Share

Bagian : 9

Mengendalikan setang motor, gas ditarik kuat, membawa pengendaranya menjauh dari lokasi semula. Memacu kendaraan secepat mungkin, meninggalkan kejadian yang mengait habis ketenangan. 

Di belakang Luther, Yonna melakukan panggilan suara ke Yulissa—mamanya, melaporkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Ternyata berita menyebar dengan cepat, Mama Yonna yang mengetahui ke mana anaknya itu pergi, melakukan banyak sekali panggilan suara yang tentu saja tidak mendapat respons dari Yonna. Setelah menyimpan ponsel ke dalam tas, ia kembali memeluk tubuh Luther, erat. 

Yonna masih bisa merasakan amarah yang meredam di dalam tubuh Luther. Tentu saja pemuda itu khawatir dengan kondisi kekasihnya. Beruntung setelah menelepon pihak kepolisian, Luther menemukan senjata api di pos pengamanan.

Meski Luther sempat kesulitan menemukan keberadaan Yonna, dia beruntung berhasil muncul di waktu yang tepat. Sangat tidak bisa dibayangkan bagaimana jika Luther terlambat satu detik saja tadi.

"Langsung masuk!" titah Luther tidak ingin dibantah.

"Kamu nggak mau mampir dulu? Minum?" tawar Yonna mencoba membujuk pacarnya.

"Lain kali aja. Masuk!"

Dengan sekali anggukan, Yonna meninggalkan Luther. Dari belakang pintu, ia mendengar suara motor Luther mulai menjauh dari rumahnya. Masih berdiri di belakang pintu, Yonna menghirup udara sedalam mungkin. 

"Nggak papa, keputusanku nggak salah. Pun, kami selamat, 'kan?" monolog Yonna.

Baru melangkah, bel rumah berbunyi. Ketika Yonna membuka pintu, seseorang tiba-tiba menariknya ke dalam pelukan. Tidak dapat dipungkiri, pelukan itu terasa teduh.

"Lu-"

"Tolong, jangan bertindak seperti tadi lagi. Aku hampir tidak bisa mengendalikan kekhawatiran ku, Yonna."

"Clove," panggil Yonna.

"Aku tahu, kamu mau menyelamatkan satu temanmu. Ikatan pertemanan yang kamu ciptakan terlalu erat, tapi bukan berarti kamu harus bertindak gegabah. Petunia orang baru, oke, kamu nggak akan peduli dia orang baru atau tidak. Tapi, tolong, setelah ini jangan mengambil keputusan semendadak itu. Okay?"

"I-iya, maaf sudah bikin kalian semua khawatir." Yonna melepas pelukan terlebih dahulu.

"Jangan diulangi lagi, janji?" pinta Clovis sambil memajukan jari kelingkingnya.

"Janji," balas Yonna tak yakin, tetapi ia tetap mengaitkan jari kelingkingnya guna mengikat janji.

"Maaf untuk pelukan itu, aku hanya terlalu takut. Aku bisa saja menerima dengan lapang ketika tidak bisa menjadikanmu milikku, tetapi aku tidak akan pernah bisa menerima jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, apalagi sampai harus kehilanganmu."

Yonna mengangguk kaku.

"Okay, aku pulang dulu. Kamu nanti langsung mandi, jangan lupa makan," peringat Clovis.

"Iya, hati-hati di jalan."

Yonna menunggu Clovis menghilang dari pandangan barulah ia menutup pintu. Dari belakang, bibi yang baru menyadari kedatangannya langsung menyapa.

"Nona? Maaf, Bibi tadi sibuk di dapur, jadi nggak sadar ternyata Nona sudah pulang."

"Eh? Nggak papa, Bi. Aku juga baru sampai, kok."

"Nona nggak kenapa-napa, 'kan? Bibi sudah dengar berita di pasar malam."

"Iya, Bi, nggak papa. Aku naik ke atas dulu, lengket banget. Kejadian di pasar tadi bikin banjir keringat ketakutan," adu Yonna sambil sedikit tertawa.

"Mau Bibi bawakan air panas?"

"Nggak usah, Bi."

"Baik, Non. Bibi siapkan meja makan dulu kalau begitu."

"Kita makan sama-sama, ya, Bi?"

"Siap, Non." 

Senyum manis Yonna berubah pahit sesaat setelah memasuki kamarnya. Meski tahu anaknya baru saja melewati keadaan yang berbahaya, kedua orang tuanya tidak juga memilih untuk pulang lebih cepat.

Walaupun sang Mama sudah mendapat kabar anaknya baik-baik saja, tidak ada salahnya pulang lebih awal, setidaknya menenangkan pikiran Yonna. Bagaimanapun, apa yang Yonna alami, pasti memengaruhi kondisi psikisnya.

Bahkan, sampai sekarang saja, kedua telapak tangan Yonna masih bergetar dan dingin. 

Sembari berendam di dalam bathtub, kejadian Clovis yang tiba-tiba datang dan memeluknya mengambil alih pikiran. Otaknya secara tidak sengaja membuka kembali ingatan di mana kembaran Dovis itu pernah menjalin hubungan dekat dengannya, tetapi tidak sampai ke arah pacaran. Yonna pun, sebenarnya tidak memiliki perasaan lebih kepada Clovis, hanya rasa sayang selayaknya sahabat. 

Dan hal tersebut disadari oleh Clovis, bertambah dengan Luther yang mulai menunjukkan ketertarikan kepada Yonna, dan gadis itu juga menampilkan raut yang sama. Membuat Clovis memilih untuk memendam rasanya begitu saja, membiarkan dua orang yang dengan jelas memiliki perasaan serupa, saling membalas, menyatu dalam hubungan.

Yonna sempat merasa tidak enak karena menerima cinta Luther, mengingat sebelumnya Clovis adalah orang yang selalu berada di sisinya, menjaganya dengan baik, menenangkan hatinya ketika ia merasa sedih dengan hubungan orang tuanya yang mulai terasa aneh.

Tetapi tetap saja, urusan hati tidak bisa dipaksakan. Yonna juga yakin, jika ia bertanya, Clovis akan meminta agar Yonna menerima uluran tangan Luther. 

Sejak saat itu, Clovis mulai menjaga jarak, berbicara sewajarnya. Membiarkan kebiasaannya dahulu, diambil alih oleh sahabatnya, Luther. Pun, Clovis percaya bahwa Luther adalah lelaki yang baik. 

Buktinya hingga saat ini, Yonna selalu merasa aman di sekitar Luther. Dia tahu batasan, dan tidak bertindak kotor, meskipun terkadang Luther bisa saja menjadi sangat menyebalkan. Terutama saat ada lelaki lain yang menggoda Yonna, atau ketika Yonna memuji pria lain. 

Usai mandi, Yonna membuka ponselnya. Tidak ada satu pun pesan dari Luther, dengan pasrah ia meletakkan kembali ponsel ke atas nakas. Memintal rambutnya, lalu berjalan lemah menuju meja makan. 

"Aduh!" Yonna memekik kesakitan.

"Astaga," keluhnya kemudian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status