Home / Thriller / Tertipu Masa Lalu / Dorongan Mimpi

Share

Dorongan Mimpi

Author: Lia Lintang
last update Last Updated: 2021-08-13 02:06:32

Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan  banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya.

Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan.

Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar  berukuran A3.

Ia menggoreskan ulang sketsa wajah yang masih melekat jelas di benaknya. Mata Bob tidak pernah melepaskan pergerakannya dari pria di hadapannya, Delano terlihat begitu mahir melukis. Bahkan setiap lekukan bagian wajah yang terlihat semakin jelas.

Sesekali Bob menggoda dengan kelucuannya dan Delano sesekali menyunggingkan senyuman terpaksa ke arahnya.

"Delano, sejak kapan kamu bisa melukis?" tanya Bob yang merasa penasaran.

"Sejak pertama kali bisa memegang pena," ujarnya, malas.

"Wanita di lukisanmu, bagaikan bidadari impian yang terlihat imut bagai marmut." Bob menelengkan kepalanya berusaha merayu sembari memamerkan sklera matanya agar terlihat lucu namun justru seram.

Delano terkekeh, "Kau hanya mencoba bersikap lucu, Bob. Tapi menurutku, penampilanmu yang gembul seperti roti sobek itu lebih menarik," dengkus Delano, yang lelah dengan ocehan sahabatnya.

"Apakah ini gambar Mama kamu?" tanya Bob, memastikan jika wanita cantik dalam lukisan Delano adalah perempuan yang sangat dicintainya.

"Ya," balas Delano dengan kalimat iritnya.

Sementara buku jemarinya mengusap lembut sketsa di kertas gambar.

Bayangkan, Bob yang sedari tadi berusaha merayu dengan berbagai cara nyatanya gagal juga.

Sikap Delano benar-benar membuat si Bob jengah dan mengerucutkan bibirnya, ia langsung pergi meninggalkan kamar Delano.

"Roti sobek, jika kamu pergi—" belum sempat Delano melanjutkan kalimatnya, ia terkejut melihat Hendri datang menghampiri keduanya benar-benar membawakan roti sobek untuk mereka dengan bau khas roti yang baru di panggang. Begitu menggoda dan menyeruak aromanya.

Mata Bob membola namun tak sanggup marah, karena ia bukan tipikal pemarah seperti dua rekannya.

Begitulah cara mereka berbaikan setiap kali terjadi pertengkaran diantara ketiganya. Makanan selalu mengakhiri pertikaian antara ketiganya.

***

Pukul 06.00

Pagi hari, di sebuah gedung yang terlihat tua dan tidak berpenghuni dari luar, namun megah di dalam.

Delano tersentak, ketika tubuhnya terjatuh ke lantai. Perlahan ia duduk dan bersandar sambil mengingat kembali mimpi yang baru saja terjadi.

Ia bermimpi, ibunya datang dan kecewa mengetahui Delano putus sekolah.  Dalam mimpinya, sang ibu menangis dan duduk sendirian di sebuah kursi berwarna putih. Letaknya di sebuah taman kota. 

Saat itu, Delano ingin mendekat. Namun karena kecewa, sang ibu justru menjauh dan menghilang. Kemudian ia terbangun setelah jatuh dari ranjang empuknya.

Setelah kesadarannya terkumpul, Delano melesat menuju kamar mandi lalu bersiap pergi ke dapur. Berbeda dengan anak lain seusianya, Delano yang malang terbiasa mandiri bahkan ia menyiapkan sarapannya sebelum meninggalkan rumah. Bersamaan dengan itu, kedua temannya datang dengan alasan yang sama 'sarapan'.

Harus kedua sahabatnya akui, Delano meski terlihat aneh tetapi terlihat cekatan melakukan apapun. Ia cenderung sedikit bicara ketimbang dua temannya. Penampilannya pagi itu terlihat begitu berbeda. Membuat kedua  menaruh curiga.

"Kamu mau kemana dengan pakaian serapi ini, Delano?"

Bob meraih roti yang baru saja diolesi selai oleh Delano sambil langsung duduk di kursi tepat di hadapan Delano.

"Aku ingin kembali pergi ke sekolah," jawab Delano dengan kepala tertunduk.

"Tidak! Kita ini preman! Preman tidak boleh belajar!" Suara bariton khas Hendri terdengar membelah seisi ruangan.

Kedua temannya pun terhenyak, bahkan roti yang di genggam Bob hampir terjatuh mendengar nada Hendri meninggi satu oktaf.

Delano terlihat begitu marah mendengar perkataan Hendri, ia berjalan mendekat. Sementara Hendri yang sebenarnya dilanda ketakutan tiap kali menatap wajah penuh amanah Delano, mati-matian berusaha membalas tatapannya.

Netra Delano menjelajah, memperhatikan tubuh Hendri yang nyaris tidak bisa ditutupi jika dirinya sedang gemetar.

"Jika kalian melarang, aku akan pergi. Kita tidak bisa lagi menjadi teman, atau pun keluarga! Jika kalian masih bisa mendungku, aku akan tetap di sini, tanpa meninggalkan semua kegiatan yang sudah kita sering lakukan dan sepakati!"

Hendri masih terdiam. Meski jemarinya begitu jelas meremas-remas ujung kain pakaiannya. Ia bukan sekedar diam. Tetapi berusaha berpikir, dan memilih-milih kalimat apa yang tepat agar Delano mau mengurungkan niatnya.

"Jika kalian diam aku anggap setuju!"

Delano melesat begitu saja, meninggalkan tempat. Sedangkan kedua temannya segera mengikuti dengan langkah lebar agar tidak tertinggal.

***

Delano sedang mengikuti pelajaran dengan khidmat, meski beberapa siswa lainnya riuh membicarakan dengan suara jelas bahwa 'penampilannya aneh amat, belang, gak wajar' namun Delano sedikitpun tidak merespon.

Sementara di luar sekolah, kedua temannya yang juga berpenampilan rapi menunggu kepulangan Delano, mereka berdiri tepat di depan satpam.

Dan saat Delano berlari menuju pulang, keduanya segera berhambur mendekati Delano, "Delano, apa yang diajarkan di sekolah? Kenapa kamu masih bisa sekolah?"

Delano mengerutkan keningnya, kini ia paham. Kedua sahabatnya hanya mengenyam pendidikan sebentar saja. "Aku masih memiliki surat pindah dari sekolah lama, semua masih tersimpan di ransel milikku."

"Kalian bisa sekolah lagi jika kalian mau," Delano menukas dingin, lalu menggandeng kedua kawannya menjauhi sekolahnya.

Hari itu mereka tidak mencopet, ketiganya memilih pulang. Menunggu Delano menceritakan kisahnya. 

Di rumah, Hendri dan Bob menceritakan masa lalunya satu persatu, di saat bersamaan Delano mendengar sembari mengasah kemampuannya melukis. Delano juga menunjukkan semua semua buku pelajarannya agar kedua temannya juga belajar. 

Ketika keduanya asyik belajar, mereka terkejut melihat lukisan yang Delano buat, "Delano," panggil Hendri tertegun.

"Ya, bukankah kau adalah anak kecil seumuranku?"

"ya, lalu." Delano menoleh dan melemparkan tatapan iris matanya yang dingin.

"Bakatmu, tidak wajar untuk anak seusia kamu!"

Delano memutar bola matanya, jengah dengan ucapan Hendri. Delano di masa lalu sudah terbiasa dengan sanjungan seperti itu. Namun berakhir jatuh. 

"Jangan pikirkan tentang diriku, aku sudah terbiasa dengan kata 'aneh' hampir semua berkata begitu. Aku hanya ingin merubah nasibku suatu hari nanti, meski saat ini aku adalah pencopet kecil. Namun, suatu hari nanti aku ingin jadi pelukis ternama."

Kedua begundal kecil di hadapannya memicingkan matanya, tidak paham ke mana arah perkataan Delano. Setelahnya, Hendri mendelik ke arah Bob yang seketika mengedikkan bahunya. Sebagai jawaban ia juga tidak paham dengan perkataan Delano 

Delano tersenyum getir, "Aku ingin seperti Jeff Hilton."

Kedua teman Delano semakin tersentak mendengarnya. Namun juga tertawa mengejek.

"Kamu sudah gila, Delano. Apakah kamu bermimpi lagi?"

"Ya, ini adalah dorongan mimpiku."

— To be continued

— follow me on IG: @lia_lintang08

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tertipu Masa Lalu   Terkurung Mimpi

    Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga

  • Tertipu Masa Lalu   Bab 159. Kekuatan Batu Mera Safir

    "Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh

  • Tertipu Masa Lalu   Mencari Lukisan Misterius

    Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng

  • Tertipu Masa Lalu   Membebaskan Jiwa Kejam

    Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata

  • Tertipu Masa Lalu   Ritual Mencekam

    Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s

  • Tertipu Masa Lalu   Kecemasan Ben Daniel

    Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status