Seisi penghuni sekolah menjadi sangat heboh mengenai kabar penyerangan wanita berkapak yang tiba-tiba muncul di pasar malam. Tak ayal, kepala sekolah meminta seluruh murid berkumpul di aula sekolah sembari membagikan bunga lily untuk menyampaikan duka kepada siswa dan siswi yang menjadi korban penyerangan tadi malam. Tidak sedikit yang menjadi korban, terhitung dua dari murid kelas 12 dan empat dari kelas 10.
Pagi tadi, kepala sekolah langsung mendapat konfirmasi dari kepolisian sekitar mengenai muridnya yang turut menjadi korban penyerangan. Untuk menghormati setiap hal yang telah diberikan oleh korban untuk sekolah ini, juga sebagai bentuk kekeluargaan, mereka memberikan salam perpisahan dan doa-doa agar mencapai ketenangan. Tangis pun tak bisa dihindarkan.
"Kalau aja Luther terlambat, aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi sama kalian berdua." Malilah menatap sendu sepatu yang ia kenakan.
"Demi
"Mas! Kenapa setiap aku ngomong kamu nggak pernah turutin?!" tanya Yulissa meninggikan suaranya. "Arghh! Kamu bisa tidak, sekali saja berhenti membicarakan ini? Saya capek. Baru sekarang saya bisa pulang awal, bukannya nawarin minum atau makan, malah teriak-teriak tidak jelas." "Alasan kamu, Mas! Palingan juga kamu habis senang-senang, kan? Giliran perayu itu minta ini, mobil, rumah, ATM, langsung kamu kasih. Sedangkan ketika aku minta pengertian kamu sedikit saja, nggak pernah kamu lakuin, Mas!" "Lissa! Jaga bicara kamu! Pengertian apa yang kamu mau?! Dari dulu sampai sekarang, pengertian, pengertian terus yang kamu minta. Kurang pengertian apa saya? Hah?!" "Mas! Kalau selama ini Mas pengertian seperti yang kamu bilang, kenapa masih berhubungan sama perayu itu? Tinggalin dia sekarang! Aku nggak mau tahu! Kita semua tahu tindakan kamu itu salah, Mas!" "Oh? Jadi sa
Di atas motor, Luther merasa risih. Terutama saat merasakan tangan Petunia menggenggam kedua sisi pinggang seragamnya, sangat erat. Seakan, bergeser sedikit saja, ia bisa terlempar ke tengah jalan. Sekitar sepuluh menit melaju, akhirnya Luther menghentikan motor saat Petunia menepuk-nepuk pundaknya. "Ke-kelewatan, Luther. Ru-rumah saya ya-yang gerbang e-emas," ujar Petunia masih duduk di jok belakang. Dengan malas, Luther melirik ke belakang, jarak rumah yang dimaksud Petunia terlewat dua rumah saja. "Cuma kelewatan dua rumah aja, kali. Jalan kaki kan, bisa," ucap Luther bernada ketus. "Sini helmnya, aku nggak mau biarin pacarku menunggu lama." Mendengar nada tak bersahabat Luther, Petunia pun turun dari motor. Setelah menerima helm tersebut, Luther langsung memacu motornya secepat mungkin. Bagaimana mungkin dia membiarkan pacarnya menunggu untuk
"Dasar curang, pakai senjata. Dikeluarkan, kan, dari geng! Huu!" kesal Yonna saat laki-laki yang menusuk Gun baru saja dikeluarkan dari gengnya, ditinggalkan oleh ketua. Meski geng itu adalah musuh dari Geng SP*RM—geng Gun dan kawannya—tetapi Yonna senang karena penusuk itu tidak mendapat dukungan dari mana pun. "Kalau aku jadi Song, sudah kutusuk-tusuk itu dada si pecundang. Selalu aja pakai senjata." "Beruntung Song masih ingat pesan Gun, kalau laki-laki berkelahi sampai ada yang menang bukan membunuh." "Oh, iya! Ngomong-ngomong soal membunuh, pas pulang dari toko roti, kau sempat nggak lihat ada yang saling bacok?" tanya Malilah mengingat pembicaraan Ayahnya di telepon. Yonna mendesah berat, "Nggak lihat aksinya, cuman sisanya. Asli, Lil, sampai muntah aku lihatnya." "Aku juga sempat mual waktu lihat postingan di media sosial,
Luther mengobrak-abrik isi tas pinggangnya, mengambil obat pereda pusing yang selalu dia bawa. Menyerahkan satu butir obat ke Yonna, lalu dibiarkannya gadis itu meneguk bersama air mineral yang tersedia di meja. Luther selalu berusaha menjadi pacar yang baik juga siaga, jangan terkejut bila suatu saat nanti akan ada adegan di mana Luther mengeluarkan pembalut wanita dari dalam tasnya. Bahkan Luther juga menyiapkan obat pereda nyeri haid, apabila dia mendapati Yonna kesakitan karena haid saat berada di luar. Karena jika Yonna merasakan nyeri ketika di rumah, Luther lebih menyarankan untuk mengompresnya dengan air hangat, dan banyak meminum air putih. "Aku nggak bisa meminta kamu buat berhenti memikirkan masalah ini, bagaimanapun semua itu berada di sekeliling mu. Aku juga nggak bisa bantu menyelesaikan, karena ini terjadi di dalam keluarga kalian. Aku orang luar, yang beruntung menjadi pacar kamu, hanya bisa membantu menenangkan. Se
Helaan napas lolos dari bibir kecil Yonna. "Luther," panggil Yonna dengan suara kecil. "Iya?" Luther memindahkan segala atensinya kepada Yonna. "Kapan masalah Mama sama Ayah selesai?" Mengerti arah pembahasan tersebut, Luther menggeser tubuhnya agar semakin dekat dengan pacarnya. "Aku nggak yakin kapan, yang pasti secepatnya. Tante sama Om juga nggak pernah mau menyentuh keadaan ini, 'kan?" "Secepatnya, ya? Kapan itu secepatnya? Enam bulan lagi? Satu tahun? Atau sampai hubungan mereka benar-benar berakhir?" "Sstt... Jangan ngomong kaya gitu, doakan aja semoga cepat ditemukan jalannya." "Aku capek, Luther. Aku kangen ngobrol bareng mereka, nonton tv ramai-ramai, kursi meja makan lengkap terisi, liburan bersama. Aku kangen semua itu, Luther. Suasana sekarang jauh lebih sesak. Iya, Mama masih peduli, Ayah kadang nanya kab
Semua murid di kelas Yonna sedang sibuk dengan urusan bersama lingkaran pertemanan mereka masing-masing, guru yang seharusnya mengajar tidak dapat hadir. Akia yang rajin dan berbakat, sedang membuat sketsa dalam buku miliknya, Malilah terlelap di sebelahnya dan Yonna bersenandung sembari menuliskan lirik-lirik dari lagu yang ia nyanyikan. "I-itu lagu dari You-youtub-tuber, 'kan? Na-namanya Bee, ya?" Pertanyaan Petunia membuat Yonna berhenti bersenandung. "Kau tahu Bee juga?" tanya Yonna kaget. "Te-tentu! Sa-saya pengge-penggemarnya!" balas Petunia ceria. "Wah! Kita sama, nih! Tapi kenapa Bee sudah nggak pernah membagikan video terbaru, bahkan dia nggak pernah aktif di akun pribadinya. Aku kangen banget tahu, kalau mengerjakan tugas sekolah, aku selalu memutar video cover-nya." "Sa-saya juga rin-ndu. Apa-kah benar go-gosip yang sempat bere-be
Malilah bersorak gembira, pasalnya sudah dua hari ini mereka tidak perlu melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Acara amal Sumbang Olahraga akan dilanjutkan hari ini, dan semua pihak sekolah yang bersangkutan tentu datang ke sekolah mereka. Acara utama pun, sedang dimulai. Seluruh pendukung dari regu masing-masing sibuk memberi teriakan semangat. Tidak terkecuali bagi para siswi yang pasangannya tengah bertanding di bidang olahraga futsal sekarang. "Ayo! Luther!! Kalahkan mereka! Semangat!" sorakan Malilah yang paling heboh. Bahkan Yonna yang notabene pacar Luther tidak seheboh itu. Tetapi Yonna tidak juga mempermasalahkan, setidaknya Yonna tak perlu mengeluarkan suara sekeras itu juga untuk dapat didengar Luther. "Woahh!! Gol!! Hahah!" "Gol!!" "Yeah!!" "Mampus!"
"Yonna," tegur Akia mendapati Yonna duduk di luar pagar sekolah menahan tangis. "Aku nggak tahu kenapa aku lari, Ki. Aku percaya sama Luther, tapi kenapa rasanya sakit banget?!" curah Yonna tak sanggup menahan air matanya. "Wajar, kok. Itu reflek dari emosi kamu, saya juga pasti akan melakukan hal yang sama." "Aku nggak tahu harus bersikap bagaimana, Ki." "Yonna!" Luther berteriak ketika melihat keberadaan Yonna. Akia membantu Yonna berdiri, terlihat jelas Yonna masih ingin menjaga jarak dengan pacarnya. "Kamu jangan salah paham tentang apa pun yang kamu lihat, tadi." "Iya." "Yonna, tolong. Aku nggak mau kita jadi renggang karena salah paham yang konyol ini." "Kamu bilang ini konyol?" "Aku nggak terima kue itu." Luther meraih pergelangan tangan Yonna.