Persidangan kasus Charlotte Harron berjalan alot.Hal tersebut karena pihak terdakwa masih bersikeras bahwa dia tidak pernah memberikan perintah untuk mencelakakan Aila. Charlotte bersumpah bahwa dia hanya menyuruh Evan Aprisio untuk membuntuti menantu keluarga Ardhana tersebut."Saya hanya berniat baik," seru Charlotte. "Perempuan itu pergi meninggalkan rumah, sementara Ian kesulitan untuk bisa menemukannya. Jadi, saya hanya ingin membantu agar dia bisa ditemukan lebih cepat."Terdengar suara gebrakan keras ketika Killian sudah langsung berdiri dan nyaris beranjak. Kalau dari ekspresi wajahnya, lelaki itu terlihat seperti akan membantai Charlotte saat ini juga.Namun untunglah, Aila dengan cepat menahan suaminya. "Kills, tenanglah."Rasa-rasanya Killian ingin menyingkirkan tangan istrinya saja, agar bisa segera meloncat ke arah Charlotte.Bagaimana kalau dia mematahkan leher perempuan itu? Toh, hal tersebut sama sekali bukan hal yang sulit bagi Killian. Menggertakkan rahang, bahkan k
Ronald masih menunggu di dalam mobilnya, ketika hal itu terjadi. Sebuah motor sport berwarna hitam datang dengan tiba-tiba. Ronald masih bertanya-tanya, siapa yang datang terburu-buru seperti itu, ketika dia mendadak memiliki firasat tidak enak. Bukankah Andreas dan Selena sedang berada di areal pemakaman? Ditambah lagi, lelaki yang tadi datang dengan mengendarai motor sport tersebut, sekarang sudah langsung berlari masuk bahkan tanpa melepas helmnya. "Tuan Muda," bisiknya, bergegas hendak keluar mobil. "Gawat!" Namun baru saja dia sedikit membuka pintu mobil, ada seseorang yang langsung menendang pintu tersebut hingga membuatnya menutup kembali. "Diam saja di tempatmu, kalau masih ingin hidup." Mata Ronald melebar saat melihat siapa yang sudah menghalanginya. Seorang lelaki yang sudah berusia baya, tapi dengan perawakannya yang tegap serta ekspresi wajah yang tegas. "Tuan Erick," bisiknya. Kalau Erick ada di sini, berarti yang tadi baru saja datang dan langsung berlari masuk k
Kedua tangan Aila saling meremas.Sesi persidangan Charlotte sudah berakhir dua hari lalu dan putusan hukuman penjara seumur hidup sudah dijatuhkan. Namun bukannya merasa lega, kini justru ada perasaan berat yang menggelayut dalam dadanya."Apa aku mengganggu?" Killian mengetuk kemudian membuka ruang perpustakaan tempat Aila berada. "Queen, ada apa?""Ya? Memangnya, kenapa denganku, Kills?""Dua hari ini kamu menjadi lebih pendiam." Killian mengambil tempat duduk di atas karpet, tepat di depan istrinya yang duduk di sofa. "Ada apa?"Selama sesaat Aila sedikit menunduk, terlihat seperti sedang berpikir."Tidak ada apa-apa," ujarnya sembari tersenyum. "Hanya saja ... aku benar-benar tidak mengira kalau Charlotte bisa setega itu. Mau dipikir berapa kali pun, aku tetap tidak mengerti soal jalan pikirannya. Meski begitu, sebenarnya di satu sisi aku juga merasa kasihan karena dia harus menghabiskan sisa umurnya di dalam penjara."Menghela napas berat, Aila lalu menambahkan, "Ditambah lagi,
"Sebenarnya aku merasa tidak enak, Ayah, tapi maaf. Jawabannya adalah tidak. Aku tidak ingin lagi bertemu dengan Re— ehm, maksudku, Andreas."Claude tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, Nak. Ayah memahami keputusanmu. Nanti akan Ayah sampaikan secepatnya kepada Nyonya Shananet.""Terima kasih, Ay- Hih!"Secara reflek, Aila terkesiap. Nyaris saja dia berseru kaget, tapi untung masih sempat menggigit bibir dan menahan suaranya. Sementara itu, kedua tangannya pun meremas rok dan punggung Aila pun meremang."Kenapa?" tanya Claude dengan wajah cemas. "Aila, ada apa, Nak? Kenapa kamu terlihat tegang dan wajahmu juga memerah?"Aila menggeleng dengan cepat. Dia lalu berusaha menyunggingkan senyum dan berkata, "Tidak ada apa-apa, Yah. Aku baik-baik-" Memejam, sesaat perempuan itu menarik napas dalam-dalam. "—saja."Selama beberapa saat Claude masih terlihat khawatir. Namun ketika melihat Killian yang memalingkan wajah dan menahan senyuman, lelaki keturunan Rusia itu pun hanya bisa menghela napa
Satu jam lagi sudah memasuki waktu untuk makan siang.Namun, dengan kejamnya Killian justru mengirimkan email ke beberapa kepala bagian dan menginformasikan bahwa rapat akan digelar dalam waktu setengah jam lagi.Lelaki itu masih tersenyum-senyum sendiri karena teringat betapa merana ekspresi wajah yang tadi Ashin perlihatkan, sewaktu dia secara mendadak meminta laporan penjualan sejak awal tahun beserta persentase liukan* di tiga tahun ke belakang.Sebab, bagaimana mungkin staf sekretarisnya itu tidak ingin menangis?Data sebanyak itu sudah harus bisa dia selesaikan sampai sebelum waktu rapat berlangsung. Jadi, dengan kata lain waktu yang Ashin miliki adalah kurang dari tiga puluh menit."Haa ... sebenarnya sejak kapan, ya, menyiksa Ashin bisa sedikit membuat mood-ku membaik?" gumam Killian sambil meninggalkan staf sekretarisnya yang menderita sambil tertawa kecil, sama sekali tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun. "Sepertinya, aku benar-benar harus menambah tunjangan gaji untuk A
Apakah pada akhirnya Killian berhasil menghabisi Andreas? Jawabannya adalah tidak. Lebih tepatnya lagi, belum. Sebab, saat ini lelaki itu masih harus berusaha kuat untuk bisa menahan kemarahannya. Entah sudah berapa kali rahang Killian sampai mengeluarkan suara gemertak yang mengerikan. Sementara sepasang matanya yang segelap langit malam, jelas-jelas memberikan pandangan membunuh ke arah lelaki lain yang duduk tidak jauh darinya dan Aila. "Jadi, apa sebenarnya yang ingin kamu bicarakan?" Suara istrinya yang bertanya berhasil menembus pendengaran Killian. "Katakan saja segera," imbuh Aila, sembari memeluk lengan kanan suaminya. Menarik napas dalam-dalam, Killian kembali berusaha untuk membujuk monster di dalam dirinya. Baiklah. Baik. Kali ini, dia masih akan coba sedikit bersabar. Tidak apa. Ini sama sekali bukan apa-apa. Sebab, demi istrinya Killian sanggup melakukan apa pun. "Apa kamu tidak mendengar pertanyaan istriku?" tanyanya dengan suara yang nyaris menggeram, sambil me
"Ans!"Hugo berlari memasuki kafe tempat istrinya menunggu. Wajah lelaki itu terlihat cemas, sebab tidak biasanya Ansia tiba-tiba menelepon dan meminta dijemput seperti ini."Ada apa?" tanyanya, segera memindai keadaan Ansia. "Apakah terjadi sesuatu?"Ansia saat ini tengah duduk, sementara Hugo berlutut di depannya. Namun bukannya menjawab pertanyaan suaminya, dia justru memeluk lelaki itu."Ada apa?" tanya Hugo lagi, membelai rambut istrinya dengan lembut. "Katakan sesuatu, Ans. Beri tahu aku, ada apa?"Istrinya itu tidak segera menjawab, tapi justru terisak sehingga membuat Hugo semakin kebingungan.Bukankah seharusnya Ansia sedang menghabiskan waktu bersama Aila? Lalu, kenapa sekarang istrinya itu justru sendirian saja dan malah menangis? Ke mana perginya Aila?Meski belum memahami apa sebenarnya terjadi, tapi Hugo tidak percaya kalau Aila meninggalkan adiknya begitu saja. Di satu sisi, tentu bukan salah lelaki itu apabila mengira bahwa Ansia hanya sendirian.Hugo tidak tahu, bahwa
Aila sedang berdiri di balkon kamarnya, ketika seseorang tiba-tiba saja datang dan langsung memeluknya dari belakang."Apa yang sedang kamu pikirkan, Queen?" tanya Killian, segera saja menyurukkan wajah di leher istrinya dan menciuminya. "Ada apa? Apakah kamu baik-baik saja?""Apa maksudmu, Kills? Kenapa bertanya seperti itu? Memangnya, aku kenapa?""Entahlah. Sejak kita pulang tadi siang, kamu jadi lebih pendiam."Memutar tubuh istrinya sehingga kini mereka saling berhadapan, Killian lantas mengelus pipi Aila dengan punggung tangan."Ada apa? Beri tahu aku, Queen. Aku tidak akan bisa tahu apa yang sedang kamu pikirkan, kalau kamu tidak mengatakannya."Aila balas membelai pelipis Killian, lalu tersenyum. Sementara lelaki itu justru memejam dan menikmati sentuhannya. "Kills, sebenarnya sejak tadi ada yang aku—"Tiba-tiba saja terdengar suara berisik dari arah pintu kamar mereka, membuat Killian berdecak kesal. Dia sangat tidak suka apabila waktu bermesraan dengan istrinya diganggu."Tu