"Carikan bodyguard khusus buat Inara. Aku tak ingin terjadi sesuatu bila Inara ditinggal di sini sendirian. Tapi ingat, harus perempuan dan bisa bela diri."
"Apa Mas, bodyguard?" Inara datang menghampiri. "Aku gak mau mas, kemana-mana harus diikutin, kayak gak bebas gitu. Emangnya aku anak kecil?" Inara duduk di samping suaminya. Raut wajahnya bertambah kesal.
"Tapi Inara ini demi kebaikanmu, aku gak bisa full 100% jagain kamu nanti. Banyak pekerjaan yang perlu diurus."
"Pokoknya aku gak mau, Mas. Aku akan di sini saja, aku gak akan kemana-mana kecuali sama kamu."
"Inara, memangnya kamu tidak bosan sendirian terus di sini? Kasihan Savrina juga. Kamu bisa berjalan-jalan dengan Savrina di taman."
"Bukankah apartemen ini aman? Jadi tidak masalah kan kalau aku pergi sendiri?"
"Inara, kita tidak tahu kapan bahaya akan datang."
"Mas, aku gak mau, aku gak setuju titik. Kalau kamu maksa mending aku pulang ke rumah abah."
"Kenapa mau pu
Wajah Chelsie berubah tak suka, saat mantan kekasihnya memuja wanita lain selain dirinya, senyuman yang tadinya ramah kini berganti sinis. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya memburu, tangannya mengepal kuat. Ia tak pernah menyangka lelaki yang pernah menjadi kekasihnya itu menolaknya mentah-mentah, tanpa memberinya kesempatan lebih dahulu."Harshil, tunggu! Terserah walaupun kamu mencintai wanita udik itu. Aku siap walaupun jadi yang kedua, asalkan itu bersamamu, Harshil. Tolong maafkan kesalahanku yang dulu. Aku ingin kita bersama lagi.""Gila kamu!! Ingat ini baik-baik, aku tidak akan pernah menduakan Inara. Urus saja kehidupanmu dengan suami playboymu itu!" ucapnya seakan menegaskan kalau Erick memanglah sang playboy. Ya, dulu sebelum menikah, Erick sering bergonta-ganti pasangan, tidak cukup satu. Entah jurus apa yang dia pakai hingga Chelsie pun akhirnya terpikat dan luluh menjadi istrinya.Harshil berlari ke arah jalan yang berbeda. Ta
Rating 21+"Kamu jangan khawatirkan hal yang tak pasti. Masa lalu hanyalah masa lalu dan aku takkan pernah tergoda olehnya lagi. Saat ini dan selamanya, kau adalah ratuku, masa depanku, ibu dari anak-anakku kelak. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Inara. Hatiku adalah milikmu."Sebuah senyuman merekah di bibir Inara. Ia membalas pelukan sang suami. Melingkarkan tangan di punggungnya. Untuk beberapa jeda mereka terhanyut pada pikiran masing-masing. Harshil membelai lembut rambut Inara yang panjang."Inara ...""Hmmm ...""I love you," ungkap Harshil dengan suara yang begitu lembut."Iya ...""Aku mencintaimu.""Aku juga.""Juga apa? Hmmm ... coba katakan padaku."Harshil menatap wajah istrinya, memegang dagunya dengan lembut."Aku juga mencintaimu, Mas," jawab Inara.Mendengar ungkapan cinta dari Inara, di hatinya bagaikan bunga-bunga layu yang disiram oleh air hujan, terasa sejuk dan mengg
Harshil menyiapkan air hangat untuk istrinya di bathtub, termasuk bubble bath dan essentials oil agar Inara rileks saat berendam nanti.Harshil menundanya untuk bangkit. Inara masih merasa lelah, lelah yang merajai fisik usai pertempurannya semalam. Rasa sakit dan perih ia rasakan di area sensitifnya."Mas, sakit ..." desis Inara lirih."Mau kugendong sampai kamar mandi?"Inara hanya menggeleng pelan. "Enggak, aku jalan sendiri saja."Matanya terbelalak kaget saat melihat ada sedikit noda darah di atas sprei. "Mas, itu ..."Harshil hanya tersenyum. "Nanti biar aku yang bersihkan. Terima kasih sayang. Mmmuuach." Lelaki itu kembali mencium istrinya, lembut.Dengan langkah pelan sembari menahan rasa sakit, Inara berjalan ke arah kamar mandi. Berendam di bathtub yang sudah disiapkan oleh sang suami. Inara tersenyum, membayangkan percintaannya dengan sang suami tadi. Sekarang dia sudah menjalankan kewajibannya menjadi seo
"Permisi, Tuan ..." panggilan dari luar menghenyakkan mereka. Harshil membuka pintu, Ettan berdiri sembari memberi salam."Silahkan masuk, Ettan. Sekalian kita sarapan sama-sama," ajak Harshil pada asisten pribadinya."Tidak perlu, Tuan. Sebelum kesini saya sudah sarapan lebih dulu.""Oke, baiklah. Duduk dulu saja."Ettan mengangguk sembari duduk di sofa. Inara dan Harshil hendak melanjutkan sarapan yang tertunda, tetiba Savrina menangis dengan kencang."Mas, kau makan dulu saja. Biar aku yang menenangkannya."Harshil mengangguk, sedangkan Inara masuk kembali ke dalam kamar menenangkan Savrina, mengganti popoknya sekaligus memberikan susu formula untuknya."Nona, boleh saya menggenggongnya? Biar nona kecil bersama saya, Non Inara bisa sarapan bersama Tuan." tanya Ettan saat melihat Inara tengah kerepotan."Oh iya, silahkan. Terima kasih ya Ettan.""Iya, Nona."Inara kembali ke meja makan, menemani sang suami
"Ya maksudnya Non Inara dijadikan sekertaris pribadi, jadi Non Inara akan terus terpantau oleh Tuan.""Ck! Itu tidak mungkin, Ettan. Inara pasti menolaknya. Dan lagi siapa yang akan menjaga Savrina. Sudah tentu dia pasti tidak mau. Pikirkan ide yang lain saja. Sudahlah, kau boleh pergi. Aku akan mengajak Inara berjalan-jalan lebih dulu.""Baik, Tuan."Harshil menggelengkan kepalanya. Kembali ke apartemen, melihat Inara sudah siap, memoles wajahnya dengan make up tipis-tipis. Lip balm warna pink, membuat bibirnya terlihat merona. Savrina pun sudah berada di stroller-nya."Hmmm, kau kelihatan cantik sekali?" puji Harshil mendekat ke arah Inara.Inara tersenyum. "Ya, aku juga ingin tampil cantik, memantaskan diri, karena suamiku ini kan orang yang hebat. Aku gak mau bikin kamu malu di depan umum.""Tampil cantik, boleh juga. Tapi bibir manis ini tetap milikku," sahut Harshil sembari mengecup bibir Inara sekilas."Mas?"
Pram keluar dari ruangannya. Berkali-kali mengembuskan nafas kasar. Rasa geram kembali menguasai hatinya. Anak buahnya yang tempo hari disuruh ikuti Ettan justru gagal lagi karena kehilangan jejaknya.Lelaki itu merasa geram saat melihat Harshil sudah kembali ke kantor. Apalagi dia sudah bisa berjalan dengan tegap tanpa menggunakan kursi roda.Di ruangan meeting, semua memasang wajah yang serius dan tegang. Beberapa orang ada yang baru melihat Harshil dan sebagian lagi ada yang sudah mengenalnya. Sikap Harshil yang tampak begitu tegas, dingin dan kaku membuat orang-orang tak berani untuk menatapnya. Semua tertunduk antara takut dan ragu. Tak ada bisik-bisik tetangga, semua terasa hening.Pramudya mengetuk pintu ruang meeting, lalu langsung duduk diantara deretan bangku yang lainnya."Maaf, saya sedikit terlambat," ucap Pramudya."Tidak masalah."Harshil ditemani oleh Ettan yang berdiri di sampingnya, ada juga Hardian Wicaksana yang juga suda
Ia membaca isi pesan di kertas itu. Tersenyum saat membacanya."Selamat makan, Sayang. Aku pulang telat. Jangan nungguin aku. I love You -- Harshil.""Benarkah ini dari kamu, Mas? Bukankah tadi pagi kamu bilang mau makan malam bersamaku? Ah, mungkin kamu memang sangat sibuk," ucapnya sendiri.Inara kembali menutup pintu. Ia berjalan ke meja makan sembari menatap paket yang baru diterima. Benarkah itu dari suaminya?Ia menatap jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sampai sekarang Harshil belum juga pulang, dia pun tak mengirimkan kabar lewat panggilan maupun pesan.Inara memang belum memasak, ia menunggu suaminya pulang, agar masakannya hangat dan bisa dimakan secara lahap. Wanita itu menatap tulisan di secarik kertas itu. Berulang kali ia menghubungi sang suami, tapi tak jua diangkat."Apa Mas Harshil benar-benar sibuk sampai tak bisa mengangkat panggilan teleponku?"Inara menggenggam ponse
Kalau kau ingin menghancurkan laki-laki maka hancurkanlah wanita yang dicintainya. Ia pasti akan kehilangan kekuatan, terutama semangat dan kepercayaan dalam dirinya.Seorang wanita tengah mematut diri di dalam cermin, menatap wajah sendiri sembari meraba-raba pipi."Aku masih sangat cantik, tapi kenapa kau menolakku, Harshil?" racau wanita itu lirih.Ia meremas obat yang dibelinya kemarin, belum sempat ia konsumsi karena takut efeknya akan berbahaya bagi dirinya sendiri. Ia masih belum siap, merasakan nyeri yang hebat."Gara-gara anak ini, semua orang meninggalkanku. Erick dan sekarang Harshil! Mereka lebih memilih wanita lain. Menyebalkan bukan?"Dia keluar dari kamarnya, mencari sang suami."Rick? Eriiick!" panggilnya. "Sudah tentu dia tak ada di rumah. Pasti sedang mabuk-mabukan lagi. Huh!"Wanita itu menyambar tasnya kembali, ingin pergi memastikan ke apartemen. Apakah Inara sudah mati?"Maaf Mbak, ini bu