Ingatan Ivona memutar kembali pembicaraan terakhirnya dengan Aria Hills, enam hari lalu.
"Saya mohon maaf atas kejadian kemarin, Nyonya Hills," ujar Ivona, terlihat sungguh-sungguh menyesal. "Saya sama sekali tidak menyangka kalau putra saya dan—" Ivona menarik napas dalam sejenak sebelum melanjutkan. "—dan eh, calon istrinya akan berani menemui Anda dengan penampilan yang tidak layak seperti itu."
Saat ini mereka berada di kediaman Agentine. Ivona memang sengaja mengundang desainer kelas dunia itu untuk datang ke kediamannya karena merasa tidak enak atas kejadian kemarin.
Meletakkan kembali cangkir tehnya, Aria Hills menyunggingkan senyuman cantik.
"Tidak perlu terlalu dipikirkan, Nyonya Agentine," sahut desainer cantik itu dengan tawa merdu. "Bisa dimaklumi kalau dua orang yang tengah dilanda asmara bisa sampai lupa diri seperti itu."
"Eh?" Ivona kebingungan dengan respon Aria Hills yang terlihat tidak mempermasalahkannya sama sekali. "Jadi
Sementara itu, di waktu yang samaFour Season Hotels and ResortPenthouse Suites"Silakan, Nyonya Hills.""Terima kasih, Annie."Annie tersenyum lalu duduk di seberang meja Aria Hills, sementara desainer cantik itu menikmati teh hangat yang baru disuguhkannya."Benar-benar ruangan yang mewah," ujarnya, mengagumi kamar tempat Aria Hills menginap selama beberapa hari ini. "Saya penasaran, sekaya apa keluarga Ardhana itu sampai bersedia memberikan akomodasi semewah ini. Saya dengar, mereka bahkan menyediakan satu pesawat untuk mengangkut para pegawai dan gaun-gaun, juga semua peralatan. Lalu, satu jet khusus untuk Anda dan ketiga staf Anda."Meletakkan cangkir tehnya dengan anggun, Aria Hills mengedikkan bahunya."Bukan sesuatu yang terlalu luar biasa bagiku," jawabnya. "Dibanding segala hal remeh seperti ini," Aria melambaikan sebelah tangan dengan sembarangan dan nada tidak acuh. "Aku lebih suka kalau aku bisa mendapatkan Artemis."
Ada senyuman yang terus diulas Aila. Gadis cantik bermata abu itu, untuk pertama kali setelah sekian lama, sekarang terlihat begitu senang."Bagaimana kalau yang ini? Menurut Ibu, warnanya sangat cocok kalau kamu pakai."Ivona menyodorkan satu baju bergaya empire line berwarna mint ke depan Aila. Meski nyatanya, di tangan gadis itu sudah ada setumpuk baju yang tadi Ivona pilihkan dan minta agar Aila coba satu persatu."Ah, lalu jangan lupa yang ini juga," imbuh Ivona, kali ini menyodorkan atasan bergaya ruffled top berwarna peach. "Oh, blouse ini juga sangat cantik. Jangan lupa untuk mencobanya juga, ya."Kewalahan membawa banyaknya baju yang terus Ivona sodorkan padanya, Aila akhirnya bersuara. "Sepertinya ini sudah terlalu banyak, Nyo—" Ivona memberinya pandangan memperingatkan. "Ehm, mak—maksud saya, Bu.""Sayang, kamu harus memanggilku apa?" Menyilangkan tangan, Ivona bertanya dengan nada menuntut. "Panggil aku apa, Sayang?"
Ivona memasukkan kembali handphone miliknya. Tadi dia memang beralasan untuk pergi ke toilet, tapi sebenarnya perempuan paruh baya itu menggunakan waktu yang ada untuk menelepon Killian.Setelah setengah jam lebih berbicara panjang kali lebar dan bahkan diselipi omelan juga desisan penuh ancaman, Ivona akhirnya mengakhiri sambungan teleponnya. Hati perempuan itu terasa sedikit ringan karena bisa mengomeli Killian, meskipun belum puas betul.Dia baru saja sampai di pintu toilet sewaktu terdengar suara bentakan dan tamparan.'Apa ada orang yang bertengkar?' pikir Ivona, tidak habis pikir.Restoran yang mereka pilih sebagai tempat makan ini termasuk restoran kelas atas, di mana tentunya tidak sembarang orang yang bisa masuk. Lalu, apa penyebab keramaian itu?"DASAR GADIS MURAHAN!""I—bu.""Ya Tuhan."Ivona bahkan nyaris tidak berpikir. Perempuan yang tetap terlihat cantik di usia 50 tahun itu langsung berlari ke arah A
Seumur hidup, Killian belum pernah serisau ini. Lelaki itu sudah merasa gelisah sejak Ivona secara tiba-tiba datang siang tadi. Ditambah lagi ibunya yang mendadak mengajak Ansia pergi dengan dalih ingin berbelanja bersama. Killian tahu bagaimana penilaian ibunya terhadap Ansia. Meski tidak terlalu seperti Claude, ayahnya, tapi Ivona juga tidak bisa dikata menyukai calon istrinya itu. "Bagaimana kalau nanti Ibu bicara macam-macam?" gumamnya, gusar sendiri. "Lalu bagaimana kalau nanti Ansia tersinggung dan marah?" Memikirkan perasaan orang lain seperti ini sebenarnya merupakan hal yang baru bagi Killian. Bisa dikata dia sangat jarang, bahkan nyaris tidak pernah memperhatikan hal remeh semacam itu. Bagi Killian, perasaan orang lain tidak pernah menjadi hal yang penting. Bukankah dengan uang semua bisa terselesaikan? Bahkan orang yang awalnya membenci atau menentangnya sekali pun, mendadak bisa menurut kalau disodori segepok uang. Jadi, un
Jantung Ivona nyaris melompat ke tenggorokan. Rasanya, ada jeda satu detakan di mana jantungnya berhenti berdenyut.Dengan gemetaran di sekujur tubuh, dia mempererat pelukan tangan yang melingkar di perut Aila, sementara satu tangannya memegang kuat bingkai pintu mobil."Tenanglah, Sayang. Jangan bergerak dan meronta, atau kita berdua akan jatuh bersama. Mengerti?" bisik Ivona, sementara laju mobil perlahan diperlambat oleh sang supir.Tadi itu nyaris saja.Aila sudah membuka pintu mobil dan melompat keluar tanpa keraguan. Syukurlah Ivona masih sempat menangkapnya sebelum gadis itu benar-benar terjatuh."Sekarang aku akan menarik kita masuk," ujar Ivona, masih berbalas sikap diam Aila.Menarik napas, Ivona menghela ke belakang dan membuat mereka berdua jatuh ke atas kursi mobil. Posisi Aila sedikit menindih dan meski napas mereka sama terengah, Ivona masih belum melepas pelukannya. Setidaknya sampai mobil berhenti sempurna dan sang supir lan
"Apa ada hal lain yang Anda butuhkan, Nona?""Ada.""Ya? Kalau begitu, silakan katakan saja, Nona.""Apakah ada sesuatu yang bisa membuatku menghilang dari sini?"Tiga orang pelayan perempuan yang tadi membantu Aila membersihkan diri sekaligus merawat luka dan memar gadis itu, tersenyum dan menahan tawa.Aila jelas terkena serangan panik. Wajah gadis itu sejak tadi memerah dan sikapnya juga gelisah. Bayangan kalau dia harus tidur di kamar Killian membuat gadis bersurai coklat itu benar-benar tegang."Tenanglah, Nona. Nona akan baik-baik saja," ujar salah satu pelayan, memberi Aila senyuman menenangkan."Benarkah?" cicit Aila dengan napas tercekat. "Apa kalian yakin?"Saling bertukar senyuman, ketiga pelayan itu memberi anggukan meyakinkan."Iya," sahut salah seorang pelayan perempuan yang lain. "Siapa lagi yang bisa menaklukkan Tuan Muda kalau bukan Nona?"Ketiga pelayan perempuan itu lalu tertawa bersama. Rupanya
Ada rasa kantuk yang sangat yang dirasakan Aila. Kedua mata gadis itu terasa sangat berat untuk dibuka, pun kenyamanan tempatnya tidur semakin membuat gadis bersurai coklat itu enggan untuk bangun dari tidur.Namun toh, ada sesuatu yang membuat tidurnya tidak nyenyak. Tubuh gadis itu perlahan menggeliat, sedangkan bibir mungil berwarna peach yang menggoda itu mulai terbuka dan mengeluarkan suara desahan."Akh! Akh! Nghhnn ...." Meremas sprei, Aila merasakan geli yang nikmat di bagian intimnya, membuat gadis itu berusaha merapatkan kedua kaki. Namun ternyata ada yang menahan, membuat sepasang kaki jenjang itu tetap terbuka lebar. "Ngh! Ngh! Akh!"Ada yang menusuk-nusuk dan mengoyak kewanitaannya. Sesuatu yang lembek dan hangat tapi dengan permukaan kasar, seolah sedang menari-nari, keluar, masuk, dan entahlah apa lagi, yang jelas Aila merasakan nikmat.Gadis itu juga merasa sepasang aset kembarnya diremas-remas. Kedua ujungnya dipelintir, dijepit dan ditar
Killian baru menyelesaikan pekerjaannya setelah lewat tengah malam. Meski kondisinya buta seperti ini pun, dia tidak betah kalau terus diam tanpa melakukan apa pun. Memang, segala urusan mengenai bisnis keluarga Ardhana dan keluarga Reinhardt yang semula ditangani oleh Killian, sudah dialihkan ke beberapa orang yang lelaki buta itu percayai dan tunjuk sebagai wakil secara langsung. Selain itu, ayahnya, Claude Agentine, juga ikut memantau dan mengawasi segalanya. Lelaki Rusia itu memutuskan tinggal di Indonesia untuk sementara waktu agar bisa membantu putra semata wayangnya. "Padahal Ayah nggak perlu repot seperti itu," gumamnya, menyugar rambut dan menghela napas panjang. "Kenapa capek sekali, ya, rasanya? Padahal biasanya, bekerja sampai pagi pun nggak masalah." Menelungkupkan kepala di atas meja, Killian menyatukan kedua tangan di tengkuk. Beberapa kali lelaki buta itu menghela napas panjang. Segera setelah dia mengalami kebutaan, Killian la