat Hutang Mr. Arogant   Bab 113 Tamu Tak Terduga

    Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk

  • Terjerat Hutang Mr. Arogant   Bab 112 Laki-laki Gila

    “Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru

  • Terjerat Hutang Mr. Arogant   Bab 111 Menikahimu

    Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status