Semua serba cepat. Mobil travel yang akan ditumpangi Linda tiba-tiba saja mengalami ban kempes di bagian belakang. Bukan hanya satu tapi keduanya. Padahal mereka baru saja keluar dari area perumahan.
Linda menunggu sopir memperbaiki ban dengan wajah masam. Malam semakin larut dan dia belum juga berangkat.
"Apa tidak bisa dikirimkan mobil lain, Pak? Saya buru-buru," kata Linda tak sabar.
"Armada sedang keluar semua, Bu. Ini kan weekend, jadi gak ada armada kosong. Sabar ya, Bu, biar saya perbaiki dulu bannya. Ibu duduk saja di halte ini gak papa," jawab sopir itu dengan ramah sekaligus dengan perasaan tidak nyaman. Padahal sebelum berangkat tadi, mobil sudah dicek oleh montir armada, semua sudah oke, maka dari itu armada terakhir yang ada di pool travel diijinkan untuk keluar. Jika sudah begini, mau menyalahkan siapa?
"Aduh, saya ngantuk lagi nih! Kalau masih lama banget, saya pulang dulu saja deh, besok saja berangkatnya. Biar saya tidur
Pukul tiga sore, Tangguh sampai di rumah Steve dengan keadaan amat menyedihkan. Kedua telapak kakinya terus saja mengeluarkan darah segar karena menginjak beling saat berusaha kabur tadi.Rumah nampak sepi. Steve sepertinya pergi karena mobilnya tidak ada. Semoga Linda ada di rumah, jika tidak, ia terpaksa mendobrak pintu rumahnya untuk mengambil uang membayar ongkos ojek online."Tunggu di sini sebentar ya, Bang," kata Tangguh sambil meringis."Iya, Bang, kaki Abang berdarah terus itu," kata pengemudi ojek sambil menunjuk kaki Tangguh."Iya, Bang, ini mau langsung saya obati. Saya ambil uang dulu, tunggu ya." Tangguh langsung mendorong pintu pagar yang tidak terkunci. Ia berjalan tertatih menuju pintu rumah Steve.Tok! Tok!"Bu, ini saya! Bu," seru Tangguh sambil menahan pedih pada kakinya."Bu, saya Tangguh!" serunya lagi sambil terus mengetuk pintu rumah.Cklek"Ya ampun, Tangguh, kamu ke
["Aku akan menelepon kembali."]Steve langsung menutup teleponnya saat menyadari Rucita yang terdiam saat dirinya tiba-tiba merampas ponsel dari tangan wanita itu."Sayang, maafkan kalau kamu kaget karena saya. Ayo, kita mandi saja!" Steve menggendong tubuh Rucita dengan mudahnya ala pengantin."Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rucita dengan sedikit khawatir dan juga merasa bersalah."Tidak apa-apa, Sayang." Steve menurunkan istrinya di lantai kamar mandi, lalu menyalakan shower air hangat untuk membasahi tubuh mereka."Maaf ya, Mas, saya harusnya tidak mengangkatnya, karena siapatahu tadi yang menelepon istri Mas," kata Rucita dengan wajah sedih."Begini, jika ponsel saya berdering. Mau siapapun yang menelepon, abaikan saja ya." Steve menyentuh pipi Rucita dengan telapak tangannya."Baik, Mas, akan saya ingat, mm ... tapi ... saya mau lagi," bisik Rucita malu-malu sembari menyentuh milik Steve y
"Halo, Rucita, kamu di mana? Maaf Kakang baru telepon, karena Kakang terkena musibah.""Hah? Musibah apa, Kang? Kakang di mana sekarang?""Mobil travel yang Kakang tumpangi kecelakaan, jadi Kakang dirawat beberapa hari di rumah sakit, tapi sekarang sudah sehat, hanya kaki Kakang masih sakit. Kamu tidak perlu khawatir. Bagaimana Arnan? Bagaimana keadaan kamu, Cita?""Oh, syukurlah, Kang. Mm ... itu, Kang, saya dan Arnan sudah putus dan semua barang pemberian Arnan juga sudah saya kembalikan, tepatnya dia yang memintanya kembali.""Ya ampun, terus kamu gak papa'kan Cita?""Gak papa, Kang, emang belum berjodoh. Cita baik-baik saja, Akang gak usah khawatir sama Cita. Kang Tangguh pulihkan saja kesehatan Akang di sana. Cita mungkin akan mencari pekerjaan untuk melupakan Arnan.""Oh, ya sudah, kabari Akang kalau kamu sakit atau kenapa-napa ya.""Iya, Kang, Kakang juga jaga diri dan hati-hati kalau berkendara.""Ya udah, Akang tutup y
Setelah memastikan Tangguh tidur, Linda pun memutuskan pulang ke rumah karena Steve sudah menunggunya . Wanita itu tiba di rumah sudah sangat larut. Steve bahkan sudah tidur dengan sangat lelap saat ia membuka pintu kamar. Steve sama sekali tidak terganggu tidurnya ketika istrinya itu berjalan masuk ke dalam kamar mandi.Air dingin yang membasuh tubuh Linda membuat wanita itu merasa begitu segar. Segelas teh manis hangat ia sedih sebelum ikut berbaring bersama Steve di tempat tidur. Jujur saja, ketika tidur di rumah sakit walau satu ranjang dengan Tangguh yang sakit, pasti sangat berbeda rasanya dengan tidur di tempat tidur yang luas.Linda merapikan selimut suaminya, lalu ikut tidur di sana. Linda memandangi Steve. Sudah tidak ada lagi cinta di hatinya untuk Steve yang ada hanya perasaan seperti adik dan kakak saja. Bagaimana untuk ke depannya jika ia harus bersikap dan terus berpura-pura mencintai Steve? Berapa lama sandiwara itu harus ia lakukan, padahal
"Tangguh, hei, ada apa?" Tangguh tersentak kaget dengan mata terbelalak saat merasa pipinya ditepuk kuat oleh seseorang."P-pak, Steve, a ... kapan sampai?" tanya Tangguh gugup. Wajahnya pucat dengan tubuh tiba-tiba berkeringat dingin. Ternyata hanya mimpi, walau terasa sangat nyata."Baru saja dan saya melihat kamu seperti mimpi bertemu dengan malaikat maut," jawab Steve sambil memutar bola mata malasnya. Steve menarik kursi untuk mendekat pada Tangguh, sedangkan Tangguh mendadak canggung berada di dekat Steve, seolah-olah dia saat ini tengah berada di dekat hakim yang akan mengadilinya."Saya minum dulu, Pak," kata Tangguh dengan tangan gemetar meraih gelas berisi air putih. Steve hanya memperhatikan Tangguh yang gugup. Jelas sekali Tangguh merasa bagaikan orang yang bersalah, tetapi Steve masih belum menemukan cara tepat, aman, dan pas untuk menghukum Tangguh dan juga Linda."Bapak datang sendiri atau bersama Bu Linda?" tanya Tangguh
["Halo, Cita, kamu apa kabar?"]["Kang Tangguh, Cita sehat, Kang. Kakang gimana kabarnya?"]["Kaki Kakang masih cidera."]["Ya ampun, terus bagaimana, Kang? Kakang mau balik ke rumah atau bagaimana?"]["Kata Pak Steve, kamu yang diminta ke Tangerang. Kamu temani Kakang di rumah sakit dahulu, mungkin masih tiga harian lagi. Setelah itu kamu temani Kakang di rumah Pak Steve sampai kaki Kakang sembuh. Gimana, Cita? Kamu gak papa?"]Rucita tersenyum senang mendengar permintaan Tangguh atas dasar perintah suaminya. Tentu saja ia tidak menolak dan pasti akan sangat senang bisa mengunjungi Steve dan juga Tangguh.["Cita! Halo!"]["Eh, i-iya, Kang. Kapan Cita harus berangkat?"]["Katanya sekarang saja, biar gak kemaleman sampai terminal Cikokol. Nanti dijemput Pak Steve untuk langsung diantar ke rumah sakit. Kamu ada uang untuk ongkos tidak?"]["Baik, Kang. Ongkos Cita ada, tapi nanti Kakang gantiin ya."]["Iya, Adi
"Tentu saja aku perlu khawatir. Anak perawan diminta ke kota untuk mengurus kakaknya yang sakit, sedangkan dia tidak pernah ke kota. Sudah, jangan bilang kamu cemburu? Ha ha ha ... tidak mungkin!" Steve menertawakan Linda, kemudian ia pergi begitu saja meninggalkan istrinya yang terdiam masih di depan pagar. Steve kembali mengawasi tukang yang sedang bekerja.Pukul enam sore, Steve sudah berada di terminal Cikokol untuk menjemput Rucita. Hatinya sungguh tak sabar menanti kedatangan istri kecilnya yang sangat menggemaskan. Steve keluar dari mobil dan menunggu di sebuah warung kopi. Bus keluar-masuk tak jauh dari tempat ia bersantai sejenak.Bep! Bep!Steve mengambil ponselnya dari saku dengan cepat. Pria itu tersenyum saat mendapati nama Rucita yang ada di sana."Halo, Sayang, di mana?""Di loket beli karcis, Mas, cepat jemput.""Oke, tunggu di sana ya. Saya dekat kok." Steve menutup ponselnya, lalu mengeluarkan uang lima ribu rup
"Dokter baru saja visit lima menit yang lalu. Parfumnya memang sangat mirip dengan parfum yang sering dipakai Bu Linda, Pak. Saya sempat mengira yang datang berkunjung adalah Bu Linda, ternyata dokter."Oh, begitu." Steve mengangguk paham. Namun ia tahu ada yang tidak beres dengan keterangan Tangguh. Pemuda itu berbohong dan istrinya pasti baru saja dari sini. Apalagi di leher Tangguh ada noda merah samar seperti bekas lipstik. Tidak mungkin bibir dokter menempel di sana bukan?"Baiklah, Rucita, Tangguh, saya akan kembali ke rumah. Kamu jaga Kang Tangguh kamu baik-baik. Semoga bisa segera keluar dari rumah sakit," ujar Steve sambil tersenyum."Terima kasih sudah menjemput dan mengajak saya makan enak tadi. Hati-hati di jalan Tuan Steve," ujar Rucita sambil menunduk hormat. Steve keluar dari kamar perawatan, Rucita melanjutkan berbincang dengan kakaknya. Hatinya sungguh senang sudah dikelilingi oleh dua pria terbaik dalam hidupnya."Jadi, cerit