Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan.
Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan.Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther terlambat satu detik saja tadi.
"Langsung masuk!" titah Luther tidak ingin dibantah."Kamu nggak mau mampir dulu? Minum?" tawar Yonna mencoba membujuk pacarnya."Lain kali aja. Masuk!"Dengan sekali anggukan, Yonna meninggalkan Luther. Dari belakang pintu, ia mendengar suara motor Luther mulai menjauh dari rumahnya. Masih berdiri di belakang pintu, Yonna menghirup udara sedalam mungkin. "Nggak papa, keputusanku nggak salah. Pun, kami selamat, 'kan?" monolog Yonna.Baru melangkah, bel rumah berbunyi. Ketika Yonna membuka pintu, seseorang tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan. Tidak dapat dipungkiri, pelukan itu terasa teduh."Lu-""Tolong, jangan bertindak seperti tadi lagi. Aku hampir tidak bisa mengendalikan kekhawatiran ku, Yonna.""Clove," panggil Yonna."Aku tahu, kamu mau menyelamatkan satu temanmu. Ikatan pertemanan yang kamu ciptakan terlalu erat, tapi bukan berarti kamu harus bertindak gegabah. Petunia orang baru, oke, kamu nggak akan peduli dia orang baru atau tidak. Tapi, tolong, setelah ini jangan mengambil keputusan semendadak itu. Okay?""I-iya, maaf sudah bikin kalian semua khawatir." Yonna melepas pelukan terlebih dahulu."Jangan diulangi lagi, janji?" pinta Clovis sambil memajukan jari kelingkingnya."Janji," balas Yonna tak yakin, tetapi ia tetap mengaitkan jari kelingkingnya guna mengikat janji."Maaf untuk pelukan itu, aku hanya terlalu takut. Aku bisa saja menerima dengan lapang ketika tidak bisa menjadikanmu milikku, tetapi aku tidak akan pernah bisa menerima jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, apalagi sampai harus kehilanganmu."Yonna mengangguk kaku."Okay, aku pulang dulu. Kamu nanti langsung mandi, jangan lupa makan," peringat Clovis."Iya, hati-hati di jalan."Yonna menunggu Clovis menghilang dari pandangan barulah ia menutup pintu. Dari belakang, bibi yang baru menyadari kedatangannya langsung menyapa."Nona? Maaf, Bibi tadi sibuk di dapur, jadi nggak sadar ternyata Nona sudah pulang.""Eh? Nggak papa, Bi. Aku juga baru sampai, kok.""Nona nggak kenapa-napa, 'kan? Bibi sudah dengar berita di pasar malam.""Iya, Bi, nggak papa. Aku naik ke atas dulu, lengket banget. Kejadian di pasar tadi bikin banjir keringat ketakutan," adu Yonna sambil sedikit tertawa.
"Mau Bibi bawakan air panas?""Nggak usah, Bi.""Baik, Non. Bibi siapkan meja makan dulu kalau begitu.""Kita makan sama-sama, ya, Bi?""Siap, Non." Senyum manis Yonna berubah pahit sesaat setelah memasuki kamarnya. Meski tahu anaknya baru saja melewati keadaan yang berbahaya, kedua orang tuanya tidak juga memilih untuk pulang lebih cepat.Walaupun sang Mama sudah mendapat kabar anaknya baik-baik saja, tidak ada salahnya pulang lebih awal, setidaknya menenangkan pikiran Yonna. Bagaimanapun, apa yang Yonna alami, pasti memengaruhi kondisi psikisnya.
Bahkan, sampai sekarang saja, kedua telapak tangan Yonna masih bergetar dan dingin.
Sembari berendam di dalam bathtub, kejadian Clovis yang tiba-tiba datang dan memeluknya mengambil alih pikiran. Otaknya secara tidak sengaja membuka kembali ingatan di mana kembaran Dovis itu pernah menjalin hubungan dekat dengannya, tetapi tidak sampai ke arah pacaran. Yonna pun, sebenarnya tidak memiliki perasaan lebih kepada Clovis, hanya rasa sayang selayaknya sahabat.
Dan hal tersebut disadari oleh Clovis, bertambah dengan Luther yang mulai menunjukkan ketertarikan kepada Yonna, dan gadis itu juga menampilkan raut yang sama. Membuat Clovis memilih untuk memendam rasanya begitu saja, membiarkan dua orang yang dengan jelas memiliki perasaan serupa, saling membalas, menyatu dalam hubungan.
Yonna sempat merasa tidak enak karena menerima cinta Luther, mengingat sebelumnya Clovis adalah orang yang selalu berada di sisinya, menjaganya dengan baik, menenangkan hatinya ketika ia merasa sedih dengan hubungan orang tuanya yang mulai terasa aneh.
Tetapi tetap saja, urusan hati tidak bisa dipaksakan. Yonna juga yakin, jika ia bertanya, Clovis akan meminta agar Yonna menerima uluran tangan Luther.
Sejak saat itu, Clovis mulai menjaga jarak, berbicara sewajarnya. Membiarkan kebiasaannya dahulu, diambil alih oleh sahabatnya, Luther. Pun, Clovis percaya bahwa Luther adalah lelaki yang baik.
Buktinya hingga saat ini, Yonna selalu merasa aman di sekitar Luther. Dia tahu batasan, dan tidak bertindak kotor, meskipun terkadang Luther bisa saja menjadi sangat menyebalkan. Terutama saat ada lelaki lain yang menggoda Yonna, atau ketika Yonna memuji pria lain.
Usai mandi, Yonna membuka ponselnya. Tidak ada satu pun pesan dari Luther, dengan pasrah ia meletakkan kembali ponsel ke atas nakas. Memintal rambutnya, lalu berjalan lemah menuju meja makan.
"Aduh!" Yonna memekik kesakitan.
"Astaga," keluhnya kemudian.
Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10. Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan. "Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan. "Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa
Di atas motor, Luther merasa risih. Terutama saat merasakan tangan Petunia menggenggam kedua sisi pinggang seragamnya, sangat erat. Seakan, bergeser sedikit saja, ia bisa terlempar ke tengah jalan. Sekitar sepuluh menit melaju, akhirnya Luther menghentikan motor saat Petunia menepuk-nepuk pundaknya. "Ke-kelewatan, Luther. Ru-rumah saya ya-yang gerbang e-emas," ujar Petunia masih duduk di jok belakang. Dengan malas, Luther melirik ke belakang, jarak rumah yang dimaksud Petunia terlewat dua rumah saja. "Cuma kelewatan dua rumah aja, kali. Jalan kaki kan, bisa," ucap Luther bernada ketus. "Sini helmnya, aku nggak mau biarin pacarku menunggu lama." Mendengar nada tak bersahabat Luther, Petunia pun turun dari motor. Setelah menerima helm tersebut, Luther langsung memacu motornya secepat mungkin. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya menunggu untuk
"Dasar curang, pakai senjata. Dikeluarkan, kan, dari geng! Huu!" kesal Yonna saat laki-laki yang menusuk Gun baru saja dikeluarkan dari gengnya, ditinggalkan oleh ketua. Meski geng itu adalah musuh dari Geng SP*RM—geng Gun dan kawannya—tetapi Yonna senang karena penusuk itu tidak mendapat dukungan dari mana pun. "Kalau aku jadi Song, sudah kutusuk-tusuk itu dada si pecundang. Selalu aja pakai senjata." "Beruntung Song masih ingat pesan Gun, kalau laki-laki berkelahi sampai ada yang menang bukan membunuh." "Oh, iya! Ngomong-ngomong soal membunuh, pas pulang dari toko roti, kau sempat nggak lihat ada yang saling bacok?" tanya Malilah mengingat pembicaraan Ayahnya di telepon. Yonna mendesah berat, "Nggak lihat aksinya, cuman sisanya. Asli, Lil, sampai muntah aku lihatnya." "Aku juga sempat mual waktu lihat postingan di media sosial,
Luther mengobrak-abrik isi tas pinggangnya, mengambil obat pereda pusing yang selalu dia bawa. Menyerahkan satu butir obat ke Yonna, lalu dibiarkannya gadis itu meneguk bersama air mineral yang tersedia di meja. Luther selalu berusaha menjadi pacar yang baik juga siaga, jangan terkejut bila suatu saat nanti akan ada adegan di mana Luther mengeluarkan pembalut wanita dari dalam tasnya. Bahkan Luther juga menyiapkan obat pereda nyeri haid, apabila dia mendapati Yonna kesakitan karena haid saat berada di luar. Karena jika Yonna merasakan nyeri ketika di rumah, Luther lebih menyarankan untuk mengompresnya dengan air hangat, dan banyak meminum air putih. "Aku nggak bisa meminta kamu buat berhenti memikirkan masalah ini, bagaimanapun semua itu berada di sekeliling mu. Aku juga nggak bisa bantu menyelesaikan, karena ini terjadi di dalam keluarga kalian. Aku orang luar, yang beruntung menjadi pacar kamu, hanya bisa membantu menenangkan. Se
Helaan napas lolos dari bibir kecil Yonna. "Luther," panggil Yonna dengan suara kecil. "Iya?" Luther memindahkan segala atensinya kepada Yonna. "Kapan masalah Mama sama Ayah selesai?" Mengerti arah pembahasan tersebut, Luther menggeser tubuhnya agar semakin dekat dengan pacarnya. "Aku nggak yakin kapan, yang pasti secepatnya. Tante sama Om juga nggak pernah mau menyentuh keadaan ini, 'kan?" "Secepatnya, ya? Kapan itu secepatnya? Enam bulan lagi? Satu tahun? Atau sampai hubungan mereka benar-benar berakhir?" "Sstt... Jangan ngomong kaya gitu, doakan aja semoga cepat ditemukan jalannya." "Aku capek, Luther. Aku kangen ngobrol bareng mereka, nonton tv ramai-ramai, kursi meja makan lengkap terisi, liburan bersama. Aku kangen semua itu, Luther. Suasana sekarang jauh lebih sesak. Iya, Mama masih peduli, Ayah kadang nanya kab
Semua murid di kelas Yonna sedang sibuk dengan urusan bersama lingkaran pertemanan mereka masing-masing, guru yang seharusnya mengajar tidak dapat hadir. Akia yang rajin dan berbakat, sedang membuat sketsa dalam buku miliknya, Malilah terlelap di sebelahnya dan Yonna bersenandung sembari menuliskan lirik-lirik dari lagu yang ia nyanyikan. "I-itu lagu dari You-youtub-tuber, 'kan? Na-namanya Bee, ya?" Pertanyaan Petunia membuat Yonna berhenti bersenandung. "Kau tahu Bee juga?" tanya Yonna kaget. "Te-tentu! Sa-saya pengge-penggemarnya!" balas Petunia ceria. "Wah! Kita sama, nih! Tapi kenapa Bee sudah nggak pernah membagikan video terbaru, bahkan dia nggak pernah aktif di akun pribadinya. Aku kangen banget tahu, kalau mengerjakan tugas sekolah, aku selalu memutar video cover-nya." "Sa-saya juga rin-ndu. Apa-kah benar go-gosip yang sempat bere-be
Malilah bersorak gembira, pasalnya sudah dua hari ini mereka tidak perlu melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Acara amal Sumbang Olahraga akan dilanjutkan hari ini, dan semua pihak sekolah yang bersangkutan tentu datang ke sekolah mereka. Acara utama pun, sedang dimulai. Seluruh pendukung dari regu masing-masing sibuk memberi teriakan semangat. Tidak terkecuali bagi para siswi yang pasangannya tengah bertanding di bidang olahraga futsal sekarang. "Ayo! Luther!! Kalahkan mereka! Semangat!" sorakan Malilah yang paling heboh. Bahkan Yonna yang notabene pacar Luther tidak seheboh itu. Tetapi Yonna tidak juga mempermasalahkan, setidaknya Yonna tak perlu mengeluarkan suara sekeras itu juga untuk dapat didengar Luther. "Woahh!! Gol!! Hahah!" "Gol!!" "Yeah!!" "Mampus!"