Hai, Lovely-Reader! Find me on IG : love_lovelybintang *** Visha adalah pelayan muda berusia 21 tahun dengan masa lalu yang kelam. Ia dijual dan dijadikan pelayan di sebuah keluarga kaya raya. Ia juga dicampakkan begitu saja, setelah ia merelakan mahkota kesuciannya dinikmati oleh tuan muda keluarga tempatnya bekerja. Bahkan ia juga mengandung anak dari tuan muda tersebut. Tapi, bukannya mendapatkan pertanggung jawaban, ia malah dipaksa untuk menggugurkan anak tersebut. Takdir yang dipikir Visha telah begitu jahat menghancurkan hidupnya, menuntun gadis itu bertemu dengan Javier—pria dingin yang selalu melindunginya dan mengungkapkan fakta penting. Lantas, siapa Javier yang selalu berada di sisinya dan menolongnya di saat yang tepat? Sementara itu terungkap sebuah kenyataan siapa Visha sebenarnya.
Lihat lebih banyak“Apa kau sudah gila, Raffael?! Cepat! Suruh pelayan itu menggugurkan kandungannya!” seru seorang pria paruh baya, dari dalam ruang kerjanya.
Bahkan Visha masih bisa mendengar jelas teriakan Tuan Gregory terhadap tuan muda mereka, padahal pintu ruangan itu tertutup rapat.
Gadis itu mencengkeram kerah seragam pelayan yang dikenakannya, mencoba menguatkan diri menghadapi kenyataan bahwa majikannya—Tuan Gregory dan Nyonya Febriella tidak merestui hubungannya dengan Raffael—sang putra tunggal.
“Tapi, Pah, itu anak Raffa! Kandungan Visha juga sudah akan memasuki bulan pertama,” balas suara lain yang sangat Visha kenal.
Itu adalah suara Raffael—pria yang menyatakan perasaan cinta padanya beberapa bulan lalu dan yang kini akan segera berubah status menjadi ayah bagi janin yang dikandung Visha.
Visha menepuk pelan dadanya. Mungkin hati gadis itu sedikit terobati, ketika mendengar Raffael berusaha mempertahankan buah hati mereka. Ia terus berdoa agar kegigihan Raffael bisa menyentuh hati kedua orangtuanya.
‘Aku tidak peduli dengan harta kekayaan, yang terpenting buatku, bisa bahagia bersama tuan muda Raffael dan bayi kami,” batin Visha yang sudah membayangkan dirinya bisa menikahi Raffael.
Tengah larut dalam impiannya, suara bentakan Tuan Gregory membuyarkan lamunan Visha.
“Tidak mau meninggalkan pelayan sial itu, hah?! Tidak ada warisan untukmu, Raffael! Pergi kamu, anak brengsek!”
Mendengar itu Visha pun langsung pergi, takut kalau kehadirannya diketahui keluarga sang majikan. Ia pun percaya pada Raffael kalau pria itu takkan tergoyahkan walau tidak mendapatkan warisan.
‘Tenang saja, aku bisa bekerja paruh waktu untuk menjaga keluarga kita, tuan muda Raffael,’ batin Visha dengan tekad membara.
Visha terlihat memasuki kamar sang tuan muda, karena mereka sepakat akan bertemu di kamar itu setelah Raffael memberitahu orangtuanya bahwa ia menghamili Visha dan berniat untuk bertanggung jawab atas perbuatannya itu.
Tak lama setelah Visha duduk di pinggir tempat tidur, pintu kamar tersebut dibuka. Seorang pria dengan perawakan yang tinggi dan bertubuh atletis, masuk dengan wajah datar.
“Tuan muda Raffael!” seru Visha yang langsung menghampiri pria itu.
Wajah datar Raffael langsung berubah menjadi raut bahagia ketika ia ingat kalau mereka memang berjanji akan bertemu di sini.
Ia pun tersenyum sambil mengusap lembut kepala Visha, lalu bertanya “Kau sudah di sini, Visha? Sudah makan? Kau sudah minum susu untuk kandunganmu?”
Hati Visha jelas membuncah dengan kebahagiaan, menerima perhatian bertubi-tubi yang dilontarkan Raffael. Ia mengangguk dengan senyuman lebar terulas di wajahnya sambil menjawab, “Aku sudah meminumnya sebelum ke sini.”
Tangan Visha melingkari tubuh Raffael, meminta pria itu memperhatikannya lebih lagi. Tapi sepertinya wajah Raffael tidak setuju dengan apa yang dilakukan Visha.
Visha menebak dalam hati, ‘Pasti keputusan untuk menolak warisan itu, membuatnya cukup kaget. Aku harus bisa menjadi tempat sandarannya.’
Gadis itu pun melepaskan tangannya pelan-pelan sambil melemparkan senyuman manisnya, yang menurut Raffael sangat cantik dan selalu membuatnya terpesona.
Visha bertanya—pura-pura tidak tahu, “Bagaimana hasil pembicaraannya? Apa ada yang ingin kau diskusikan denganku?”
Gadis itu berpikir mungkin saja Raffael ingin membicarakan soal tempat tinggal mereka atau bagaimana mencari pekerjaan nanti.
Tapi Raffael tersenyum singkat sambil mengajaknya ke tempat tidur. “Ya, tapi sebaiknya kita bicarakan besok. Aku lelah sekali, Sayang.”
Visha pun menurut dan masuk ke balik selimut itu.
Hari memang telah gelap dan ia sendiri sudah lelah dengan pekerjaannya hari ini. Dengan senyuman bahagia, Visha menutup matanya sambil berharap dalam hati, ‘Esok pasti lebih indah.’
Tak lama bagi Visha untuk terlelap di ranjang Raffael. Tapi tidak bagi si pemilik ranjang.
Dengan perlahan, Raffael beranjak dari sisi Visha dan berjalan menuju ke teras di luar kamarnya.
Febriella—ibunda Raffael, sudah memerintahkan anak laki-lakinya itu untuk menemuinya di teras, setelah Visha terlelap.
Karena pintu teras terbuka, angin dingin pun masuk membangunkan Visha yang baru saja terlelap. Ia mengerutkan dahinya sambil menggosok mata, mencoba mencari tahu kenapa ada angin di dalam kamar yang seharusnya tertutup itu.
Netranya menjelajah ruang kamar Raffael dan Visha mendapati kenyataan bahwa Raffael tidak ada di sampingnya. Tapi ia menemukan dari mana sumber angin itu berasal.
Ia mendengar suara percakapan dan menjadi penasaran karena tidak terlalu jelas terdengar. Perlahan, Visha turun dan mencoba mencuri dengar percakapan yang ternyata bersumber dari suara Raffael dengan seorang wanita yang ia yakini adalah majikan perempuannya.
“Mama yakin, obat itu akan langsung membunuh janin dalam kandungan Visha?”
Febriella menepuk tangan Raffael dari seberang teras kamar di sebelahnya sambil berkata, “Yakin, Raffa. Kau tak boleh kehilangan warisanmu. Oke?!”
Deg!
Seperti ada air es yang mengucuri tengkuknya, Visha bisa merasakan desir dingin yang menjalar menuju ke setiap ujung tubuhnya. Seolah rohnya sebagian meninggalkan tubuhnya, mendengar percakapan mereka.
Visha mendengar Febriella menambahkan, “Campurkan ke susu yang biasa perempuan itu minum.”
“Ya, Mam. Raffa paham.”
Menyadari bahwa percakapan itu akan segera selesai, Visha pun berlari kembali ke dalam selimutnya dan pura-pura tidur.
Degupan jantungnya masih terdengar di dalam telinganya, seperti genderang perang.
Matanya panas, mencoba menahan air mata yang sejak tadi tetap saja meleleh keluar dari kelopaknya.
‘Jangan sampai aku terisak!’ pintanya pada dirinya sendiri.
Dan segera, satu jam berlalu. Ia bisa mendengar dengkur halus Raffael yang menandakan dirinya sudah terlelap.
Dengan sangat hati-hati, Visha keluar dari selimutnya dan pergi kembali ke kamarnya. Dikemasinya semua barang-barang penting miliknya ke dalam sebuah tas selempang.
‘Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi.’ Seperti itulah batin Visha bergemuruh dengan ketakutan dan juga amarah.
Visha tidak mau berdosa dengan menggugurkan kandungannya. Ia teringat bagaimana dirinya juga adalah anak yang tak diinginkan, sampai pada tahap di mana Visha akhirnya di jual ke keluarga ini.
Tanpa menoleh ke belakang, Visha pun segera keluar dari kediaman Adinata melalui pintu belakang.
Hampir setengah jam lebih, Visha berjalan. Ia mulai tidak kuat untuk terus berlari sambil membawa tas besar di bahunya.
Ia memutuskan untuk beristirahat di trotoar dekat dengan sungai besar, berharap ia sudah cukup jauh dari kediaman Adinata.
Sambil menenggak minumannya, Visha berdoa, ‘Kuharap dia tidak menyadari kepergianku.’
Baru saja ia menutup botol minumannya, tiga orang pria dengan pakaian hitam-hitam menghampirinya dan langsung mencengkeram lengannya.
“Si—siapa kalian?!”
“Nona Visha. Kami diperintahkan untuk membawa Anda kembali ke kediaman Adinata!”
“Tidak! Tolong aku—umph!Hmm!Hmm!” Visha mencoba melepaskan diri dari cekalan tangan mereka tapi ia terlalu lemah.
Merasa hidupnya sudah akan berakhir, ia pun tak lagi melawan. Namun baru saja ia akan menyerah, tiba-tiba ada seseorang yang memukuli mereka hingga cengkeraman itu terlepas dan Visha bisa menjauh dari mereka.
Dengan cepat Visha bersembunyi di balik tempat sampah sambil mengamati perkelahian itu. Ia terkejut melihat betapa cepatnya pria itu menumbangkan ketiga orang tadi.
Setelah pria itu selesai dengan mereka, beberapa orang datang dan mengurus ketiga orang penyerang tadi, sementara sang penolongnya sudah berdiri di depan Visha sambil mengulurkan tangannya.
“Nona Visha, ayo kita pergi,” ajak pria itu.
Tapi netra Visha membulat terkejut. Ia semakin takut dengan keberadaan si penolong karena sejak tadi, ia tidak merasa kalau dirinya sudah menyebutkan nama.
Dengan bibir bergetar, Visha tergagap, “Tu—tuan siapa? Ba—bagaimana Tuan bisa tahu na—nama saya?”
10 tahun berlalu.Pemandangan gedung sekolah dasar yang ramai dengan hamburan murid pulang sekolah sudah menjadi kesenangan Dante sejak sang ibu—Navisha, menambah cabang Viensha Co. di negara lain.Tahun ini, putra pertama Visha tersebut sudah menginjak usia 18 tahun. Dan minggu ini, seorang gadis muda Italia yang berbeda dari minggu lalu, menempel lagi padanya.“Dante ... kapan kita pulang? Di sini panas sekali,” rengek gadis yang sudah mengekornya sejak dari gedung SMA.Dante menghela napas singkat. Netranya tak kuasa untuk tidak berputar lelah. “Aku sudah bilang akan menjemput adikku. Kau yang bersikeras untuk ikut Danny, jangan rewel.”“Kau pasti bohong! Kau—““Dante!” suara lantang yang memanggil Dante itu adalah milik seorang gadis kecil.Wajahnya mirip seperti Visha. Netranya yang biru pun persis seperti Dante dan ibu mereka.“Ammy!” seru Dante yang langsung meninggalkan teman perempuannya untuk menyambut kepulangan sang adik.Buk!Pukulan kecil dari sang adik pun mendarat di b
“Cantik sekali ....”Javier ternganga di depan kaca besar yang menampilkan puluhan tempat tidur bayi. Netranya terfokus pada satu kreatur mungil yang diletakkan paling dekat dengan kaca tersebut.Putrinya. Buah hatinya dengan Navisha.“Kau belum lihat matanya, Jav. Biru langit sepertiku!” seru Ernesto dengan nada bangga.Javier mendengkus geli. Tentu saja. Matanya pasti seperti sang ibu. Keturunan dari Luca yang matanya juga berwarna biru.Tiba-tiba wajah Javier mengkerut kesal. Ia berpaling pada Ernesto dan bertanya, “Kau sudah menggendongnya?!”Nada cemburu terselip di setiap kalimat tanya yang dilontarkan Javier barusan. Ernesto pun tergelak.“Cemburu?! Aku bahkan sudah melihatnya mandi!” ledek Ernesto dengan wajah tenang, sementara Javier terlihat kesal, merasa kalah.“Bohong lah!” seru Ernesto tiba-tiba. “Aku tadi diseret Papa ke sana ke mari. Mencari baju untuk cucu perempuannya. Belum lagi sepatu bulu-bulu dan banyak lagi.”Mendengar pengakuan Ernesto, Javier pun terkekeh. “Ter
“Jav ... duduklah dulu. Kau membuatku ikut panik.” Luca menggeleng singkat sambil menghela napas pendek.“Ah! Sorry, Yah.”Javier kemudian duduk di samping Luca, tetapi tubuhnya tak berhenti bergerak. Kadang ia akan membungkuk, kadang bersandar. Bahkan pria muda itu tak berhenti menggerakkan kakiknya, seperti orang sedang menjahit pakaian dengan mesin manual.Ekor mata Luca menangkap gerakan berulang tersebut dan kembali menegur mantunya itu, “Jav.”“Ugh! Aku tak bisa tenang. Aku ingin masuk ke dalam sana, Yah. Aku khawatir apa kami terlambat. Air ketubannya keluar sangat banyak tadi. Kuharap tidak akan ada yang terjadi pada Visha.”Mereka tengah was-was menunggu proses c-section yang harus dilewati Visha. Kondisi bayinya tidak berada di jalur lahir, sementara air ketuban sudah pecah. Kalau dibiarkan terlalu lama, kemungkinan terburuk bisa menyapa sang jabang bayi.Akhirnya, Visha pun harus masuk ruang operasi. Walau ini adalah operasi Visha yang kedua, entah kenapa Javier merasa lebi
183“Javier, kau ada waktu siang ini?” Luca, tak diduga Javier, menghubunginya tiba-tiba. Tentu saja, Javier menyanggupinya. Tugas menjemput Dante ia serahkan sementara pada Madoka. Biasanya Javier akan ikut ke sekolah untuk menjemput. Javier pun merespon, “Tentu, Ayah. Kau mau aku membawa Visha atau?”“Nah ... kau saja. Kuharap Visha tak perlu tahu aku mengajakmu bertemu, Jav.”Suami sah Visha tersebut tertegun sesaat sebelum menyetujui ucapan Luca. ‘Mungkin ini soal Ernesto.’Setelah sambungan telepon itu terputus, Javier segera pamit pada Visha dengan alasan akan menjemput Dante bersama Madoka.Dominic berjaga di apartemennya bersama dengan beberapa anak buah. Tentu saja, Javier sudah sedikit lega, karena berita Ernesto menghabisi Gale semalam sudah sampai di telinganya. Semua orang kini membicarakan pria muda itu.“Aku titip kue tart tiramisu,” pesan Visha saat mengantar Javier sampai di ambang pintu. Hamil keduanya ini membuat Visha menginginkan makanan manis. ia bisa menghabis
Dhuar!Bang!Bang!Bang!“Ha! Ha! Ha! Mati kalian semua antek Cavallo!” raung Gale yang berdiri di atas kendaraan jeep terbuka.Mereka baru saja mengebom gerbang utama kediaman Luca dan melumpuhkan semua penjaga.Luca yang terbangun karena alarm dari gerbang utama pun langsung menyuruh semua staf rumah tangga membawa Bianca, bersembunyi di ruang bawah tanah.Ernesto dan Luca bersiap menghadapi mereka dengan anak buah yang ada. Tidak banyak mereka yang tinggal di dalam area Cavallo. Paling banyak mereka bisa mengumpulkan 50 orang untuk kejadian tak terduga ini.“Kau sudah memanggil anak-anak di luar sana?” seru Luca pada Ernesto, yang berjalan bersama menuju ke luar teras untuk melihat keadaan seperti apa yang menunggunya.“Beres, Pa. Mereka sudah dekat.”‘Andai ada Javier ... aku merasa lebih tenang. Kalau hanya Ernesto ... haaah ... aku harusnya bisa percaya pada anakku,’ batin Luca berkonflik.Luca tak punya muka untuk memanggil Javier, karena Ernesto dengan bodohnya sudah membuat C
"Uncle Madoka!" seru Dante yang baru saja keluar dari kelasnya.Tuan muda kecil Cavallo tersebut baru saja menyudahi proses belajarnya hari itu. Dari wajah Dante, Madoka bisa menebak kalau permintaan maaf dari Simon tadi sudah menghilangkan air muka sedihnya."Tuan Muda! Apa mau makan dulu di kantin? Dengan Simon?" tanya Madoka tanpa basa basi.Dante yang memang sudah terbiasa mengamati orang-orang dewasa itu di sekitarnya pun paham, bahwa ada hal yang ingin dibicarakan Madoka dengam Simon."Tentu! Akan kupanggilkan Simon." Dante tersenyum riang sambil berbalik kembali ke kelas untuk menghampiri anak tersebut."Simon, mau makan siang denganku? Kau sering lama menunggu di kelas, kan?" ajak Dante dengan senyum ramahnya.Simon sedikit tertegun mendapat perlakuan baik dari Dante. Walau ia sudah minta maaf, baginya tidak serta merta mereka menjadi teman. "Tidak ada alasan aku makan siang denganmu! Jangan urusi aku!" sentak Simon.Suara Simon yang keras sudah tentu membuat Madoka memunculk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen