Tenggat waktu yang diberikan oleh Malik hanya tersisa satu minggu lagi, tapi uang yang berhasil dikumpulkan Laila baru mencapai 20 juta, itupun termasuk menguras seluruh uang tabungannya yang sangat bernilai baginya meski bagi Malik mungkin hanya sekali tarik untuk uang jajannya.
Ia bekerja siang malam dan sengaja meninggalkan kuliahnya sementara tapi uang yang ia kumpulkan bahkan tak mencapai setengahnya dari ganti rugi yang harus ia bayarkan.
Raisa sudah beberapa kali menawarkan diri meminjami, tapi ia tak ingin merusak persahabatannya hanya perkara arta.
Begitu pula Saka, pernah bertemu beberapa kali dan dia selalu menanyakan tentang masalah yang membelit Laila dengan sahabatnya, Malik. Tawaran bantuan dari Saka pun meluncur dari mulutnya, tapi mentah-mentah ditolak Laila.
“Terimakasih, mas. Biar saya selesaikan masalah saya sendiri mas, sementara saya belum butuh bantuan mas Saka, nanti kalau saya butuh bantuan saya akan bilang pada mas Saka.” Ucapnya pada Saka.
Lalu Saka bungkam. Rasa khawatir pada gadis belia menyergapnya, apalagi gadis polos ini berurusan dengan sahabatnya yang dia tahu persis bagaimana perangainya.
Laila gelisah, gundah dan resah.
“Haruskah menghubunginya meminta tambahan waktu? tapi kali terakhir dia bilang dengan ketus hanya 3 bulan. Aku harus gimana ini?” gumam Laila.
Malam ini dia memiliki pekerjaan di sebuah restoran, sebagai pelayan. Laila sangat bersyukur ketika diterima bekerja disana dan diijinkan untuk bekerja paruh waktu dan memiliki gaji yang cukup lumayan. Setidaknya bisa menutupi kebutuhannya sehari-hari dan juga sebagian kecil ia sisihkan untuk melunasi hutangnya.
***
Di tempat berbeda, di sebuah istana milik keluarga Bagaskara.
Malik tengah membolak-balikkan sebuah kartu tipis terbuat dari plastik jenis Polyethylene Terephthalate Glycol.
“Laila Putri.. nama yang singkat. Aku harus apakan anak ini? Waktumu 3 bulan sudah hampir habis, manis..” Malik menyeringai jahat. Entah dia kemanakan sisi welas asihnya selama ini, menghadapi Laila rasa-rasanya hanya ada rasa benci yyang tersemat.
Tok tok tok
Ketukan pintu menyadarkan Malik dari mainannya.
“Malik..” panggil sang mama.
“ya ma..” Pintu itu didorong masuk oleh mama.
“lagi apa kamu? Ditungguin Gladis dari tadi malah ngerem di kamar aja.” Tanyanya. Wanita yang usianya sudah hampir 60 tahun itu tetep nyentrik dan selalu tampil cantik meski hanya di dalam rumah. Badannya tetap langsing karena rajin mengikuti kelas Yoga, wajahnya kencang karena tak pernah absen perawatan ke salon. Dan aura berkelas semakin memancar berkat perhiasan yang selalu berganti rupa.
“aduh ma, mau ngapain lagi sih? suruh pulang aja, Malik lagi males.” Sahut Malik sambil menyimpan rapi kartu mainannya di dalam laci nakas.
“kok gitu? Dia udah nungguin lama di bawah, temenin dia keluar makan malam. Lagian ini kan malam minggu, keluar kemana kek” protes sang ibu.
“mama aneh, banyak orang tua nyuruh anaknya anteng di rumah nggak boleh kelayapan, lha ini anaknya diem malah disuruh keluar,bareng cewek lagi. Mama nggak takut Malik apa-apain itu si Gladis?” jawab Malik.
“awas aja kalo kamu berani apa-apain.. “ Sergah mama, “Udah sana, temenin makan doang. Mama udah janji sama orang tuanya, jangan kecewakan mama. Bersiaplah, cepat!” Perintah sang mama.
“males ma..” rengek Malik. Rasanya sayang sekali harus meninggalkan ranjang empuknya saat sudah dalam posisi siap menjemput mimpi. Ini malam minggu, tapi selalu menyebalkan bagi Malik yang jomblo.
“nggak ada bantahan!” ucap sang ibu lalu melengos keluar kamar tanpa menutup pintu kembali.
“ma, tutup pintunya lag--i.. “ pekik Malik menyerah frustasi. Lagi-lagi ia dipaksa menemani perempuan yang sangat dieluk-elukan oleh mamanya.
Terkadang, Malik heran apa yang membuat mamanya begitu memanjakan Gladis. Perempuan itu tak ada istimewanya sama sekali. Setidaknya itu menurut Malik.
Gladis selalu tampil glamour dan berlebihan menurutnya, perempuan itu selalu mengelukan barang-barang mewah dan kehidupannya yang berlebihan.
Meski Malik pun hidup di keluarga yang kaya tapi ia sama sekali tidak pernah menyukai kehidupan glamour dan berlebihan. Malik risih, setidaknya ia masih sedikit memiliki empati kepada kaum menengah kebawah.
Malik melangkahkan kakinya, sedikit menyeret menandakan bahwa ia benar-benar malas meladeni Gladis.
“ayo..” ajak Malik berjalan begitu saja melewati sofa tempat mama dan Gladis bercengkerama.
“kok lemes gitu?” tanya Mama.
“Cuma sedikit ngantuk.” Jawabnya bohong. Dia tetap berjalan lurus tanpa menunggu Gladis yang harus berpamitan.
“Gladis pamit ya tante..” ucapnya pada Mama.
“iya sayang, selamat bersenang-senang..” ucap mama Malik melambaikan tangan pada Gladis dan melemparkan senyum puas. Gladis berlari kecil demi menyusul langkah Malik.
Di sebuah restoran tempat dimana Gladis dan Malik makan malam bersama. Pandangan Malik tertumbuk pada seorang gadis yang sangat dikenalnya. Hampir 3 bulan ia tak bertemu dengan gadis itu, apa kabarnya? Kenapa dia tidak menghubungi Malik? Pikiran-pikiran itu tanpa diminta Malik melintas di kepala dengan sendirinya.
Gadis itu Laila, yang dengan teganya ia bebankan ganti rugi dalam jumlah besar tanpa tahu kemampuan pundi-pundi yang dimiliki si gadis itu. Dari kejauhan Laila dengan cekatan membersihkan meja, mengelap meja kaca dengan teliti dan merapikan vas bunga kembali pada tempatnya pas presisi.
Sudah malam begini tapi dia masih bekerja dan ini malam minggu? Gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba ada setitik rasa bersalah menyergap Malik melihat kerja keras Laila. Dan dengan cepat pula sisi arogansi Malik menampik rasa bersalahnya. Dengan dalih itu adalah salah Laila sendiri yang ceroboh.
“kita pindah ke tempat lain aja!” kata Malik.
“kenapa? Aku suka disini, aku mau disini Malik.. please!” rayu nya dengan suara yang dibuat semendayu mungkin.
Malik mendengus lirih. Ia terpaksa menuruti keinginan Gladis, kalau tidak, hal remeh seperti ini pun pasti terdengar oleh mamanya dan dia akan mendengar setidaknya 30 menit ceramah dari sang mama.
Malik memilik meja di dekat jendela, sedikit berada di pojok dan semakin jauh dari posisi Laila berada. Sampai saat itu setidaknya Laila belum menyadari bahwa Malik si debitur dadakannya berada disana.
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa