Ha ha ha
Steve masih terus tertawa nyaring saat polisi memborgol kedua tangannya. Pria bule itu hanya menarik kembali celana panjang yang memang hanya ia turunkan sampai betis saat ia bercinta dengan istrinya.
"Tangguh, bertahanlah! Rucita, ya Tuhan!" Linda syok bukan main saat kedua kakak beradik itu akhirnya dibawa oleh mobil ambulan. Karena Linda hanya membawa satu ambulan sedangkan korbannya ada dua orang, maka dari itu, Rucita didudukkan di depan bersama sopir dan seorang perawat.
Linda ikut duduk di ambulan belakang, menemani Tangguh yang sudah tidak sadarkan diri. Wanita itu menangis sejadi-jadinya saat melihat keadaan Tangguh yang amat menyedihkan. Apalagi Rucita. Semua ini adalah salahnya. Jika ada yang paling berdosa dan bersalah, itu adalah dirinya. Linda terus saja menangis tersedu menyesali perbuatannya yang mungkin tidak akan pantas untuk dimaafkan.
Aku tidak punya, Mas, bisakah kamu membantuku untuk meminjamkan uang membay
Linda membuka matanya perlahan. Beberapa kali ia berkedip untuk menerangkan pandangannya yang samar. Seorang wanita berpakaian sangat sederhana tengah duduk di depannya. Wanita setengah baya uang yang mungkin berumur sekitar empat puluh lima tahunan."Syukurlah kamu sudah sadar." Wanita itu tersenyum hangat padanya."Saya di mana?" tanya Linda."Tadi kamu diserempet mobil dan pingsan. Mobil itu lari dan melemparkan uang ini ke jalanan." Wanita setengah baya itu menunjuk tiga lembar uang merah yang ada di samping Linda."Saya dan teman-teman pemulung yang membawamu ke sini. Apa kamu tahu alamat atau nomor telepon keluargamu yang bisa kami hubungi?" mata Linda berair kembali."Saya sebatang kara, Bu," kata Linda dengan suara tertahan."Tidak, kamu sepertinya tidak sendiri. Dokter yang suka kunjungan ke daerah miskin kami kebetulan lewat sini tadi. Kamu diperiksa olehnya dan dia meminta kamu untuk tes kehamil
"Sus, saya mau melihat adik saya," kata Tangguh pada perawat yang tengah mengecek tekanan darahnya sore ini."Boleh, tapi dari luar saja ya. Nona Rucita lebih banyak tidur dan menangis. Kasihan sekali. Mungkin dengan melihat saudara lelakinya, ia bisa segera pulih," kata perawat menyahuti."Terima kasih, Sus.""Saya ambilkan kursi roda dulu ya." Perawat itu pun keluar sebentar, lalu kembali lagi ke kamar perawatan dengan membawa kursi roda. Tangguh duduk di sana setelah perawat merapikan selang infus. Dengan hati berdebar ia berharap melihat keadaan adiknya tidak begitu parah. Mungkin luka fisiknya tidak, tetapi luka batinnya."Itu, Nona Rucita masih tidur. Ibu hamil muda memang lebih banyak tidur dan itu wajar. Ditambah kondisinya belum benar-benar pulih.""Tunggu, apa maksud suster? Adik saya hamil? Kok bisa?" Tangguh melotot dengan tidak percaya. Adiknya belum menikah dan adiknya bukan perempuan nakal, bagaimana bisa hamil? Mem
Tiga tahun kemudian.Seorang wanita tengah menyuapi sepotong roti untuk kedua putra kembarnya. Hari ini tidak banyak yang bisa ia dapat dari mengumpulkan barang bekas, karena hujan terus saja turun dengan derasnya.Bersyukur dirinya bisa tinggal di penampungan sederhana bersama dengan Bu Tahu, dan teman-teman pemulung lainnya. Semua menjadi keluarga, walau ia termasuk anggota baru mereka. Semua orang di sana juga tanpa segan membantunya baik saat hamil, melahirkan, hingga mengurus bayi kembar Linda."Kenapa cuma makan roti? Anak kamu badannya kurus banget, Nuri," tegur Bu Yayu saat ia kembali sore itu dengan tubuh yang basah kuyup."Hari ini dapatnya sedikit, Bu. Mereka minta jajan tadi di jalan, jadi saya belikan roti saja karena uang untuk beli nasi tinggal hari ini dan besok. Hujan terus, saya jadi tidak bisa keliling. Kasihan anak-anak kalau kehujanan," terang Nuri sambil tersenyum getir."Ini, tadi Jumat berkah, ada yan
"Nuri, sini deh! Saya ada info bagus nih untuk kita, tapi itu juga kalau kamu mau," kata Bu Yayu saat siang itu pulang; mengantar makanan untuk Agus. Nuri yang tengah melipat cucian, akhirnya menghampiri Bu Yayu dengan penasaran. Jika wajah Bu Yayu berbinar, itu tandanya ada berita baik."Ada apa, Bu?" tanya Nuri yang sudah duduk di samping Bu Yayu."Saya kenal sama salah seorang lelaki yang bekerja di dapur restoran di mal. Yang makan di restoran'kan suka gak habis tuh, kalau makan, nah sama mereka ditawarin, mau gak? Ada yang masih belum dimakan, ada yang cuma makan setengah. Padahal masih ada daging atau ayam. Lumayan banget kan, kamu mau gak? Nanti setiap malam jam sembilan kita ambil, lalu kita panaskan, lumayan untuk makan besoknya, gimana?" Nuri nampak berpikir keras. Sebenarnya ia tidak tega memberikan anaknya makanan sisa, tetapi kehidupan lagi sangat sulit, sehingga ia harus menahan ego dan gengsi demi kebaikan anak-anaknya."Kamu mau
Nuri bersama kedua buah hatinya menyusuri trotoar jalan untuk mencari botol minuman bekas. Pakaian Kumal dengan jari jemari yang begitu hitam. Wajah pun menghitam tak terurus.Tak terlihat wajah lelahnya karena buah hatinya selalu bersamanya. Sebuah topi dan juga masker ia pakai agar matahari tak semakin membakar kulitnya. Tarung dan Thoriq juga memakai topi, tetapi tidak memakai masker."Pegangan, Ibu," seru Nuri saat mereka sudah berdiri di zebra cross dan bersiap untuk menyeberang. Karung besar berwarna putih pucat sudah ada di ikat di pundak hingga pinggang, sehingga ia tidak perlu terus memegangi karung berisi barang bekas itu."Temana, Bu?" tanya Tarung saat mereka masuk ke dalam perumahan sangat besar dan juga ramai kendaraan. Di sana tertulis Pondok Indah."Cari botol minuman," jawab Nuri sambil menyeringai."Kalau capek, kita istirahat di bawah pohon itu yuk!" Kedua anaknya pun mengangguk senang. Thoriq berlar
Hua ... Hua ...Suara tangis Tarung dan Thoriq pecah saat melihat ibu mereka jatuh terkulai di tanah."Ibu, bangun! Tolong, tolong!" teriak dua anak kembar itu dengan suara nyaring. Seorang lelaki yang keluar dari samping rumah besar itu berlari menghampiri dan kaget melihat Nuri pingsan."Udah, jangan nangis ya. Cup, cup, ... Ibunya biar Pakde tolong, tapi nangisnya berhenti dulu." Tarung dan Thoriq seketika diam dan ikut berjalan mengekori lelaki yang menyebut dirinya Pakde masuk ke dalam rumah besar itu."Bang, itu ikan!" kata Thoriq pada Tarung. Keduanya lupa akan ibunya, lalu seru melihat ikan yang tengah berenang di kolam hias."Dasar anak-anak!" lelaki itu tertawa kecil memperhatikan dua anak pemulung yang tadi menangis, kini sudah asik melihat ikan."Bik, cepat kemari! Bawa minyak kayu putih!" seru lelaki itu dari teras samping. Seorang perempuan setengah baya keluar dengan membawa minyak kayu putih yang dimin
Kedua kaki Nuri kembali gemetar saat Pak Tomo membuka pintu gerbang rumah. Sebuah mobil masuk dan parkir di dekat kolam ikan. Nuri baru sadar, Tarung sedang berdiri di sana, memperhatikan ikan-ikan yang berenang. Anak sulungnya itu sama sekali tidak menyadari sebuah mobil baru saja berhenti di dekatnya.Jika ia menyusul Tarung, bisa saja Tangguh mengenalinya dan itu tidak bisa ia lakukan."Thoriq, ajak Abang Tarung ke sini, di sana ada mobil, nanti mobil Om dan Tante di sana bisa lecet. Ayo, ajak Bang Tarung ke sini," bisik Nuri pada Thoriq. Si bungsu pun mengangguk, lalu berlari kecil menghampiri Tarung.Tangguh keluar dari mobil, begitu juga Dian. Wanita itu melupakan laptop yang sangat penting untuk mengurus skripsinya yang tinggal sedikit lagi selesai. Dian berlari masuk ke dalam rumah tanpa menyadari sedang banyak orang di pekarangan rumahnya."Eh, tunggu! Kalian kembar ya?" tegur Tangguh saat menyadari dua anak lelaki yang be
Aroma obat-obatan dan disinfektan sangat menusuk indera penciuman Tangguh. Namun lelaki itu masih setia menunggu wanita yang sudah sangat lama ia cari yang kini masih di bawah pengaruh obat tidur.Di brangkar sampingnya lagi ada Tarung yang juga sama diinfus oleh dokter, karena dehidrasi dan lambung. Sungguh sangat tercabik-cabik hatinya mendengar penuturan dokter tentang keadaan lambung Tarung. Apa yang terjadi pada Linda? Kenapa semua kemalangan ini ia tanggung sendiri?Apakah dua anak kembar ini adalah anak-anaknya? Jika iya, betapa berdosanya ia telah tidak tahu dan tidak benar-benar mencari mereka."Thoriq tinggal di mana?" tanya Tangguh dengan suara bergetar."Di Kampung Dusun, Om," jawab Thoriq santun sambil menarik air hidungnya. Tangguh mengeluarkan sapu tangan untuk membersihkan hidung anak kecil itu. Tidak ada rasa jijik sama sekali, yang ada rasa iba yang tidak berkesudahan.Kuku kaki yang menghitam, kulit tubuh