Gita tidak menyangka jika lelaki yang paling dia gandrungi sebenarnya ada di depan mata. Selama ini dia tidak tahu jika Ilham adalah sosok misterius yang suaranya selalu menjadi teman tidurnya.
View More"Wow. You smell really good. Are you perhaps, an Omega?"
Bocah yang tengah duduk meringkuk sendirian itu akhirnya mengangkat kepala, menyipitkan mata menangkap sosok anak lain yang tampak sebaya dengannya yang tubuhnya berdiri tepat menghadang matahari terik.
"Are you an omega?"
Pertanyaan lain disuarakan. Kali ini membuat bocah berwajah masam menjawab ketus, "Gue gak ngerti elo ngomong apaan!"
Anak di depannya tersenyum kecil. "Aku bilang aroma dari tubuh kamu terasa wangi. Kamu omega, 'kan?"
Bagaimana anak ini bisa mengetahui identitas jenis kelaminnya padahal mereka baru bertemu?
Namun, alih-alih menanyakan hal itu, dirinya justru berkomentar lain, "Kalo gue emang omega, apa urusannya sama lo?"
Senyum di bibir anak itu kian melebar. "It looks like, we're destined to be with each other. I think, you're my fated pair. Kamu," tangan menunjuk tepat ke wajah, "omega yang ditakdirkan untuk jadi pasanganku."
Bocah itu menegakkan posisi duduk, menatap heran pada telunjuk di depan matanya. "Huh? Gue nggak ngerti elo ngebahas ap--"
"Can I know what's your name?"
Pertanyaan sederhana itu anehnya malah mencipta debaran cepat tiba-tiba di dalam dada kecil sang bocah. "Huh? Name? Nama gue Feryan. Feryan ... Feriandi," ucapnya dengan suara kian laun.
Usapan lembut diberikan ke puncak kepala. "Feryan, let's meet each other again one day. If we're both destined to be with each other, I'm sure we will meet again someday. You and me," ungkapnya dengan nada yang terdengar tak main-main. "I'm sure, someday, I'm gonna find you again. So, please wait for me. Okay? Tunggu aku."
Seusai kalimat itu terlontar, desir angin membelai masing-masing kulit telanjang kedua anak manusia itu serta rambut mereka. Saat salah satu dari mereka berlari menjauh, sedangkan satu anak lainnya berdiri perlahan-lahan memandang punggung yang semakin mengabur dari pandangan. Menghilangkan aroma menyejukkan yang semula tercium olehnya, tapi kini terasa memudar.
"Gue ... belum tau nama lo," bisik Feryan pada udara kosong. Berharap suaranya dapat didengar oleh bocah asing yang membuatnya terpikat seketika.
Mata yang sipit, tapi memiliki sorot lembut. Rambut hitam yang bersinar ditimpa cahaya matahari siang yang kelihatannya nyaman untuk dibelai. Sementara wajahnya sama sekali tak mampu terekam oleh ingatan dikarenakan gelap.
Feryan memegangi puncak kepalanya. Berusaha meresap kehangatan dari jejak sentuhan yang beberapa saat lalu dirasakan. "Semoga takdir akan bikin elo sama gue ketemu lagi, bocah alpha misterius."
Sejak hari itu, Feryan dibayang-bayangi penantian akan sosok alpha yang ditakdirkan sebagai pasangan hidupnya. Di mana pun sang alpha berada, entah kapan mereka akan berjumpa, dirinya hanya yakin bahwa keduanya memang ditakdirkan untuk bersama.
"Set, elo percaya sama fated pair, nggak?"
Pertanyaan yang Feryan lontarkan untuk kawan baiknya itu dihadiahi tatapan sinis. "GUE BETA YA, GOBLOK!"
Jawaban kasar dari Setya menyadarkan Feryan dari dunia miliknya seketika. "Sorry, gue lupa."
Namun, itulah sosok omega yang menjadi pemeran utama dalam cerita ini. Sosok yang di awal kemunculannya tampak menawan, padahal sebetulnya dia hanya seorang omega bodoh yang suka berkhayal.
Akankah takdir berbaik hati untuk mempertemukan Feryan dengan sang alpha misterius pujaannya?
“Enggak! Aku pun serius ingin menikah denganmu.” Tiba-tiba saja kalimat tersebut terlontar dari mulutku. Namun, jujur saja perasaanku memang tulus untuknya. Aku bersungguh-sungguh ingin menikah dengannya.“Kamu dengar sendiri, bukan? Aku melakukan ini agar kalian berdua bisa berbahagia.” “Aku nggak yakin bisa membuat Faiha bahagia.” Dilan tertunduk lemas. Sebagai lelaki, dia terlihat tak berdaya di atas ranjang kecil itu. Aku memberanikan diri menggenggam tangan Dilan. “Aku yakin kamu bisa sembuh. Aku akan merawatmu dengan sepenuh hati. Untuk itulah, kamu juga harus memiliki keyakinan yang sama. Kamu pasti akan sembuh.”“Aku cinta sama kamu itu benar. Tapi untuk menikahimu, kurasa itu nggak benar, Fai. Kamu nggak akan bisa bahagia denganku.” Kalimat Dilan terdengar putus asa.Tak terasa mataku penuh oleh benda cair yang siap meluncur jatuh ke pipi. “Aku seyakin itu sama kamu, tapi kamu sendiri malah seperti melarikan diri dari
Aku mengangguk kemudian berjalan mendekat menyalami orang tua Dilan. Begitu juga dengan Kak Ilham. Dari mana mereka mengetahui namaku? Padahal aku tidak pernah bertemu sebelumnya. “Faiha ini adik kamu, Ham? Kalian sangat mirip.”“Iya, Om. Maaf baru sempat mengajaknya ke sini. Dia masih kuliah.”Jadi, selama ini Kak Ilham sengaja menunggu liburan semester baru mengajakku bertemu Dilan? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepada Kak Ilham. Bisa-bisanya dia menyembunyikan semua ini dariku. “Pantas saja Dilan tergila-gila padanya. Dilan masih tidur. Biasanya jam empat sore baru bangun.”Wajahku rasanya panas mendengar ucapan ibunya Dilan. Padahal ruangan ini ber-AC. Aku pun tidak sabar ingin segera bertemu dengan orang yang lama kurindu. “Om dan Tante pamit dulu. Kalian bisa 'kan jagain Dilan untuk kami? Kebetulan Om tadi langsung ke sini setelah pulang dari kantor.”“Tenang aja, Om! Sera
Mulai saat itu aku tidak lagi tergantung pada mereka. Aku meminta Ayah membelikan sepeda listrik. Harganya cukup terjangkau. Dengan begitu, aku tidak lagi bergantung dengan orang lain. Saat itu juga aku mulai membatasi diri lagi dan lebih pendiam sekarang. Fokus untuk kuliah demi masa depan. Hingga akhirnya liburan semester itu datang. Setelah setengah tahun berlalu, hidupku terasa hampa. Tidak ada manis-manisnya. Pagi hari kuliah, sore bantu ayah, malam pergi dengan teman sholawatan. Terkadang aku juga menyendiri di rumah. Hidupku terlalu monoton begitu setiap harinya. Beberapa kali teman Kak Ilham mencoba PDKT denganku, tetapi mereka akhirnya mundur karena aku hanya diam. Hatiku sudah beku. Rasanya susah sekali menerima orang baru. Meski sudah lama, ternyata aku tidak bisa melupakannya. Sekarang, di makam Ibu, aku membacakan doa untuknya hingga menangis tergugu. “Ayo pulang!” ajak kak Ilham.“Sebentar lagi.”
Pagi harinya aku berangkat kuliah seperti biasa diantar Kak Ilham. Hari ini dia bimbingan katanya. Entah dia mendapat Ilham dari mana sehingga mendadak mau bimbingan. Beberapa teman, ada yang mengagumi Kak Ilham. Mereka tahu jika kakakku adalah penyiar radio. (Baca novel karya Shofie Widianto, judulnya Terpikat Pesona Mas Penyiar Radio).Terkadang mereka memberikan kue, cokelat, dan lain sebagainya untuk kakakku. Padahal aku sudah mengatakan jika lelaki itu sudah memiliki kekasih, tetapi tidak satu pun yang percaya. Aku juga sering melihat beberapa teman kelasnya yang selalu nempel, padahal sudah jelas Kak Ilham menjauhi mereka.Aku sampai heran mengapa banyak yang menyukai Kak Ilham? Dia itu kere. Duitnya pas-pasan. Wajah doang yang lumayan. Padahal wanita tidak akan kenyang hanya dengan memandang wajah laki-laki. Mungkin inilah yang disebut cinta buta. Tidak bisa melihat logika. Cinta telah membutakan segalanya.“Nanti kamu pulang
“Kamu tidak apa-apa, Fai?”“Sakit Kak.”“Kakak tahu.”“Aku pikir tidak memiliki rasa itu, Kak. Aku tidak tahu rasa itu tumbuh kapan. Hingga akhirnya aku sadar setelah dia bersama yang lain. Rasanya sakit.”Kurasakan tangan Kak Ilham mengelus kepalaku beberapa kali. Dia pasti sedih melihatku seperti ini. Apalagi semua ini gara-gara temannya. “Kamu harus kuat. Oke. Masih banyak teman Kakak yang mau denganmu. Ada Adam, Malik, banyak pokoknya. Kamu tinggal pilih.”Mendengar banyolan Kak Ilham aku memukul dadanya. “Jahat!” Aku tersenyum dalam tangis. “Udah sana, cuci muka! Kita salat dulu. Berdoa sama Allah. Kamu nggak boleh nangis hanya gara-gara laki-laki. Maafin Kakak, ya. Kakak pikir kamu tidak akan mudah menyukainya ternyata kakak salah.”Azan maghrib berkumandang. Aku dan kak Ilham salat berjamaah. Kali ini cukup banyak yang datang. Selain warga sekitar, semua panitia sudah berkumpul sem
“Aku tidak bawa HP. Aku tidak ingin ada yang mengganggu kencan kita. Sengaja aku meninggalkannya di mobil.” Kencan? Kupikir dia hanya bercanda dengan kencan ini. Ternyata baginya ini sungguhan. Aku pun mulai mencoba menikmati kebersamaan kami. Tidak salah jika aku membahagiakan diri ini sebentar saja. “Ya sudah, pakai ponselku saja.”Setelah sekali jepretan, aku menunjukkann foto padanya. “Gimana hasilnya?” tanya Dilan. “Bagus.”“Boleh foto berdua?” tanya Dilan. “Selfie saja.”Aku ingin menolak, tetapi mulut berkata iya. Akhirnya aku yang memegang ponsel di depan sedangkan Dilan di belakang. Dia mengacungkan kedua jarinya hingga membentuk huruf V sedangkan aku mengacungkan dua jari membentuk love. “Saranghaeyo!”Ternyata hasilnya sangat memuaskan. Kami memang seperti pasangan yang sedang kencan. Melihat hasil foto yang bagus, aku mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan kami memi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments