Acara pernikahan akhirnya tiba.
"Di mana dia sekarang?"
Killian berdiri dengan gelisah. Tidak seperti biasanya, lelaki yang sering kali terlihat mengenakan outfit berwarna gelap itu, kali ini mengenakan setelan jas dan celana berwarna silver, dihiasi aksen berwarna emas dan biru yang terlihat kontras tapi dengan perpaduan yang sangat cocok.
"Ada apa dengan Tuan Muda?" bisik salah satu pengawal ke rekan yang berdiri di sebelahnya.
"Mungkin karena ini hari pernikahan beliau?" jawab temannya, balas berbisik.
Mereka berdua segera terdiam dan memasang kembali sikap siap saat mendapatkan lirikan penuh peringatan dari Erik.
Berdeham sekali, pengawal paruh baya itu pun kembali meluruskan sikap. Sepasang matanya juga tidak luput mengawasi Killian yang mondar-mandir dengan sikap gugup dan gelisah. Mau tidak mau, Erik pun akhirnya mengulum senyum. Selama 20 tahun dia mengabdi di keluarga Ardhana, rasanya baru pertama kali ini Erik melihat Killian bersi
"Sekarang, upacara pernikahan bisa dimulai. Kedua mempelai, silakan mendekat." Atensi setiap orang yang berada di dalam ballroom mewah itu meningkat. Acara pernikahan seorang Killian Ardhana Putra, pengusaha muda yang selama ini dikenal sebagai pria yang sedingin tembok baja, tentu saja membuat mereka begitu bergairah dan penasaran. Dalam hati, mereka masih tidak mengira bahwa lelaki yang dijuluki sang iblis di kalangan para pengusaha itu akan benar-benar melepas lajangnya. Rasanya nyaris mustahil bagi seorang Killian Ardhana Putra untuk bisa memiliki perasaan untuk orang lain secara tulus. Toh, selama ini lelaki itu sudah terkenal sebagai orang yang sanggup melakukan segala taktik dan tipu daya. Sementara itu, Aila sendiri kembali merasa gugup. Degup jantung berdebar begitu kencang hingga gadis itu nyaris tidak dapat mendengar apa pun kecuali suara detakan yang terasa menggila. Memejamkan kedua mata kuat-kuat, dia bahkan merasa kalau kedua kakinya tidak lagi
'Apa aku harus mengatakannya? Lagi?''Bagaimana kalau nggak ada juga yang percaya? Toh, selama ini aku juga sudah berkali-kali mengatakan soal hal tersebut dan tetap saja hasilnya nihil.''Tapi aku nggak bisa begini! Yang ada di buku nikah itu bukan namaku!'Aila menggigit bibir dan meremas kedua tangannya. Sedari tadi gadis cantik itu sibuk berpikir dan gelisah sendiri.Sebagian dari dirinya berteriak bahwa pernikahan ini tidak sah karena nama yang tertera di buku nikah bukanlah namanya, tapi Ansia. Jadi bukankah yang secara resmi menikah dengan Killian Ardhana Putra adalah Ansia Roxanne, bukan Aila Lewis?"Aku harus pergi. Bagaimana pun, aku harus berusaha meluruskan soal salah paham ini!" putusnya dan sudah langsung beranjak berdiri.Namun baru satu langkah, gadis itu kembali termangu.Yang menjadi masalah adalah cara dia untuk meyakinkan bahwa dia bukan Ansia, melainkan Aila. Jadi, bagaimana?Mengeluh, lagi-lagi Aila menyad
"Sayang? Kenapa?" "Eh?" Aila mengerjap, berjengit kaget sewaktu jari Killian mengusap pipinya yang basah. "Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Killian lagi, beringsut mendekat ke gadis yang sekarang menjadi istrinya itu. "Ak—aku," Aila gelagapan, terlihat bingung sendiri. Bukankah tadi dia sedang bersama ayah dan ibunya? Bahkan ada Claude dan Ivona Agentine juga. Memeluk dirinya sendiri, Aila seolah masih bisa merasakan pelukan ayah dan ibunya. "Sayang? Kenapa? Hei," tanya Killian lagi, menyibakkan rambut Aila. Beberapa kali lelaki buta itu juga menciumi puncak kepala istrinya. "Ada apa? Kamu sakit?" Menggeleng, Aila mengusap dahinya yang ternyata berkeringat. Mengedarkan pandangan, gadis itu menyadari di mana dia berada sekarang. "Ini ... kamarmu, Kills?" tanyanya sedikit berbisik. "Iya. Mau di mana lagi?" jawab Killian, menarik Aila mendekat lalu memangkunya. "Aku nggak mau menghabiskan malam p
Seluruh penghuni kediaman Ardhana sangat bersemangat dan bergairah hari ini."Pastikan semua sudah beres sebelum beliau bangun.""Kami bertiga akan membersihkan semua lorong dan kamar di lantai dua. Yang lain, tolong atur tugas masing-masing, ya.""Kalian jangan sibuk sendiri, tolong bantu aku! Apa menu sarapan kesukaan beliau? Apa yang harus kumasak?"Sontak semua pelayan yang ada, tertawa. Wajah kepala koki yang garang itu, sekarang malah terlihat lucu karena panik. Mereka tidak menyangka kalau orang yang selama ini kaku soal segalanya itu, bisa panik seperti ini."Tuan Erik! Jangan hanya diam dan minum kopi dengan santai! Cepat beri tahu aku, apa saja menu kesukaan Nona!"Plakk!Sebuah pukulan keras mendarat di lengannya. Dengan wajah berkerut seram, kepala koki menoleh hendak marah, sampai akhirnya melihat bahwa yang memukul tadi adalah wakil kepala koki yang notabene adalah sang istri sendiri. Seketika, lelaki baya itu pun langsu
Bulan madu?Killian mengacak-acak rambutnya dengan kesal.Jadi, alasan kenapa ibunya mendadak datang dan marah-marah tidak jelas seperti ini adalah karena masalah bulan madu?"Ibu sudah menyiapkan semuanya untuk bulan madu kalian. Bahkan Ibu juga sudah mewanti-wanti Erik agar memastikan semua berjalan dengan lancar. Tapi apa? Nyatanya, kalian malah masih ada di sini," sembur Ivona, memandang kesal ke arah Killian dan Erik bergantian.Diam-diam Erik menghela napas lega. Pengawal paruh baya itu sebenarnya dalam hati sudah cemas kalau perbuatannya yang membakar buku nikah semalam, ketahuan."Bu, ini bukan saat yang tepat untuk bulan madu," sahut Killian."Bukan saat yang tepat? Memangnya kenapa, Ian? 'Kan bagus kalau kalian pergi bulan madu setelah menikah. Siapa tahu 'kan kalau kalian bisa segera memiliki anak?"Ivona masih saya mengeyel. Perempuan itu benar-benar berharap agar menantunya segera hamil.'Dengan begitu, dia tidak a
Satu hari sebelumnyaHotel J.W MarriottDeluxe RoomNoah merasa luar biasa kesal.Dia sudah berusaha menghubungi nomor kontak keluarga Roxanne berulang kali, tapi hasilnya nihil. Baik Heri maupun Risa Roxanne, keduanya sama-sama tidak bisa dihubungi."Apa nomor yang diberikan oleh Tante Lusi ini benar?" gumamnya, menggerutu. Kaleng berisi bir yang sudah habis ditenggak, Noah lemparkan begitu saja.Dia sudah tiba di Indonesia sejak tadi siang, tapi bahkan sampai malam ini masih belum ada kabar apa pun yang bisa dia dapatkan."Ke mana kamu sebenarnya, Princess?" Noah dengan gusar membuka satu lagi kaleng bir. "Bukankah waktu itu kamu berkata hanya akan pergi selama satu minggu? Tapi ini bahkan sudah nyaris tiga bulan."Terdiam sesaat, Noah menyesali kembali keputusannya untuk melepaskan Aila begitu saja waktu itu."F*ck!" memaki, Noah melempar kaleng bir yang masih separuh tersisa itu. Dia sama sekali tidak peduli walau bir
Ada perasaan mengganjal yang dirasakan Aila. Bukankah tadi Noah mengajaknya ke hotel tempat lelaki itu menginap, agar mereka bisa bicara dengan nyaman? Namun meski Aila sudah setuju, perasaan gadis itu tetap merasa tidak enak. "Ada apa?" tanya Noah saat dia menggandeng Aila, tapi gadis itu langsung menarik lepas tangannya. "Ng ... aku bisa jalan sendiri, Noah." Sambil tersenyum, gadis itu mencoba menutupi kegelisahan yang dia rasakan. "Apa kita nggak bisa bicara di sini saja?" tanyanya, saat mereka sampai di lobi hotel. Dahi Noah berkerut. Rencana awalnya dia akan mengajak Aila masuk ke kamar hotel lalu menjebak gadis itu di sana. Tapi kalau nanti dia berkesan terlalu memaksa, dia juga tidak mau kalau Aila malah jadi curiga. 'Dari tadi saja sikapnya sudah dingin begini terhadapku,' gerutu Noah dalam hati. 'Siapa sebenarnya yang sudah mengubah gadis ini sampai berubah begini? Terlihat begitu waspada dan nggak mudah mempercayai orang. Pa
"Noah, where else are we going??" "Home, Princess." "Home? What do you mean by home?" Aila memandang tajam ke arah Noah yang memasang ekspresi kaku. Sekarang jelas sudah bagi gadis itu bahwa keputusan yang dia ambil tadi untuk mengikuti Noah adalah salah. "Berhenti, Pak!" serunya ke arah supir taksi. "Tolong berhenti di sini." "Jalan terus! Jangan berani-berani berhenti," sergah Noah, tidak mau mengalah. Tidak cukup sampai di situ, lelaki itu lalu menarik pergelangan tangan kanan Aila lalu mencengkeramnya, membuat cincin yang melingkar di jari manis gadis itu, bisa dia lihat dengan jelas. "Apa ini, Princess?" desisnya marah. "Cincin apa ini? "Noah, itu—" "Tadi sewaktu aku berada di dalam kamar hotel, bibimu meneleponku. Rupanya ibu kandungmu baru saja menghubungi, memberi tahunya soal kabarmu. Kalau hanya itu, aku bisa paham, Princess. Tapi, apa ini? Kabar apa yang kuterima ini? Apa benar kalau kamu sudah menikah? Hah?!"