LOGINAntara cinta dan dendam, siapa yang akan hancur lebih dulu?. Dendam membara menuntun Avelinne Rosse masuk ke lingkaran Sebastian Devereux—bangsawan anggur yang merampas warisan keluarganya. Namun di balik kebencian, ia mulai merasakan tarikan yang memabukkan. Saat cinta dan pengkhianatan berbaur, siapakah yang lebih dulu hancur? “Aku tidak mencintaimu, Sebastian… aku hanya ingin tanahku kembali.” - Avelinne Rosse. “Kau bisa merampas kebunku, Avelinne… tapi jangan pernah coba merampas hatiku.” - Sebastian Devereux.
View MoreKonon, sebelum nama Devereux menjadi satu-satunya penguasa anggur di wilayah itu, ada satu kebun yang harum namanya: Rosse Vineyard.
Anggurnya dikenal jujur, tidak dipoles kemewahan, namun rasanya—kata para pedagang—membawa matahari dan tanah ke dalam segelas minuman. Orang-orang desa rela berjalan jauh hanya untuk membeli satu botol. Pemiliknya, Edmund Rosse, bukan bangsawan, bukan saudagar besar. Ia hanya pria sederhana yang mengerti betul seni fermentasi, dengan tangan yang sabar dan mata yang teliti. Banyak yang bilang ia lebih paham anggur daripada sebagian besar bangsawan yang mengaku ahli. Namun kejayaan itu tidak lama. Dalam beberapa musim berturut-turut, fermentasi di kebunnya selalu gagal. Tong-tong anggur meledak, cairan busuk mengalir seperti darah hitam di lantai penyimpanan. Para pedagang mengeluh, hutang menumpuk, dan kebun Rosse jatuh bangkrut. Ada yang berkata itu murni nasib buruk. Ada pula yang berbisik, seseorang meracuni proses fermentasi. Nama keluarga Devereux kerap muncul dalam bisik-bisik itu, sebab tak lama setelah Rosse jatuh, gudang dan kebunnya berpindah tangan ke mereka. Edmund sendiri tidak pernah pulih dari kehancuran itu. Istrinya, Seraphine, sakit-sakitan hingga akhirnya meninggal lebih cepat dari usianya. Kedua anaknya, Aveline dan Elowen, tumbuh di antara reruntuhan dendam—mewarisi bukan lagi kebun, melainkan cerita getir tentang pengkhianatan. Sejak saat itu, nama Rosse hanya tinggal bayangan samar, tersapu oleh gemerlap kejayaan Devereux. Namun… bagi darah Rosse yang masih hidup, bayangan itu bukanlah akhir. Itu adalah api yang disembunyikan, menunggu waktu untuk menyala kembali. Dan api itu menemukan jalannya bertahun-tahun kemudian, di sebuah pasar Bordeaux yang tampak biasa—namun menjadi awal segalanya. Pasar pagi Bordeaux riuh oleh teriakan pedagang, bau tanah basah, dan anggur segar yang baru dipetik. Di sudut yang lebih sepi, dua gadis menjaga lapak kecil dengan meja kayu sederhana. Avelinne Rosse menata botol-botol selai anggur buatan rumah. Jemarinya lincah, meski wajahnya menyimpan letih yang tak pernah ia akui. Di sampingnya, Elowen—adik yang baru beranjak remaja—sibuk menguntit seekor kucing abu-abu yang selalu muncul entah dari mana. “Elowen, biarkan saja. Kita ke sini untuk menjual, bukan bermain,” ujar Avelinne, datar tapi penuh kewaspadaan. Elowen manyun, duduk di bawah meja sambil tetap mengelus si kucing bandel. Tak lama, seorang wanita berhenti di depan mereka. Gaun sutra biru berkilau, cincin berpermata di tiap jari, dan senyum seindah porselen—namun sorot matanya dingin. Ia menatap botol-botol sederhana itu dengan minat yang sulit ditebak. “Buatan sendiri?” tanyanya ringan. “Ya, Nyonya,” jawab Avelinne singkat. Wanita itu mengeluarkan koin. Tapi sebelum transaksi selesai, kucing Elowen melompat. Cakar kecilnya merobek kantong belanja si wanita. Barang-barang jatuh berserakan di jalan berbatu: sapu tangan, bros perak… dan sebuah amplop bersegel lilin merah. Lambang Devereux tertera jelas. Dalam sekejap, kucing itu menggigit amplop dan berlari ke lorong pasar. “Ah! Kucingmu!” seru wanita itu gusar. “Elowen!” Avelinne berteriak. Tapi adiknya sudah menerobos kerumunan, tangannya tergores, lututnya terbentur, tak peduli rasa sakit. Wanita bangsawan itu sibuk memungut barang-barangnya, lalu pergi tergesa tanpa menyadari satu benda hilang. Beberapa menit kemudian, Elowen kembali. Nafasnya tersengal, wajahnya penuh debu, tapi matanya berkilat puas. Di tangannya—amplop itu, segelnya retak, namun lambangnya masih jelas. “Kucingnya kabur… tapi lihat, aku berhasil mengambilnya,” katanya bangga. Avelinne meraih amplop itu. Jantungnya berdegup. Lilin merah Devereux—lambang keluarga yang merampas kebun anggur ayahnya. Di balik rasa letih, sesuatu menyala dalam dirinya: dendam, harapan, kesempatan. “Elowen,” bisiknya, tatapan tak lepas dari segel itu. “Sepertinya… takdir baru saja menunjukkan jalannya.” ****** Malam di pinggiran Bordeaux sunyi, hanya dipecah suara jangkrik dan gonggongan anjing penjaga yang jauh. Di sebuah rumah kecil berdinding batu tua, cahaya lampu minyak temaram jatuh ke meja makan reyot. Elowen duduk bersila di lantai, memangku kucing abu-abu yang kini tidur pulas. Luka di tangannya sudah dibalut seadanya dengan kain lusuh. Avelinne Rosse duduk di kursi, tatapannya terpaku pada amplop bersegel lilin merah di atas meja. Jemarinya sempat ragu, namun sorot matanya menyala gelisah. “Avelinne… kalau itu milik orang lain, bukankah sebaiknya kita kembalikan saja?” tanya Elowen lirih, polos. Avelinne mengangkat wajah, dan untuk sesaat, usianya tampak lebih tua dari yang sebenarnya. “Benda ini… bukan sekadar milik orang, Elowen. Ini… kunci.” Ia menelusuri cap lilin Devereux yang retak di sudutnya. Ironis—lambang itu milik keluarga Devereux, namun justru pernah berkibar megah di gerbang kebun anggur ayah mereka. Sebelum disita, sebelum hutang merampas segalanya—rumah, tanah, dan harga diri mereka—sebelum sang ayah menghembuskan napas terakhir dalam putus asa. Dengan gerakan tegas, Avelinne menyobek segelnya. Dari dalam, ia menarik selembar kertas tebal, tulisannya anggun dengan tinta hitam pekat. “Sayembara calon istri…” ia membaca perlahan, setiap kata terasa pahit. “Bangsawan Devereux… mengundang keluarga terhormat… menghadiri pemilihan pendamping hidup bagi putra sulung keluarga Devereux.” Nama itu membuatnya terdiam lama. Rahangnya menegang, sorot matanya tajam. Elowen, yang belum mengerti, terkikik kecil. “Sayembara? Apa itu seperti pesta? Kalau kau ikut, mungkin kita bisa makan kue manis tiap hari!” Avelinne menoleh, bibirnya melengkung tipis tapi dingin. “Ini bukan pesta, Elowen. Ini… tentang membayar hutang darah yang mereka tinggalkan pada kita.” Elowen tercekat. la ingin bertanya, namun kata-kata hilang di tenggorokan. Avelinne menggenggam undangan itu erat-erat, seakan ingin meremukkannya, lalu bangkit berdiri. Di luar jendela, bulan separuh menggantung di langit Bordeaux. Cahaya pucatnya jatuh di wajah Avelinne—bukan lagi wajah seorang penjual selai sederhana, melainkan wajah seorang gadis yang baru saja memilih jalan penuh dendam. ****** Cahaya matahari menembus jendela kaca buram, jatuh ke meja yang penuh gulungan benang, kain lusuh, dan jarum jahit. Avelinne Rosse duduk tegak, menatap selembar kain hijau tua yang pernah menjadi gaun ibunya. Bertahun-tahun tergantung di lemari usang, kini warnanya pudar, seratnya rapuh, tapi potongannya masih menyimpan jejak anggun masa lalu. Jarum di tangannya bergerak pelan, menutup robekan demi robekan. Ia tidak punya pilihan lain—jika ingin menyusup ke dunia bangsawan, ia harus terlihat pantas. Di dekat pintu, Elowen berdiri dengan mata berbinar. “Apa kau yakin mau datang ke pesta itu?” tanyanya lirih. Avelinne berhenti sejenak, menatap kain di tangannya. “Aku harus, Elowen. Kalau aku tidak masuk ke balik dinding mereka, bagaimana aku bisa merebut kembali apa yang telah mereka ambil?” Adiknya menyipitkan mata, suaranya tajam meski pelan. “Atau… bagaimana kalau dinding itu justru menelanmu hidup-hidup?” Sejenak hening. Avelinne menatap adiknya, namun kembali fokus pada jahitan. Elowen buru-buru menepis ketegangan dengan nada ceria. “Kalau gaunnya terlalu pendek karena dipotong, aku bisa berdiri di belakangmu dan pura-pura jadi ekornya. Pasti semua orang mengira itu model terbaru!” Avelinne menghela napas, separuh lelah, separuh tak kuasa menahan senyum getir. “…Kalau kau lakukan itu, kita bukan masuk pesta, tapi langsung dilempar keluar oleh penjaga.” Elowen terkikik, lalu nekat meraih pita lusuh dan mengikat rambutnya seperti mahkota. “Kalau begitu, aku jadi dayang bangsawan. Kau tahu, yang membawa sapu tangan dan berkata ‘Oui, Madame!’ setiap lima menit.” “Dayang tidak pakai pita dari kain pel. Dan biasanya mereka tidak menempel pada kakaknya seperti lintah,” balas Avelinne datar, meski matanya melembut. Elowen mencibir, lalu meraih kucing abu-abu yang sejak tadi duduk di kursi. Ia mengikat pita kain di leher hewan itu. “Kalau begitu, kucing ini saja yang jadi dayang. Lihat, dia sudah siap dengan busana bangsawan.” Kucing itu hanya mengeong malas, membuat Avelinne mendengus kecil. Senyum lelah muncul di bibirnya, tapi segera pudar saat matanya kembali ke gaun hijau tua itu. Bayangan ibunya muncul dalam benaknya—senyum lembut, tawa hangat, dan gaun ini yang dulu berputar di pesta rakyat kecil, sebelum kebun anggur mereka dirampas, sebelum keluarga mereka tercerai. “Aku akan masuk, Elowen,” bisiknya dalam hati. “Aku akan menuntut balas. Dan jika itu berarti harus berdansa di sarang musuh, maka biarlah gaun ini jadi saksi.” Elowen memperhatikan kakaknya diam-diam. Semua gurauannya hanyalah selapis tipis; di baliknya, hatinya mencengkeram rasa takut. Ia tahu pesta itu bukan sekadar pesta—itu medan yang bisa melukai Avelinne lebih dalam daripada cakar kucing atau tusuk jarum. Namun bila kakaknya bersikeras masuk, maka ia, Elowen, akan tetap berdiri di sisinya.Cahaya jingga senja merayapi kebun anggur Devereux yang mulai pulih. Sulur-sulur merambat naik, daun muda bergetar oleh angin lembut, dan bulir-bulir anggur menggantung berat, berkilau seolah dilapisi madu tipis. Marcus berjalan perlahan di antara deretan tanaman itu, sepatu botnya menginjak tanah lembap dengan ritme yang hampir sombong. Lucianne menyusul satu langkah di belakangnya—anggun, diam, namun mata hijaunya memantulkan perhitungan yang tak pernah padam. “Luar biasa,” gumam Lucianne sambil menyentuh satu tandan anggur. “Sepertinya sudah siap panen.” “Lebih dari siap,” sahut Marcus, dagunya terangkat sedikit. “Tak lama lagi aku punya bisnis anggurku sendiri. Devereux akan kembali bersinar di tanganku.” Lucianne tersenyum—senyum tipis seorang wanita yang tahu betul apa artinya berada di sisi pemenang. Dan aku, pada akhirnya akan menjadi satu-satunya nyonya Devereux di kastil itu, batinnya puas. Namun pikiran itu tergelincir begitu nama tertentu muncul dalam benaknya.
Begitu mobil berhenti, aroma fermentasi anggur menyambut mereka—hangat, manis, dan nyaris menenangkan. Avelinne menarik napas dalam-dalam seperti sedang kembali ke tempat yang selalu memeluknya. Elowen, lupa sejenak pada kecemasannya, berlari kecil sambil menggendong Mocha. “Osric! Kami kembali!” Osric muncul dari balik tumpukan tong kayu, wajahnya berseri. “Elowen! Nona Rosse. Senang melihat kalian lagi.” “Bagaimana fermentasi dan selainya?” tanya Elowen, matanya berbinar. “Semua berjalan baik,” jawab Osric. “Meski—jika boleh jujur—kami merindukan kehadiran kalian di sini.” Sebastian mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabar baiknya, aku sudah memutuskan menikahi Avelinne.” Osric terbelalak.
Matahari siang memukul ladang anggur Marlowe dengan panas yang tak biasa—panas yang membuat udara bergetar, dan membuat setiap napas terasa seperti menelan logam. Di dalam rumah kecilnya, Marlowe duduk membungkuk, memperbaiki gunting besar yang bilahnya sudah tumpul. Ritme krek—krek dari batu asah memecah keheningan. Tiga ketukan keras menghajar pintu. Tidak ada salam. Tidak ada seruan nama. Marlowe berhenti. Gunting di tangannya nyaris terpeleset. Dengan napas berat, ia bangkit. Sepatu bot tuanya menghantam lantai batu dengan bunyi pendek yang seakan menandai awal sesuatu yang buruk. Ia membuka pintu hanya separuh. Di luar berdiri dua pria asing berjaket gelap, topi hitam menunduk rendah, wajah mereka tertutup bayangan. “Siapa kalian?” suara Marlowe serak, namun masih berusaha tegar. Pria di depan menjawab cepat, seperti seseorang yang tidak terbiasa ditanya balik. “Apa kau mengenal Avelinne Rosse?” Nama itu menghantam ruangan kecil itu seperti badai. Namun M
Pagi itu meja makan keluarga Devereux terasa terlalu sunyi. Hanya denting halus gelas teh Marcus yang beradu dengan piring—ritme kecil yang justru membuat keheningan tampak lebih tajam. Lucianne duduk di sampingnya dengan anggun; bahunya tegak, posturnya nyaris santai. Seperti seorang nyonya yang kembali menikmati paginya… walau semua orang tahu semalam kastil nyaris hancur moralnya. Pintu ruang makan terbuka perlahan. Lady Vareen masuk. Kecantikannya—yang biasanya begitu sempurna dan menuntut penghormatan—pagi ini tampak retak. Bekas cakaran Mocha masih memerah di sisi wajahnya, menurunkan wibawa itu beberapa derajat. Ada guratan lelah yang bahkan bedak tipis pun tak mampu sembunyikan. Marcus yang pertama bersuara. “Selamat pagi, Ibu.” Lucianne menyusul, suaranya lembut namun sarat ironi terbungkus satin. “Bagaimana lukamu? Sudah membaik?” Lady Vareen menarik napas sebelum duduk, seperti seseorang yang tidak yakin tubuhnya masih sanggup menahan martabatnya sendiri. “Aku tid






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore