Halo semua, maaf karena sempat hiatus, namun kali ini aku sedang fokus merampungkan buku. Jangan lupa ramaikan kolom komentar ya. Salam hangat. Lintang.
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
BRUK! Pagi ini lagi-lagi pria kecil itu tersungkur di lantai. Beberapa orang tertawa melihat hal itu, beberapa lainnya mencibirnya dengan kata makian. Bukan tanpa alasan, tubuhnya memiliki warna kulit yang berbeda. Sawo matang dan putih albino. Inilah yang membuatnya terlihat berbeda. Siapa yang menyukai warna kulit seperti ini? Tidak ada, bahkan Delano membencinya. Pemuda kecil itu bangkit, mengepalkan tinju dengan amarah yang meluap-luap. Delano tidak suka dirinya dihina, apa lagi dipandang rendah oleh orang lain. Karena hal inilah membuat karakter Delano menjadi pemberani. Plak. Pukulan mendarat di wajah teman-temannya, pukulan marah bercampur sedih menjadi satu. "Ada yang berkelahi!" para murid mulai berteriak.
Setelah berhasil mengurus surat pindah sekolah, akhirnya mereka meninggalkan tempat itu.Tepat di depan pintu gerbang, Delano kembali menoleh menatap gedung kelasnya dengan raut wajah sendu.Bangunan tua berderet namun masih tampak berkelas. Bangunan penuh dengan kenangan dan juga meninggalkan bekas luka di benak bocah kecil bernama DelanoDia hanya bisa pasrah. Tidak ada yang menginginkan keberadaannya di tempat itu. Mengingat kejadian sebelumnya, seketika membuat Delano memantapkan diri untuk pergi.Delano berjalan sambil menggenggam tangan sang ibu menuju mobilnya yang tua dan usang. Bahkan lebih pantas disebut sebagai rongsokan berjalan oleh netra yang menangkap keberadaannya.Sesampainya di dalam mobil, keduanya saling bertatapan mata. Delano menatap lekat sang ibu dengan rasa bersalah. Sementara sang ibu menatap sendu raut wajah Delano yang masih terliha
Kesedihan yang dirasakan Delano benar-benar kesedihan yang tak berujung. Pikirannya kalut. Dalam rasa pilu yang menyayat jiwanya begitu dalam, Delano terus berlari di bawah guyuran hujan lebat. Netranya menemukan sebuah truk angkutan barang yang sedang berhenti di ujung jalan. Dengan sekuat tenaga, kakinya yang mungil terus memanjat dan diam lalu bernaung di dalam bak bagian belakang truk. "Ibu ... kau bahkan belum membawaku ke air mancur pusat kota," lirih Delano dalam tangisnya. Ia berusaha menahan isakan tangisnya, saat mengetahui sang sopir naik dan mulai melajukan truk pengangkut barang tersebut. Delano duduk meringkuk di bak bagian belakang truk, sementara sebelah tangannya merogoh gambar potret kebersamaan dengan sang ibu yang selalu ia simpan di jaket yang ia kenakan. Dan sekarang, potret itu akan menjadi kenangan sekaligus pengingat luka baginya. Entah be
Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya. "Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.
Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkanmemilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.***Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa