Rio memasuki kamar utama di rumah ini. Perlahan, dia membaringkan tubuh Monika di atas ranjang. Wanita itu kelelahan akibat perlakuan buas yang ia lakukan di dalam kamar ganti butik, satu jam yang lalu.
"Mmhh," Monika berbalik badan, melenguh tanpa sadar. Wajahnya terlihat begitu damai.
Sebuah kecupan mesra mendarat di kening Monika, "Nice dream, Sweety."
Hening.
Monika tak merespon sama sekali. Dia sudah nyaman berada di alam bawah sadarnya sejak masih ada di galeri sepatu tadi. Tubuhnya remuk redam, bahkan untuk berjalan saja rasanya sulit.
Rio tersenyum melihat istrinya yang sudah tertidur nyenyak. Setidaknya fisik wanita ini bisa istirahat total, mengumpulkan tenaganya agar bisa menemaninya ke bandara besok. Akan ada pertunjukkan besar yang mereka mainkan nantinya.
Jemari Rio menyingkirkan helai rambut yang menutupi sebagian wajah Monika, membawanya ke belakang telinga.
"Kamu cantik," puji pria ini dengan tulus. Senyum hang
WARNING!!! 21+ NOT FOR CHILD! BIJAKLAH DALAM MENYIKAPI SEBUAH BACAAN!! * * * Rio mengungkapkan rahasianya. Dia membenci seseorang menyentuh lehernya karena Clara pernah mencumbuinya dengan buas. "Aku ingin menghapus kenangan buruk itu untukmu." Monika berkata sambil memainkan jemarinya. Keduanya saling berpelukan di atas ranjang, dengan kepala monika bersandar pada dada bidang pria ini. "Bagaimana caranya?" Kening pria 31 tahun ini berkerut dalam, tidak tahu hal gila apa yang ada dalam pikiran istrinya. "Kamu hanya cukup diam saja. Turuti perkataanku." "HAH?" Rio semakin tidak mengerti dengan apa yang Monika bicarakan. Monika tersenyum dan segera duduk. "Sebelum itu, berjanjilah satu hal padaku." "Katakan saja." Rio ikut duduk, menghadap wanitanya dengan pandangan penuh cinta. "Jika aku berhasil menghilang
Suara tongkat yang menyapu bola golf terdengar di telinga membuat Monika membuka matanya. Samar-samar dia juga mendengar suara tapak sepatu di dekatnya, bergerak kesana kemari seperti tengah sibuk mempersiapkan sesuatu. "Selamat pagi, Nona." Wajah Maria tertangkap retina begitu Monika membuka matanya. "Pagi," jawabnya dengan suara serak, tenggorokannya terasa kering. Perlahan, dia bangun dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Sekilas Monika melihat ke luar, langit mulai terlihat cerah. Jam di atas nakas menunjukkan pukul lima pagi, masih ada waktu dua jam sebelum ia berangkat ke minimarket. "Ini untuk Anda." Maria menyodorkan segelas air putih hangat pada nonanya. "Terima kasih." Matanya menyapu pandang ke sekeliling. "Dimana orang itu?" Maria sedikit tersenyum saat Monika menyebut Rio sebagai 'orang itu'. "Tuan sedang bermain golf di halaman belakang." "Sepagi ini?" tanya Monika heran. Maria me
"Panggil aku 'Hubby' lagi!!" Rio merengek, meminta Monika memanggilnya dengan sebutan itu lagi. Padahal sudah tiga kali wanita ini mengulangnya. "APA KAMU BODOH?!" ketus Monika sebal, menyingkirkan tangan Rio yang meremas jemarinya dengan erat. Wanita dengan pakaian kasir minimarket ini mundur satu langkah ke belakang, sedikit menjauh dari sepotong daging bernyawa yang teronggok di depannya. "Ayolah, Sweety. Panggil lagi!!" Pria 31 tahun yang tiba-tiba bersikap kekanakan ini masih terus merajuk, membuat Monika memutar bola matanya karena merasa jengah. "Baiklah, aku akan memanggilmu itu jika kita sudah selesai sarapan. Waktuku tidak banyak. Aku harus segera pergi bekerja." Monika menuruti permintaan konyol suaminya nanti. "Panggil sekarang!" Rio masih bersikeras. "Astaga!!" Rio menatap Monika penuh harap, ingin segera mendengar panggilan sayang itu lagi dan lagi. "Honey bunny sweety, my lovely hubby. Ayo kita sarapan!" Monika b
"Berhenti di depan. Cukup sampai di sini saja," ucap Monika, meminta Maria menghentikan Audi R8 warna hitam yang dikendarainya."Tapi, Nona. Tempat kerja Anda masih dua ratus meter ke depan.""Tidak masalah. Aku bisa jalan kaki dari sini."Maria tidak yakin dengan perintah wanita di kursi belakang. Meski ia melambatkan laju mobil mewah ini, tapi nyatanya tak langsung berhenti begitu saja."Maria, tolong berhenti sekarang!"Maria sedikit terhenyak, mengmati wajah nonanya melalui kaca spion di hadapannya."Ah, maaf. Baik. Saya akan menghentikannya sekarang." Mau tak mau, wanita berpakaian serba hitam ini menginjak pedal rem dengan kakinya. Dia tidak bisa membantah perintah Monika lagi."Kamu bisa kembali." Monika membenahi penampilannya sejenak, sebelum bersiap membuka pintu di sisi kirinya."Tunggu, Nona." Maria sibuk mengambil sebuah paperbag yang sedari tadi teronggok di atas kursi depan yang kosong. Dia mendapatkan b
Monika berjalan gontai keluar dari minimarket tempatnya bekerja. Hatinya terasa sesak mengingat pemutusan hubungannya dengan Devan pagi ini. Jujur saja, wanita 26 tahun ini tidak rela melepaskan pria yang sudah membersamainya selama bertahun-tahun. Mereka tidak pernah bertengkar sekali pun. Lalu, tiba-tiba hubungan keduanya kandas begitu saja karena orang ketiga. Tentu saja Monika belum bisa merelakan hal itu. "Kenapa jadi seperti ini?" lirih Monika, berjongkok sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Dia menyibukkan diri dengan pekerjaannya di toko, bahkan mengabaikan waktu istirahat agar tidak teringat pada Devan. Tapi kenyataannya, sekarang dia ingat lagi saat pekerjaannya sudah selesai. "Nona. Apa Anda sakit?" Dari kejauhan, Maria tampak berjalan cepat menghampiri Monika. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada nona yang menjadi tanggung jawabnya ini. Hening. Monika tak menjawab. Remasan di kemejanya semakin erat, menandakan bahwa dia tidak bisa meng
Monika duduk di depan cermin besar yang tertanam di dinding. Sebuah kain melingkupi tubuh bagian atasnya, bersiap dirapikan potongan rambutnya. Sebuah anting berlian menghiasi sepasang indera pendengarannya. Mereka meninggalkan galeri perhiasan itu beberapa menit yang lalu dan sekarang ada di sebuah salon untuk memperbaiki penampilan wanita ini. "Potongan seperti yang Anda inginkan, Nona?" tanya seorang wanita yang bersiap menata rambut kuning kecoklatan di hadapannya. "Aku tidak ingin memotongnya, tolong rapikan saja ujung-ujungnya." Monika melirik Rio sekilas, sebelum menjawab pertanyaan wanita ini. Rio tak ikut berkomentar. Dia duduk memangku lutut, memperhatikan Monika yang berjarak tiga meter darinya. Rambutnya yang tergerai indah, menambah nilai kecantikannya sebagai seorang wanita. "Ini, Tuan." Leo mendekat, menyerahkan sebuah tablet di tangannya pada Rio. Disana terpampang laporan keuangan yang sebelumnya ia minta, tentunya dengan beberapa pen
"Apa dia begitu memanjakan Anda?" Seketika wajah cantik itu merah merona. Pergulatan panasnya dengan Rio kembali terbayang. Pria itu bukan hanya kuat di atas ranjang, bahkan bisa melakukannya dengan berdiri seperti yang terjadi di ruang ganti kemarin. "Ah, maaf atas ketidaksopanan saya." Wanita itu tampak merasa bersalah, telah bertanya sesuatu yang tidak sepantasnya. Monika tersenyum hambar, tidak tahu bagaimana cara menyikapi wanita ini yang sepertinya kelepasan bicara. "Tolong maafkan saya." "Tidak apa-apa. Lanjutkan saja pekerjaan Anda. Kami harus ada di bandara pukul lima sore nanti." "Baik-baik. Saya akan segera menyelesaikannya," ucapnya setelah mengamati jam dinding di atas cermin. Masih ada dua jam kedepan sebelum waktu yang pelanggannya ini ucapkan. Jadi cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Anda asli lahir di sini atau...?" Kalimat wanita ini menggantung, ragu-ragu dengan tebakannya. Dari wajah dan warna ram
Sebuah pesawat yang terbang dari Singapura baru saja mendarat. Beberapa petugas tampak sibuk, memberi bantuan bagi para penumpang first class mereka untuk mengambilkan barang bawaan yang tersimpan di atas kabin. Seorang petugas berjaga di depan pintu keluar, memberikan ucapan selamat tinggal pada penumpang yang mulai meninggalkan burung besi ini. "Silakan, Nona, Nyonya. Semoga selamat sampai tujuan Anda berikutnya." Wanita dengan pakaian serba biru itu menangkupkan tangan di depan dada, tersenyum ramah pada nyonya Liliana dan gadis yang bergandeng tangan dengannya. "Mommy, aku lapar." Clara merajuk, menggoyangkan lengan wanita paruh baya yang berjalan di sampingnya. Nyonya Liliana tersenyum. "Tunggu sebentar lagi. Kita akan makan bersama Rio." "Aah, iya. Aku hampir lupa." Clara mengambil ujung rambut ikal miliknya dan memilin benda itu sambil tersenyum. Berbagai bayangan indah tergambar di dalam kepalanya. Dia membayangkan Rio yang akan menyambutnya d