"Kalau kugesek-gesekkan seperti ini, apakah enak?"
"Eghm! Akh!"
"Akan lebih enak kalau semisal kumasukkan lho, Sayang."
"Jang— Akh!"
"Bagaimana kalau coba ujungnya saja? Nanti kamu bisa putuskan, rasanya lebih enak atau nggak. Hm?"
Tubuh Aila bergetar. Wajah gadis itu sudah merah padam sementara keringatnya pun membanjir.
"Kills ...."
"Ujungnya saja, Sayang," bisik Killian, sarat dengan nada bujukan. "Ujungnya saja. Aku nggak akan memasukkannya lebih dari itu, kecuali kamu sendiri yang meminta. Bagaimana?"
Aila memandang wajah tampan lelaki yang tengah menindihnya ini. Sedikit sisa akal sehatnya sedang bertarung dengan desakan untuk merasakan kenikmatan.
Gadis itu paham bahwa posisinya saat ini lebih berbahaya. Dulu dia sangat yakin untuk sanggup menolak semua sentuhan dan rayuan lelaki ini, bahwa dia tidak akan tergoda sedikit pun, tapi sekarang Aila bahkan tidak percaya dengan dirinya sendiri.
Bahkan persy
Sepasang pintu ganda yang terbuat dari kayu berkualitas terbaik, terbuka.Di baliknya, terhampar ruangan luas dengan tatanan dan dekorasi mewah khas keluarga Ardhana. Lantai marmer yang membentang begitu berkilau, nyaris bisa digunakan untuk mengaca. Lampu chandelier kristal yang menggantung setinggi lima meter di tengah ruangan pun sangat mengagumkan.Di kanan kiri, nyaris sepanjang ruangan, berjejer banyak manekin yang mengenakan berbagai gaun pengantin dengan banyak model dan warna. Sedangkan di dekat pintu masuk, berdiri tiga orang perempuan dengan penampilan khas profesional. Mereka adalah para asisten Aria Hill.Aria Hill melangkah masuk dan para asisten yang sudah menunggu, serentak menunduk hendak menyambutnya. Namun mereka heran. Setelah lebih dari satu jam menunggu, dengan langkah cepat desainer cantik itu malah melewati mereka begitu saja.Tidak hanya itu, ada seorang gadis dengan surai coklat sewarna madu yang tengah digandeng oleh Aria.
"Tuan Muda, mohon tunggu."Erik berjalan cepat, berusaha menyusul Killian. Sedikit berlari, lelaki paruh baya itu mendahului Killian dan menghentikannya. Sedikit nekat sebenarnya, tapi pengawal itu merasa tidak memiliki pilihan lain."Maafkan saya, Tuan Muda," ujarnya, membungkuk sedalam mungkin. "Tapi mohon obati dulu luka di tangan Anda. Saya khawatir ada serpihan kaca yang masuk.""Bukan luka parah, jangan terlalu dibesar-besarkan," Killian balas menjawab dengan nada enteng. Dia malah dengan santai mengibas-ibaskan tangannya, membuat beberapa tetes darah terpercik di permukaan dinding dan karpet."Maaf, Tuan Muda, tapi—""Erik, sejak kapan kamu menjadi secerewet ini?""Maaf."Berdecak kesal, Killian lalu mengangkat tangan hendak mengacak-acak rambut. Namun dia segera meringis, merasakan nyeri saat lukanya bersentuhan dengan rambut."Cih! Merepotkan saja."Killian terdiam, berpikir sesaat sebelum akhirnya berbali
"Argh!""Ap—apa sakit sekali? Ma—maaf, aku nggak bermaks—""Nggak apa-apa kok, Sayang. Lanjutkan saja. Ya?"Menggigit bibir, tangan Aila sedikit gemetar sewaktu menekan kasa yang sudah dibasahi alkohol ke atas luka di tangan Killian."Bagaimana kalau panggil dokter saja, Kills?" usulnya, menahan ngeri melihat luka yang menganga. "Darahnya juga masih belum berhenti. Oh, ya Tuhan!""Ada apa?" tanya Killian karena Aila langsung melepaskan tangannya dan berdiri. "Sayang? Ada apa?"Aila kebingungan saat baru menyadari kalau gaun pengantinnya terkena noda darah. "Gaun pengantinnya terkena darahmu, Kills," ujarnya panik. "Bagaimana ini?""Lalu memangnya kenapa?" sahut Killian acuh. Dia lalu mengangkat tangannya ke arah Aila. "Kemari. Mendekatlah padaku.""Ta—tapi gaunnya nanti akan semakin kotor," tolak Aila. "Bagaimana kalau aku berganti pakaian dulu? Nggak akan lama kok.""Ansia Roxanne! Bukankah aku m
Ada yang aneh dengan Killian.Di pagi hari."Sayang, ayo bangun. Sudah pagi lho," panggil Killian dengan suara pelan. Sebelah tangannya mengelus rambut dan pipi Aila dengan lembut, seolah tidak ingin mengagetkan gadis itu.Padahal biasanya, Killian akan langsung menarik selimut Aila kalau dia masih saja tidur, sehingga gadis itu akan gelagapan bangun.Sewaktu sarapan."Mau sarapan di kamar atau di ruang makan?" tanyanya, duduk manis dan dengan sabar menunggu sampai Aila selesai bersiap.Padahal biasanya, siap atau tidak siap, Killian akan menyeret atau memanggil paksa Aila agar menemaninya sarapan di ruang makan.Lalu sewaktu makan siang dan makan malam, di mana biasanya mereka makan secara terpisah, sekarang mereka selalu makan bersama.Tidak cukup sampai di situ, Killian bahkan menemani Aila sesering mungkin, mulai gadis itu bangun tidur sampai akan tidur lagi di malam harinya.Sekarang, di setiap harinya di waktu sian
Aila cemberut. Wajah gadis itu terlihat muram, sekaligus kesal."Masih marah?" tanya Killian yang memangku gadis itu. Kedua lengannya melingkar di pinggang Aila, seolah ingin menegaskan bahwa dia tidak akan membiarkan gadis bersurai coklat itu lepas begitu saja. "Kenapa diam saja? Hm?""Kamu curang, Kills!" Aila memukul lengan Killian dengan kesal. "Pakai pura-pura jatuh segala."Gadis itu masih terus menggerutu soal perbuatan Killian tadi.Sebelumnya, Aila memang sempat bersembunyi karena ketakutan dengan Killian yang entah mengapa tiba-tiba emosi. Meski lelaki itu terus memanggilnya sekali pun, dia tetap bersembunyi sediam mungkin.Sampai kemudian Killian terjatuh dan ada suara benturan keras yang terdengar, membuat Aila spontan menjerit dan berlari mendekat demi menolong lelaki buta itu."Kenapa kamu sampai harus pura-pura jatuh seperti itu, sih?""Memangnya kenapa?""Memangnya kenapa, katamu?" bentak Aila. Kali ini gadis ca
Ingatan Ivona memutar kembali pembicaraan terakhirnya dengan Aria Hills, enam hari lalu. "Saya mohon maaf atas kejadian kemarin, Nyonya Hills," ujar Ivona, terlihat sungguh-sungguh menyesal. "Saya sama sekali tidak menyangka kalau putra saya dan—" Ivona menarik napas dalam sejenak sebelum melanjutkan. "—dan eh, calon istrinya akan berani menemui Anda dengan penampilan yang tidak layak seperti itu." Saat ini mereka berada di kediaman Agentine. Ivona memang sengaja mengundang desainer kelas dunia itu untuk datang ke kediamannya karena merasa tidak enak atas kejadian kemarin. Meletakkan kembali cangkir tehnya, Aria Hills menyunggingkan senyuman cantik. "Tidak perlu terlalu dipikirkan, Nyonya Agentine," sahut desainer cantik itu dengan tawa merdu. "Bisa dimaklumi kalau dua orang yang tengah dilanda asmara bisa sampai lupa diri seperti itu." "Eh?" Ivona kebingungan dengan respon Aria Hills yang terlihat tidak mempermasalahkannya sama sekali. "Jadi
Sementara itu, di waktu yang samaFour Season Hotels and ResortPenthouse Suites"Silakan, Nyonya Hills.""Terima kasih, Annie."Annie tersenyum lalu duduk di seberang meja Aria Hills, sementara desainer cantik itu menikmati teh hangat yang baru disuguhkannya."Benar-benar ruangan yang mewah," ujarnya, mengagumi kamar tempat Aria Hills menginap selama beberapa hari ini. "Saya penasaran, sekaya apa keluarga Ardhana itu sampai bersedia memberikan akomodasi semewah ini. Saya dengar, mereka bahkan menyediakan satu pesawat untuk mengangkut para pegawai dan gaun-gaun, juga semua peralatan. Lalu, satu jet khusus untuk Anda dan ketiga staf Anda."Meletakkan cangkir tehnya dengan anggun, Aria Hills mengedikkan bahunya."Bukan sesuatu yang terlalu luar biasa bagiku," jawabnya. "Dibanding segala hal remeh seperti ini," Aria melambaikan sebelah tangan dengan sembarangan dan nada tidak acuh. "Aku lebih suka kalau aku bisa mendapatkan Artemis."
Ada senyuman yang terus diulas Aila. Gadis cantik bermata abu itu, untuk pertama kali setelah sekian lama, sekarang terlihat begitu senang."Bagaimana kalau yang ini? Menurut Ibu, warnanya sangat cocok kalau kamu pakai."Ivona menyodorkan satu baju bergaya empire line berwarna mint ke depan Aila. Meski nyatanya, di tangan gadis itu sudah ada setumpuk baju yang tadi Ivona pilihkan dan minta agar Aila coba satu persatu."Ah, lalu jangan lupa yang ini juga," imbuh Ivona, kali ini menyodorkan atasan bergaya ruffled top berwarna peach. "Oh, blouse ini juga sangat cantik. Jangan lupa untuk mencobanya juga, ya."Kewalahan membawa banyaknya baju yang terus Ivona sodorkan padanya, Aila akhirnya bersuara. "Sepertinya ini sudah terlalu banyak, Nyo—" Ivona memberinya pandangan memperingatkan. "Ehm, mak—maksud saya, Bu.""Sayang, kamu harus memanggilku apa?" Menyilangkan tangan, Ivona bertanya dengan nada menuntut. "Panggil aku apa, Sayang?"