Aku benar-benar tak tahu bagaimana lagi menghadapi dosen yang mengalahkan singa dan para jajarannya. Apa salahnya jika Devan yang menyelesaikan tugas yang diberikan padaku? Katanya aku melimpahkan tugas kepada orang lain dan tidak bertanggung jawab akan amanah yang diberikan. Hello! Dia pikir hanya dirinya yang punya banyak pekerjaan. Sebagai mahasiswa, aku pun memiliki segudang pekerjaan sekaligus masalah.Jika bukan Devan yang membantuku, nasibku mungkin sudah berada di ujung tanduk. Ya, Bu Mega akan memberiku nilai jelek untuk kesekian kalinya. Itu opsi yang masih ditoleransi, bagaimana jika beliau malah tidak memberikan nilai sama sekali?Mau tidak mau aku harus mengikuti kelasnya lagi, karena nilaiku yang kurang baik, sehingga dengan segala kebaikan yang ia miliki membuatku harus mengulang kelas yang sama. Hal ini adalah opsi yang sangat membagongkan, bagiku yang memiliki otak dangkal, mendapat nilai C saja sudah syukur, apalagi jika mendapat B, dipastikan aku akan menari samba s
Sekali lagi aku menatap dekorasi pelaminan yang cukup mewah. Para orang tua sengaja mengadakan acara pernikahan di sebuah hotel yang tidak jauh dari kediamanku. Alasannya tidak ingin repot lagi membersihkan pasca pernikahan. Sebab, di saat pernikahan Mbak Kinara, kami sekeluarga kewalahan membersihkan pekarangan yang cukup kotor akibat sampah dari para tamu.Toh, untuk apa mendirikan tenda di pekarangan rumah, yang nantinya membuat para tetangga terganggu. Terlebih sekarang, sudah jarang orang yang akan mengadakan resepsi di rumah sendiri, mengingat lahan yang semakin sempit dan tidak semua orang suka dengan keributan.“Eh, calon pengantin kenapa di sini? Tidak boleh berkeliaran dulu,” tegur salah satu crew wedding organizer lalu menuntunku kembali ke kamar yang sejak tadi kugunakan untuk make up dan berganti baju. Ruang pengantin masih terlihat sepi dikarenakan hari juga masih pagi, hanya ada beberapa orang yang kutahu adalah keluarga Rangga sedang asyik berfoto ria dan beberapa crew
Tak akan ada kata libur untuk pengantin baru. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana pola pikir laki-laki yang berstatus sebagai suamiku. Harusnya aku libur saat ini, tetapi Rangga mewanti-wanti agar diriku tetap ke kampus. Tidak ada kata pengecualian meski aku berstatus sebagai istrinya. Toh, saat di kampus statusku tetap sama dengan mahasiswa lain.Orang-orang akan curiga jika Rangga memperlakukanku dengan spesial. Baru beberapa jam menyandang status sebagai istri dari Rangga Prakasa, tetapi aku sudah merasakan euforia yang sangat berbeda.Aku terus menerus mengomel sebab dia tak membangunkan. Sehingga aku harus ketinggalan bus dan terpaksa menggunakan taksi yang nahasnya harus tersendat akibat terperangkap kemacetan ibu kota. “Kirain libur?” tanya Rara setelah melihatku turun dari taksi.“Tak ada kata libur, Ra. Bisa-bisa Pak Rangga ngasih hukuman lagi. Nilai gue udah anjlok di titik terendah.”“Dih, paling hukumannya di ranjang.” Ia menaik turunkan alis, pertanda sedang menggodaku,
“Apa kalian dekat?” tanya Mas Rangga saat aku melewatinya di ruang keluarga. Sebelum hari pernikahan, aku dan Rangga sudah membawa pakaian ke rumah ini. Rumah yang diberikan oleh kedua orang tuaku dan orang tuanya. Bisa dibilang ini adalah hadiah pernikahan kami. Berada di kawasan yang cukup elit dan asri. Jujur aku suka rumah ini, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Tak akan ada tetangga yang julid dan tak akan ada CCTV berjalan, seperti lingkungan rumahku sebelumnya. “Maksudnya?” Keningku berkerut samar, berpura-pura tak tahu apa maksud dari ucapannya. Padahal, sudah jelas jantungku berdegup kencang kala mendengar pertanyaannya barusan. “Kau sudah dewasa dan masih saja tidak cepat tanggap.” Ia mendengus lalu kembali berkata, “kau dan Devan. Hubungan kalian sejauh mana?” “Oh, kami hanya berteman.” “Teman? Akan tetapi, mengapa kalian tampak seperti pasangan kekasih? Sampai-sampai dia menemanimu di kelas. Sakit?” Ia lagi-lagi mendengus dan menatapku tak suka. “Kau sakit apa?” Aku
Aku kembali merutuki segala kebodohanku saat ini. Bagaimana bisa aku salah mengambil tugas dan malah menyerahkannya ke dosen ganas yang tak lain adalah Rangga dan Bu Mega. Pantas saja kedua dosen tersebut memanggilku dan mengatakan bahwa aku tak becus, salahkan kecerobohanku yang sepertinya sudah mendarah daging. Aku benar-benar tak teliti, tak memeriksa tugas itu terlebih dahulu sebelum mengumpulkannya. Kembali kumengacak rambut frustrasi, mengapa aku mengulang dua kelas yang diisi dengan dosen paling ganas di kampus ini? Seharusnya aku tak perlu mengulang kelas mereka, agar nasibku juga tak se-mengenaskan ini. Namun, aku bisa apa? Kelas keduanya sangat penting dan akan sangat berpengaruh jika nantinya ingin melamar pekerjaan. Dengan segala keberanian yang telah kukumpulkan, kuketuk pintu Rangga dan membukanya setelah orang di dalam mengisyaratkan agar aku langsung masuk saja. Jantungku berdegup kencang, jangan lupa napasku sudah tak teratur sebab laki-laki itu terlihat sedang me
Suara anak kecil yang terus mengoceh membuat senyumanku terus mengembang. Akhirnya Lala kembali juga, setelah tiga hari mengungsi di rumah neneknya. Sejak tiga hari pula aku harus menjalani hari dengan penuh kejenuhan. Itu sudah jelas. Lala sudah sejak bayi kurawat dengan sepenuh hati seperti anak sendiri. Sehingga, saat ia jauh dariku, seketika rasa sepi itu muncul.“Bunda, kata nenek, Lala harus memanggil bunda dengan sebutan ibu. Apa perlu?”Aku mengerutkan kening berpikir sejenak. “Sepertinya tak perlu. Lala sudah nyaman manggil bunda, kan?”Ia mengangguk cepat.“Bunda itu, kan, artinya sama dengan ibu.”“Oh begitu, baiklah, Bunda.” Ia lagi-lagi mengangguk dan beralih menonton serial animasi yang berasal dari negeri seberang. Ya itu cerita anak kembar botak yatim piatu, di salah satu stasiun televisi. Gara-gara kartun tersebut, Lala kerap melontarkan bahasa melayu yang membuatku cukup terhibur. Aku memperhatikan wajahnya dari samping, perpaduan Kinara dan Rangga jelas teru
Kembali kumemulai aktivitas pagiku, menyiapkan sarapan sekaligus membersihkan dan merapikan setiap sudut ruangan. Kadang aku menertawakan diri sendiri yang sudah mirip ibu rumah tangga sungguhan. Pantas zaman sekarang banyak wanita yang tidak ingin menikah, apalagi jika sudah memiliki penghasilan tetap. Bagi wanita yang sudah memiliki penghasilan besar, pria tak ada gunanya, sehingga mereka tak perlu menikah yang akan menambah beban hidup. Sedangkan bagi pria, mereka tak akan bisa bertahan tanpa istri, karena mereka sudah terbiasa dilayani sejak lahir oleh ibunya. Jika nantinya aku memiliki anak laki-laki, aku akan mengajari mereka untuk lebih mandiri dalam urusan pekerjaan rumah tangga. Setidaknya kelak anakku akan mandiri dan tak bergantung kepada istri atau pembantu rumah tangga. Kalaupun nanti anakku menikah, istrinya tak terlalu lelah dengan semua pekerjaan rumah. Karena banyak laki-laki yang terlihat gengsi untuk membantu pekerjaan sang istri. Banyak suami-suami yang mengata
Trio Cecunguk lagi-lagi menertawakan kondisi mataku yang menghitam. Kata mereka aku terlalu bersemangat sehingga kurang tidur. Sumpah! Aku tak mengerti maksud mereka sebelum Mela kembali membahas masalah ranjang pengantin baru yang katanya harus terbuat dari bahan yang kuat. Apa otak mereka hanya dipenuhi hal-hal gila dan mesum? Seharusnya mereka yang menikah lebih dulu dan menempatkanku di posisi terakhir. Namun, Tuhan sepertinya tak mau bernegosiasi denganku yang bergelimang dosa ini.Seketika pikiran tentang semalam terlintas lagi di benakku. Di mana Lala yang tak mau melepaskan pelukannya, mengakibatkanku harus terjaga semalaman, begitu pun dengan Mas Rangga yang terpaksa harus tidur di ruang tamu. Aku berniat akan pindah ke kamarku setelah pelukan Lala terlepas, tetapi lagi-lagi alam tak pernah sejalan dengan harapanku. Dengan santainya aku tertidur di kamar pria itu, akibat terlalu lama menunggu dan jangan lupakan bahwa aku pun sudah terlalu lelah untuk memaksa agar mata ini te