Share

Kejutan

Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa.

***

Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu.

Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. 

Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa memiliki wajah yang tampan. Dua orang sahabatnya, selalu mendadani Delano untuk menutupi kekurangan-kekurangan pria itu.

Dengan mengenakan pakaian lengan panjang misalnya. Meskipun jika dari telapak tangan, masih jelas terlihat bahwa tangan kiri tentu berwarna berbeda dengan yang kanan. 

Kembali ke laptop Genk, kedua kawannya memilih tiduran memanfaatkan waktu sambil bermalas-malasan. Sementara itu, Delano justru sibuk mencari lowongan pekerjaan. Alasannya sepele, ia ingin kehidupan yang layak. Tidak hanya sebagai pencopet belaka. 

Siapa sangka, meski terkesan mengabaikan Delano, mereka memperhatikan dalam diam. Dua hari lagi adalah hari kelahiran Delano. Tentu saja dua orang sahabatnya ingin memberikan kejutan tak terlupakan.

Hendri memberikan isyarat dengan mengangkat kedua alisnya pada Bob. Membuat pria bertubuh subur itu mengerti dan segera mengikuti Hendri yang kurusnya gak ketulungan, menuju kamarnya.

"Ada apa Hen?" tanya Bob penasaran, dengan mulut penuh terisi makanan yang masih dikunyahnya. 

Hendri meringis, menatap jijik ingin muntah saat tatapan matanya terhenti di bibir Bob yang asyik mengunyah. "Aku ingin memberikan kejutan untuk Delano, bukankah dua hari lagi adalah hari jadinya yang ke dua puluh tiga tahun?"

Bob manggut-manggut, "Bagaimana caranya, dia itu pelik. Tidak semua hal dia sukai."

Bob segera menelan sisa makanannya kemudian meneguk rakus sebotol air yang berada di atas nakas hingga tandas. 

"Kita cari lowongan pekerjaan, yang sesuai jalan menuju impiannya."

Hendri menampakkan raut wajahnya sumringah, namun  berbeda dengan Bob yang bingung seketika mengerutkan keningnya dengan bibir melongo, mirip si Komo boneka hitam legam yang bikin macet jalanan saat sedang bingung.

Hendri terkekeh melihat ekspresinya. Bob memang lucu, bukan karena ia suka melawak. Melainkan ekspresi wajahnya yang datar, dilengkapi bibir tebalnya selalu suka melongo membuat siapapun saat melihat ingin terpingkal bahkan bisa jadi terjengkang tak tahan menahan tawa.

Bob seolah membius siapa saja yang menatap di manapun ia berada. Hendri masih berusaha mengatur napasnya, berusaha menahan tawanya.

"Ikut saja aku, gunakan keahlian kita untuk membantunya nanti." Bob berjalan mengikuti di belakang Hendri ketika menghampiri Delano.

"Hey Delano, aku menemukan ini di jalan." Hendri mengejutkan Delano dengan suara beratnya, iris mata pria aneh namun tampan itu tertuju di sebuah kertas di genggaman sahabatnya.

"Lowongan pekerjaan, di sebuah galeri pusat kota. Aku sangat ingin, tapi sebagai apa posisinya?"

Hampir saja Delano menyambar dan membacanya, kedua bola mata Hendri yang seketika membulat menarik kembali kertas tersebut dengan gerakan cepat dengan sekali hentakan saja.

'Hampir saja aku lupa memeriksa posisi pekerjaan apa yang disukai Delano.' Batin Hendri, jantungnya kini bergemuruh tak mampu menyelaraskan detakan yang makin tak berirama karena kegugupannya.

Dibacanya sesekali, ternyata benar. Posisi pekerjaan yang ditawarkan mengecewakan.

"Buat saja sebagai staf administrasi. Nanti begitu ada kesempatan, tawarkan lukisanmu juga untuk di pamerkan di sana. Biar lainnya jadi urusanku." Mata Hendri mengerjap berulang kali saat berkata. 

Tanpa curiga Delano segera membuat surat lamaran pekerjaan. Kemudian menyerahkannya pada Hendri dan Bob. Keduanya bergegas pergi menuju tempat tujuan mengantarkan surat lamaran. Sedangkan Delano, memilih menunggu sambil menyelesaikan lukisannya.

Setelah menyerahkan pada satpam galeri lukisan. Keduanya tidak langsung pulang, melainkan melakukan rutinitas sehari-hari sebagai pencopet. Meski cuaca sedang gerimis. Sepulang mencopet keduanya kembali mendatangi galeri lukisan. 

Bukan tanpa tujuan dan alasan, tetapi mereka dengan sengaja menyelinap dan mengganti nama Delano sebagai kandidat karyawan yang terpilih.

Semua kegiatan berakhir mulus, sesuai rencana keduanya. Mereka memang ahli urusan seperti itu.

Tepat tengah malam, keduanya kembali ke gedung tua tempat tinggal mereka. Langkah keduanya terhenti, ketika menemukan Delano tertidur di depan sebuah lukisan, dengan tangan yang masih menggenggam sebuah kuas.

Delano adalah sosok yang begitu peduli terhadap kedua temannya, itu sebabnya mereka pun sama pedulinya dengan Delano.

Melihat Delano tertidur dengan kondisi seperti itu, Hendri dan Bob merasa tak tega dan memindahkannya ke dalam kamar Delano.

***

Dua hari telah berlalu. Mentari pagi mulai terbit, menggantikan kelamnya malam dengan benderang. Embun pagi pun menyejukkan dedaunan sekitar gedung tua yang terlihat tak terawat dari arah luar.

Delano menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya, saat  pertama kali ia membuka matanya.

"Selamat hari jadi," ucap Bob dan Hendri bersamaan. Membuat Delano yang baru saja membuka mata mengerutkan keningnya. Bingung sekaligus terkejut, melihat dua orang di hadapannya mendatanginya sambil membawa kue ulangtahun.

Mungkin para temannya menganggap, hari kelahiran adalah hari bahagia yang perlu dikenang, dirayakan, dan selalu diulang. Namun, bagi Delano hari itu adalah hari duka. Di mana ibunya direnggut dan ia harus kehilangan kebahagiaannya.

Suara ponsel dari sakunya berbunyi, diiringi nada berdering dan juga tanda getar, membuyarkan lamunan Delano seketika. Lamunan tentang kepergian ibunya yang tidak wajar.

"Ya, halo .... siapa?" ujar Delano, mengawali pembicaraan dari seberang telepon setelah menggeser tombol di layar. 

"Namaku Calista, apakah aku berbicara dengan Delano?" tanya seorang wanita di seberang telepon. Terdengar memastikan jika ia tidak salah sasaran.

"Ya, aku sendiri yang bernama Delano. Kenapa?" Delano justru berbalik tanya kebingungan.

"Temui aku di galeri besok pagi. Untuk panggilan interview, jika cocok bisa langsung bekerja. Maka siapkan diri," ucap Calista dari seberang telepon. Setelahnya, ia menutup panggilan telepon secara sepihak.

Seketika senyuman kecil mengembang di bibir Delano. Dari sini petualangan yang sebenarnya, dalam hidup Delano dimulai. 

"Aku diterima di galeri lukisan pusat kota, apakah kalian bisa membantuku untuk mencari pakaian yang pas untuk besok pagi?" Delano menghampiri kedua temannya dengan raut wajah sumringah.

"Tentu, jangan cemaskan apapun. Kamu bisa andalkan kami, Delano. Tiup dulu lilinnya, aku sudah lapar," ucap Bob yang sejak tadi menelan ludahnya sendiri menahan keinginan memakan kue di hadapannya.

"Dasar roti sobek," gerutu Delano. Namun disambut tawa canda oleh kedua temannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status