Waktu bergulir begitu cepat. Tanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di pondok pesantren ini. Banyak sekali perubahan yang kualami. Kulitku menjadi putih bersih karena memakai pakaian tertutup. Jiwa barbar yang ada dalam diriku mulai berkurang, tetapi ada satu hal yang kutahan selama ini. Jiwa kegesrekanku meronta-ronta.
Setiap akhir bulan ada jadwal sambangan di pondok pesantren ini, tetapi aku tidak yakin akan ada orang yang mengunjungiku. Kak Sari pasti sudah hamil sedangkan kakek dan nenek tidak akan bisa datang ke sini jika tidak diantar Om Dani.“Anin, temenin aku ke dhuyuf, yuk! Aku kenalkan sama orangtuaku!” ajak Lia.Aku berpikir sejenak, daripada di kamar sendirian mungkin lebih baik aku ikut dengan Lia. Kali aja Lia punya saudara yang tampan yang ikut datang, bisa cuci mata.“Oke, aku ikut denganmu.” Kuambil jilbab dan memakai cadar sebelum keluar.Semenjak kejadian memalukan waktu itu, aku benar-benar malu. ADengan senyum merekah aku memasukkan beberapa pakaian ke dalam ransel. Setelah setengah tahun, akhirnya aku akan pulang untuk liburan sekolah. Aku sudah mengirimkan surat untuk Kak Sari, kukatakan jika aku belum bisa pulang ke Kudus. Aku ingin menghabiskan liburan di rumah nenek saja. “Kamu nanti dijemput sama siapa, Nin?” tanya Lia sembari melipat pakaiannya. Aku sudah menghubungi Om Dani supaya menjemputku. Aku belum hafal jalan pulang jika naik angkutan umum atau bus. “Om Dani yang jemput aku. Kamu enggak pulang?” “Aku hanya pulang saat libur lebaran, Anin. Aku harus berhemat. Jika aku pulang, banyak sekali uang yang harus kukeluarkan. Belum lagi pas balik kudu minta uang saku juga, lebih baik tinggal di pondok saja.” Lia melipat baju seragamnya yang sudah kering. Dia mencucinya tadi pagi di kamar mandi sambil menangis. Dia tidak bisa pulang ke rumahnya karena perjalanan terlalu jauh. Orang tuanya akan datang ke sini sa
Kulihat matahari terbenam di ufuk barat. Dari lantai dua masjid Al Falah ini, aku menunggu azan Maghrib bersama Lia, Shafia, dan Nadia. Kami berempat sudah seperti sahabat yang tidak bisa dipisahkan. Waktu satu tahun terasa begitu cepat. Sebentar lagi aku lulus sekolah dan melanjutkan kuliah. Shafia dan Nadia akan pulang ke kampung halaman, tetapi aku harus tetap tinggal di pesantren untuk melanjutkan hafalanku. Tahun pertama aku mulai terbiasa dengan kesibukanku, aku pun mulai melupakannya. Jika dulu merindukannya terasa berat di hati, sekarang aku mulai merasa lelah. Perlahan rindu itu memudar seiring berjalannya waktu. “Anin, kamu yakin akan tetap tinggal di sini?” tanya Lia. “Iya, bagaimana denganmu?”“Aku akan pulang, Gita. Orang tuaku menjodohkanku dengan anak sahabatnya.” Lia berucap pasrah. Orang tuanya selalu bilang jika dia harus menurut kepada orang tuanya. “Aku juga harus pulang, Anin,” ujar Shafia.
“Gita, bangun!” Seseorang menggoyangkan bahuku hingga membuatku mengerjap. “Sudah sampai?” tanyaku gelagapan. “Belum. Kita salat Maghrib dulu!” ajak Tante Suci. Aku berjalan mengikuti om dan tanteku ke sebuah musala di pom bensin daerah Semarang. Setelah ini kami akan mencari makan dahulu dan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Pukul delapan malam, kami sampai di rumah Kak Sari. Aku langsung memeluknya erat. Kami sudah lama tidak bertemu, sangat lama. “Kenapa kamu makin kurus, Gita? Kamu tidak makan?” Kak Sari mengecek semua anggota tubuhku yang sedikit kurus. “Aku selalu makan, Kak. Kurus atau gemuk, tidak ada yang tahu. Sekarang pakaianku tertutup rapi.”Kak Sari mengajakku melihat bayinya yang sudah tertidur di ayunan. Bayi mungil itu tidak mau diletakkan di kasur. Dia ingin selalu dalam dekapan seseorang. “Kak Sari juga kelihatan kurus. Kakak tidak bahagia?” tanyaku sa
Aku bersiap ke rumah Kak Sari dengan naik ojek online. Akan terlalu kentara jika aku membawa motor sendiri. Aku memakai kacamata hitam dan cadar supaya tidak ada yang mengenaliku. Isma dan Bibi Lia pasti datang. Aku tidak mungkin menampakkan diri di hadapan mereka. Saat aku sampai di depan rumah Kak Sari, benar saja ada Isma dan Bibi Lia. Keluarga Ibuku juga banyak yang hadir. Niatku menciut, aku tidak berani masuk hingga kuputuskan untuk pulang. Kukirimkan pesan kepada Kak Sari jika aku tidak jadi datang. Satu minggu di Kudus hanya kugunakan untuk membereskan barang di rumahku. Pegawai Kak Aldo yang diminta untuk membersihkan rumah ini hanya datang satu minggu dua kali. Tepat saat aku hendak kembali ke Yogyakarta, dia datang. Aku meminta kepadanya untuk selalu menguras kolam ikan di samping rumah.“Bu, tolong kolam ikannya sesekali dibersihkan supaya mereka tetap hidup.”“Iya, Mbak Gita.” Wanita paruh baya itu kemudian mulai bekerja membersihkan rumahku.
“Anin!”Aku menoleh kala salah seorang teman memanggilku. Dia Nabila, salah satu orang yang mau berteman denganku meskipun aku berbeda. “Kamu udah lama?” tanya Nabila. “Udah dari tadi. Kamu enggak lihat aku udah menghabiskan dua gelas es teh?” Aku menunjuk dua gelas kosong di depanku. Pagi ini aku sedang duduk di kantin sebuah kampus. Sudah empat tahun aku menempuh pendidikan di sebuah kampus ternama di Yogyakarta. Awalnya aku tidak berniat melanjutkan kuliah kedokteran. Selain mahal biayanya, waktunya juga lebih lama daripada pendidikan S1 lainnya. Selain itu, aku insecure dengan penampilanku. Bagaimana mungkin seorang dokter memakai cadar?Namun, banyak teman dan keluarga yang mendukungku. Beruntung di kampus itu tidak ada larangan memakai cadar. Mungkin mereka akan melihatku sebagai wanita yang aneh, tetapi seiring berjalannya waktu aku bisa membungkam mulut mereka dengan prestasiku. Aku beruntung bisa m
Jalanan kota Yogyakarta pagi ini cukup ramai. Aku dan keluargaku sedang perjalanan menuju Grha Sabha Pramana. Di sanalah semua mahasiswa akan melaksanakan wisuda. “Ya ampun, anak ibu cantik banget, deh.” Ibu yang duduk di sampingku selalu memuji dari tadi. Aku sampai bosan mendengarnya. Pasalnya hanya kepada teman sekamar dan di depan keluarga aku tidak memakai cadar. Lama sekali aku tidak mendengar pujian itu dari seseorang. “Ibu, udah deh!” Aku memelototi Ibu karena sedari tadi Om Dani mentertawakanku. “Ibu ‘kan kangen sama kamu, Gita. Lima tahun tidak bertemu itu lama. Ibu takut setelah ini kamu pergi meninggalkan kami.” “Tidak, Bu. Mana mungkin aku meninggalkan Ayah dan Ibu? Aku kuliah demi kalian. Aku akan merawat kalian sampai akhir hayat.” Tiba-tiba Ibu memelukku. Pelukan yang cukup lama dan hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kenyamanan ini. “Ibu takut kamu akan segera menikah dan meninggalkan kami,” ucap Ibu sembari mengusap air matanya. Aku tertawa hingga memegangi
“Bakso ... bakso ...!” Terdengar nyaring suara pukulan antara sendok dan mangkuk yang menggema di depan rumah. Aku segera Keluar mengambil mangkuk di gerobak Ayah. “Pak, baksonya dua!” Mendengar teriakanku, membuat abang tukang bakso itu berhenti. Usianya memang terlihat masih muda, tetapi aku sengaja memanggilnya ‘Pak' supaya dia tidak baper. Apalagi dia pernah menanyakan statusku kepada Ayah dan berniat menjadikan istri gara-gara aku memanggilnya ‘Mas'. “Baksonya berapa, Mas?” tanyaku ketika pertama kali membeli baksonya saat lewat di depan rumahku. “Sepuluh ribu. Kalau buat Dek Faiha gratis, deh. Sama calon istri nggak boleh perhitungan.” Seketika aku tersedak ketika dia menyebut sebagai calon istrinya. Entah sejak kapan dia mengetahui namaku. Aku Meminta bantuan Kak Ilham supaya dia tidak macam-macam denganku lagi. Semenjak kejadian itu dia tidak berani menggodaku. “Pedes, Dek?” “Yang satu pedes, satunya lagi biasa.” Kebiasaanku ketika membeli bakso selalu membawa mangkuk
What? Ketua panitia? Benar-benar keterlaluan Kak Ilham. Dia tidak mengatakan jika aku menggantikannya menjadi ketua panitia. Rasanya aku ingin segera menghubungi dan memakinya sekarang juga.“Aku nggak bisa jadi ketua panitia, Kak. Baru kali ini aku ikut IRMAS. Aku tidak punya pengalaman apa-apa.” Entah siapa namanya, aku tidak tahu. Yang jelas aku tidak mau jika mendadak ditunjuk menjadi ketua. Ini semua gara-gara Kak Ilham. Kalau tahu begini aku enggak akan mau datang menggantikannya.“Mau atau enggak, kamu harus mau. Sudah menjadi konsekuensinya kalau mau gantiin Ilham. Punya amanat kok ditinggal.” Lelaki itu tidak menerima apa pun alasanku.“Tapi aku tidak bisa apa-apa!”“Mau aku ajarin? Nanti dapat bonus, latihan jadi makmumku,” ucap lelaki itu sambil mengedipkan sebelah mata. Ya Allah, lelaki macam apa dia? Kenapa teman-teman Kak Ilham sepertinya tidak ada yang beres begini? “Sama aku aja, Fai. Nan