Misteri Hilangnya Sahabatku

Misteri Hilangnya Sahabatku

last updateПоследнее обновление : 2024-05-27
От :  RahmaniarВ процессе
Язык: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Недостаточно отзывов
11Главы
681Кол-во прочтений
Читать
Добавить в мою библиотеку

Share:  

Report
Aннотация
Каталог
SCAN CODE TO READ ON APP

Синопсис

Raisya dan keluarganya adalah pendatang baru di sebuah desa terpencil di kaki pegunungan. Di desa itu, Raisya memiliki dua orang sahabat dekat, namanya Salwa dan Hafizah. Hafizah adalah sahabatnya yang terobsesi menjadi seorang arkeolog terkenal, dia bersepakat dengan Salwa untuk memaksanya ikut menyelidiki sebuah bangunan sejarah di desa mereka. Padahal, memasuki bangunan itu sama saja dengan melanggar pantangan desa. Saat ketiganya berada dalam bangunan tua, Hafizah tiba-tiba menghilang secara misterius. Para sepuh sebagai pemegang kekuasaan tertinggi desa bukannya melakukan pencarian, malah mengadakan acara ritual yang tidak masuk akal. Namun sebaliknya, keadaan desa bertambah kacau, warga kerap digemparkan oleh penemuan jasad gadis-gadis yang tidak dikenal. Merasa ada yang salah dengan pemikiran penduduk desanya, Raisya akhirnya mengajak Salwa untuk menyelidiki bangunan tua. Namun, penampakan penunggu-penunggu bangunan itu sekaligus kejadian-kejadian aneh membuat keduanya kewalahan. Saat melarikan diri dari bangunan tua, mereka bertemu dengan Mbah Kur, dia mengatakan bahwa Hafizah masih hidup. Mbah Kur adalah pria tua sebatang kara yang hidup terisolir di atas bukit. Suatu hari datanglah seorang detektif tampan yang menyamar sebagai mahasiswa KKN dari universitas kota. Sebuah pertemuan membuat ketiganya bekerja sama. Detektif menjadikan Mbah Kur sebagai tersangka karena tidak sengaja menemukan sebuah dokumen keluarga milik Mbah Kur yang tercecer. Mereka akhirnya mendaki bukit untuk menemukan kediaman Mbah Kur, dan benar saja Hafizah berada di sana. Awalnya Hafizah diculik lalu memutuskan untuk tinggal sementara di rumah Mbah Kur setelah mendengar isi percakapan dari kakeknya sendiri yang bernama Qasim dengan beberapa pengikutnya, bahwa Kek Qasim akan melakukan ritual pernikahan sesat dengannya. Selama ini Kek Qasim mempengaruhi penduduk desa dengan mitos sesatnya, dia pula yang membunuh para gadis untuk dijadikan tumbal pengganti, supaya Raja Louis yang mereka percaya sebagai iblis penguasa bangunan tua, dapat mengembalikan Hafizah. Dengan menjadikan Hafizah sebagai umpan, Raisya akhirnya berhasil menggagalkan pernikahan sesat itu sekaligus membuka kedok Kek Qasim.

Узнайте больше

Chapter 1

Tragedi

Aku Raisya, usiaku 17 tahun. Aku tinggal di desa Pulo Tanjong, sebuah desa terpencil yang terletak di kaki pegunungan tepatnya di bagian Barat Tanah Rencong. Meskipun terpencil, sentuhan tangan pemerintah sudah terasa jauh sebelum aku dan keluarga bermukim ke desa ini, sebuah sekolah dasar yang dibangun di jalur utama desa menjadi buktinya.

Satu hal yang menarik perhatianku tentang desa ini adalah adanya sebuah bangunan tua khas Eropa di dalam pekarangan SD tersebut.

Kudengar, bangunan unik berbentuk kastil itu telah ada sejak abad ke-18, konon katanya bangunan itu adalah bangunan setan, siapa saja yang berani masuk maka nyawa menjadi taruhannya. Oleh karena itu, penduduk desa Pulo Tanjong menjunjung tinggi sebuah pantangan dari para leluhur mereka untuk tidak memasuki bangunan tua itu.

***

"Usir dia dari desa ini!"

"Bakar rumahnya!"

"Pasung dia!"

Masih kuingat kejadian beberapa bulan yang lalu, bagaimana aku dan keluargaku diarak dan dihakimi oleh seluruh penduduk desa. Aku dianggap sebagai penyebab dari hilangnya Hafizah, aku dituduh telah mempengaruhi Hafizah untuk masuk ke dalam bangunan tua, sehingga ia diculik dan dibawa oleh makhluk astral penunggu bangunan tua itu.

"Tolong jangan usir kami, saya berjanji akan mengawasi Raisya, saya mohon... kasihanilah kami..." betapa hinanya ayahku memohon-mohon untuk meminta belas kasihan dari penduduk desa, lalu bertekuk lutut di depan kek Qasim, kakeknya Hafizah yang paling dihormati di desa ini.

Ibuku menangis histeris sambil menggendong adikku Malik yang masih kecil, sementara aku sendiri sudah dipasung. Bersuara pun tidak bisa, karena yang kami hadapi adalah sepuh-sepuh desa, yakni sebagai pemegang kekuasaan tertinggi desa. Bahkan Pak RT sendiri hanya diam membisu kala menyaksikan kami yang diperlakukan secara tidak adil, wajah harunya menyiratkan bahwa ia tidak sepemikiran dengan penduduk desa, namun tetap saja itu tak berarti.

Ayah tidak bisa berbuat apa-apa mengingat kondisi keuangan kami sedang pelik, tidak ada sanak saudara karena kami adalah keluarga rantau yang kebetulan bermukim ke desa pelosok ini.

Satu anggukan dari Kek Qasim saat itu adalah alasan mengapa kami masih menetap di desa ini, tentunya dengan syarat-syarat yang telah disepakati.

Lamunanku buyar seketika saat butiran kristal ini terjun bebas dari pelupuk mataku. Bila kuingat kejadian itu hatiku berkobar, rasanya ingin melakukan segala cara untuk bisa menemukan Hafizah sekalipun harus kembali masuk ke dalam bangunan itu lagi.

Namun lagi-lagi aku dipatahkan oleh janjiku pada ayah, bahwa aku tidak akan melakukan hal-hal aneh lagi.

Kuusap air mata dengan ujung lengan kemeja seragam sekolah yang kupakai. Dengan langkah yang terasa berat, kususuri jalanan berkerikil penuh debu.

Jalan pulang menuju desa tempat tinggalku masih setengah kilometer lagi, ada banyak siswa lain yang pulang sekolah dengan jalan kaki juga sepertiku.

"Raisya...!"

Aku berbalik, kudapati Salwa berlari kecil menghampiriku.

"Kamu abis nangis lagi, Sya?" Salwa mulai mensejajarkan langkahnya denganku.

"Tidak, banyak debu jadi mataku perih," jawabku asal.

"Aku adalah sahabat dekatmu, jadi percuma berbohong."

"Oleh karena itu, kali ini jangan ada pertanyaan lanjutan lagi kenapa aku menangis."

"Aku merasa sangat bersalah padamu, ingin sekali jelasin sama ibunya Fizah bahwa ini bukan salahmu. Kami yang salah, kami yang telah memaksamu ikut masuk ke sana."

"Dan sialnya aku setuju," aku tersenyum pahit.

"Sulit mencari keadilan di desa kita," ucap Salwa.

"Dan aku sendiri yang akan mencetuskan keadilan itu disini," aku membalas mantap dengan pandangan lurus ke depan.

"Sya..." Salwa menatapku seraya memasang wajah penuh rasa iba, dan aku sangat membenci itu.

"Jangan menatapku seperti itu, aku tidak semenyedihkan itu kali, Sal!" aku tersenyum karena aku tidak suka dikasihani, bukan angkuh melainkan tidak nyaman saja membuat seseorang terbebani dengan permasalahanku meskipun hanya sekedar rasa kasihan.

"Hafizah adalah cucu kesayangan Kek Qasim dan kamu penduduk asli desa ini, sedangkan aku hanya pendatang, jelas di antara kita akulah yang dijadikan sebagai kambing hitam. Jadi... yang mestinya perlu dikasihani adalah pemikiran pemimpin desa yang belum bisa memperlakukan warganya secara adil," lanjutku.

"Aku tidak peduli dengan penduduk desa, sampai kapan pun aku tetap berpihak padamu, Sya."

Aku berhenti menyahut.

Setiap hari kami menempuh jarak sekitar 1,5 km menuju sekolah ke desa yang sedikit lebih maju dari desa kami. Kebanyakan masyarakat desa masih bertransportasi menggunakan sepeda, begitu juga dengan ayahku yang berprofesi sebagai PNS.

Benar, beberapa hari setelah kejadian yang membuat kami hampir terusir dari desa ini, ayahku mendapat panggilan kerja, tentu saja setelah mengurusnya dengan susah payah.

Aku sudah terbiasa jalan kaki dan aku sangat menikmatinya, pemandangan desa ini tidak pernah membosankan, bahkan bagiku serasa indah di setiap harinya. Tentu tidak seindah nasibku, hampir seluruh penduduk desa mengucilkan aku sekaligus keluargaku. Bagi mereka melanggar pantangan desa khususnya bagi pendatang baru seperti kami adalah dosa besar, tidak masuk akal!

Ayah berjanji akan membawa kami keluar dari desa ini, desa yang dikendalikan oleh sepuh-sepuh yang rata-rata tidak terpelajar ini. Akan tetapi, hati kecilku menolak, aku tidak akan keluar dari desa ini sebelum aku berhasil memperbaiki nama baikku sekeluarga, sekaligus membawa Hafizah ke hadapan Kek Qasim baik dalam keadaan bernyawa maupun berupa jasad.

Terkadang aku begitu menyesali keputusanku, andai saja saat itu sedikit saja aku menguatkan hati. Benar kata orang, terkadang memiliki rasa tidak tegaan itu bagaikan lilin, berusaha menjadi penerang bagi yang lain, namun malah diri sendiri yang binasa.

Ya, semua masalah yang menimpa keluargaku berawal dari kecerobohanku beberapa bulan yang lalu.

Saat itu...

Aku menyetujui ajakan Hafizah dan Salwa untuk ikut masuk ke dalam bangunan tua.

"Aku tidak mau," tekanku saat kedua sahabatku itu memaksaku untuk yang kesekian kalinya.

"Ayolah Sya, demi persahabatan kita. Aku yakin kita bertiga akan menjadi arkeolog terkenal setelah ini," lagi-lagi Hafizah bersikeras.

"Masuk ke dalam bangunan tua itu sama saja melanggar pantangan terbesar desa kita, aku tidak ingin kita terkena masalah jika ketahuan warga terutama kakekmu Zah," entah berapa puluh kali aku mengatakan hal yang sama itu.

"Benar juga. Katanya bangunan itu banyak penunggunya lagi, ada hantu tentara penjajah disana," sahut Salwa sembari bergidik.

"Sal... kok kamu gitu sih, tadi kan kamu setuju buat ikut," gerutu Hafizah, merasa kesal karena Salwa yang tiba-tiba beralih dari pihaknya.

Salwa terkekeh, sementara aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

"Aku percaya dengan hal-hal gaib. Tapi, jika kita berpikiran negatif terus, otomatis lingkungan sekitar kita juga akan mengeluarkan aura negatif, begitu pula dengan bangunan tua itu. Sebenarnya aku tidak sepaham dengan kakekku, dia benar-benar membuat penduduk desa ketakutan dengan mitosnya itu. Setan itu menyesatkan! Semakin manusia takut semakin mereka senang untuk mengganggu. Lihatlah para arkeolog dunia yang sering kita baca dalam buku sejarah, ngga ada hantu-hantuan justru mereka diberi penghargaan oleh dunia karena penemuannya itu."

"Kau memang benar Fizah, tapi pribahasa mengatakan, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Aku hanya pendatang baru di desa ini, jadi aku tidak mau terkena masalah karena melanggar sesuatu yang ditetapkan disini," lagi-lagi aku menolak.

"Sya... bangunan tua itu dibangun oleh para penjajah, pasti di dalamnya tersimpan benda-benda yang memiliki nilai sejarah. Jika kita berhasil mempublikasinya bukan kita aja yang terkenal tapi desa kita juga akan maju."

"Benar juga ya..." timpal Salwa.

"Kita hanya masuk sebentar untuk melihat-lihat dulu. Aku punya kuncinya! Ini kunci gerbang SD dan yang paling penting kunci pintu utama bangunan tua. Susah payah aku mencuri kunci ini dari kakekku kemarin," Hafizah menunjukkan kunci-kunci itu dengan wajah berbinar.

Aku dan Salwa menatap tak percaya, bagaimana Hafizah bisa senekad itu?

"Ayolah Sya... kumohon ayolah..." wajah cantik bak Putri Kerajaan Eropa itu memelas sambil menangkupkan kedua tangannya.

"Iya Sya, kasian juga Fizah. Mana udah ngambil kuncinya lagi," kali ini keduanya bekerja sama untuk merayuku.

Tentu saja aku tidak tega melihat ekspresi kedua sahabatku itu, dan akhirnya tanpa pikir panjang lagi, aku pun mengangguk setuju.

Sepulang dari sekolah tepatnya setelah memastikan SD itu benar-benar sepi, kami bertiga segera menyelinap masuk.

Sebuah jam besar berbentuk persis seperti bangunan tua itu sendiri, tampak menempel secara permanen di atas dinding bagian depan bangunan, jam yang unik namun mengandung kemistisan. Melihatnya saja aku merinding.

Kata penjaga sekolah, jam itu berhenti berputar pada jam 02.52 dini hari dan berfungsi kembali pada jam 14.52 siang hari begitu seterusnya, padahal baterainya sudah beberapa kali digonta-ganti dengan yang baru, namun tetap saja tidak berpengaruh.

"Aku udah nggak sabar nih, bentar lagi kita terkenal guys," ucap Hafizah yang berjalan paling depan karena dia yang akan membuka pintu utama bangunan tua.

"Bismillah dulu Zah," saranku sebelum ia memasukkan anak kunci.

Hafizah tampak kesulitan, beberapa kali ia memasukkan ulang anak kunci namun tak berhasil, mungkin sudah berkarat.

"Kok aku merinding ya," ucap Salwa bergetar. Pandangannya selalu ke atas ventilasi pintu, tepatnya pada jam aneh itu.

"Kok perasaanku ngga enak ya," balasku.

"Baiknya kalian bantu aku dari pada ngoceh gak jelas," ucap Hafizah kemudian.

Aku dan Salwa akhirnya berusaha ikut membuka pintu berukuran raksasa itu secara bergantian. Beberapa menit kemudian usaha kami ternyata membuahkan hasil.

Pintu terbuka bersamaan dengan suara derit engsel pintu yang berkarat bergema ke bagian dalam bangunan. Aroma dupa, aroma itu yang pertama kali menyambut indra penciuman kami. Namun perhatian kami sontak teralihkan oleh isi bangunan ini.

"Amazing..." ucap Hafizah.

"Guci mahal, nih! Bisa kaya mendadak kalau kita jual," ucap Salwa seraya memasukkan guci kecil ke dalam tasnya

"Taruh balik!" sentak Hafizah membuat Salwa tersenyum kikuk, lalu meletakkan kembali benda bersejarah itu pada tempatnya.

Aku sendiri merasa takjub melihat isi bangunan angker yang pantas disebut sebagai kastil kerajaan ini, meskipun katanya tidak ada seorang pun penduduk desa yang pernah memasukinya, namun kondisi bagian dalamnya tampak terjaga dan terawat walau sedikit berdebu.

"Ada singgasananya juga," ucap Salwa yang tiba-tiba saja duduk di atas singgasana raja dengan santainya.

"Bisa-bisa si Louis marah tuh, main duduk aja," celetukku.

Meskipun isi bangunan ini megah, namun suasananya remang-remang, kalau saja tidak ada lubang ventilasi di bagian atas tiap-tiap jendela, otomatis tempat ini gelap total.

Di dalam ruangan yang luas ini, ada banyak jejeran pintu. Namun, hanya satu pintu ruangan saja yang berhasil kami buka karena memang tidak terkunci.

"Gudang ini," ucapku seraya menutup kembali pintu gudang yang berisi bangku dan meja tak terpakai.

"Tidak ada yang menarik lagi disini, ayo ke lantai dua!" ajak Hafizah yang berjalan di belakang aku dan Salwa.

"Aku ngga sabar lagi, bentar lagi kita terkenal."

"Kalau terkenal kita bisa dapat uang banyak kan?" tanya Salwa.

"Se-ga-la-nya," tekan Hafizah yang membuat Salwa berbinar.

"Aku jalannya di tengah dong," ucap Salwa seraya menukar posisinya dengan Hafizah.

Saat akan menginjakkan kaki pada anak tangga pertama, aku yang berjalan paling depan refleks berbalik ke belakang karena aku mendengar helaan napas berat pria, namun samar dan bahkan hampir tidak terdengar.

Spontan kuputar badan, "Teman-te..." ucapanku terputus.

Betapa kagetnya aku karena tidak mendapati Hafizah, padahal tadi dia yang paling banyak mengoceh.

"Loh! Fizah mana Sal?" tanyaku, refleks Salwa memutar tubuh ke belakang.

"Tadi ada Sya, kok sekarang ngga ada... jangan-jangan Raja Louis..." segera kuisyaratkan Salwa untuk diam sebelum ia menyelesaikan kata-katanya.

"Kita cari dia," ucapku kemudian.

Aku dan Salwa jelas panik, mengingat Hafizah tipikal gadis cerdas yang selalu serius, mustahil dia bercanda.

Dengan langkah tergesa-gesa aku dan Salwa kembali menyisir tempat yang telah kami lewati sebelumnya, termasuk gudang, karena hanya itu ruang satu-satunya yang tidak terkunci, dalam kondisi ruangan setengah gelap, kami menggeledah bangku-bangku tapi nihil, Hafizah tidak berhasil kami temukan, kemana dia...

"Aku takut Sya, Raja Louis pasti sudah menculik Fizah," ucap Salwa bergetar, tangannya tidak pernah lepas dari peganganku.

Hari mulai gelap, tak ada lagi cahaya yang bisa menembus ke dalam bangunan tua. Aku dan Salwa begitu ketakutan sembari duduk meringkuk dalam kegelapan. Kami terpaksa tidak membuka pintu takut ketahuan warga yang lewat, karena posisi pintu utama berhadapan langsung dengan jalan desa.

Keluar tanpa Hafizah juga tidak mungkin, wajah Kek Qasim benar-benar menyita pikiranku, entah bagaimana jadinya nanti kalau ia tahu bahwa cucu kesayangannya menghilang di dalam bangunan tua ini.

"Sudahlah Sya, ayo kita keluar cari bantuan!" ucap Salwa mulai terisak.

"Kita bisa terkena masalah Sal," jawabku seraya terus memikirkan jalan keluar.

Salwa terus saja menangis ketakutan seraya merengek minta keluar. Otakku masih berputar mencari solusi lain, jika keluar dan meminta bantuan warga sama saja dengan menenggelamkan diri ke dalam rawa buaya, aku dilema.

"Kamu egois, Sya!"

Salwa tiba-tiba berlari ke arah pintu utama, ini membuatku tak sempat lagi memikirkan cara lain selain menyetujuinya.

***

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Комментарии

Комментариев нет
11
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status