Share

Dorongan Mimpi

Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan  banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya.

Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan.

Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar  berukuran A3.

Ia menggoreskan ulang sketsa wajah yang masih melekat jelas di benaknya. Mata Bob tidak pernah melepaskan pergerakannya dari pria di hadapannya, Delano terlihat begitu mahir melukis. Bahkan setiap lekukan bagian wajah yang terlihat semakin jelas.

Sesekali Bob menggoda dengan kelucuannya dan Delano sesekali menyunggingkan senyuman terpaksa ke arahnya.

"Delano, sejak kapan kamu bisa melukis?" tanya Bob yang merasa penasaran.

"Sejak pertama kali bisa memegang pena," ujarnya, malas.

"Wanita di lukisanmu, bagaikan bidadari impian yang terlihat imut bagai marmut." Bob menelengkan kepalanya berusaha merayu sembari memamerkan sklera matanya agar terlihat lucu namun justru seram.

Delano terkekeh, "Kau hanya mencoba bersikap lucu, Bob. Tapi menurutku, penampilanmu yang gembul seperti roti sobek itu lebih menarik," dengkus Delano, yang lelah dengan ocehan sahabatnya.

"Apakah ini gambar Mama kamu?" tanya Bob, memastikan jika wanita cantik dalam lukisan Delano adalah perempuan yang sangat dicintainya.

"Ya," balas Delano dengan kalimat iritnya.

Sementara buku jemarinya mengusap lembut sketsa di kertas gambar.

Bayangkan, Bob yang sedari tadi berusaha merayu dengan berbagai cara nyatanya gagal juga.

Sikap Delano benar-benar membuat si Bob jengah dan mengerucutkan bibirnya, ia langsung pergi meninggalkan kamar Delano.

"Roti sobek, jika kamu pergi—" belum sempat Delano melanjutkan kalimatnya, ia terkejut melihat Hendri datang menghampiri keduanya benar-benar membawakan roti sobek untuk mereka dengan bau khas roti yang baru di panggang. Begitu menggoda dan menyeruak aromanya.

Mata Bob membola namun tak sanggup marah, karena ia bukan tipikal pemarah seperti dua rekannya.

Begitulah cara mereka berbaikan setiap kali terjadi pertengkaran diantara ketiganya. Makanan selalu mengakhiri pertikaian antara ketiganya.

***

Pukul 06.00

Pagi hari, di sebuah gedung yang terlihat tua dan tidak berpenghuni dari luar, namun megah di dalam.

Delano tersentak, ketika tubuhnya terjatuh ke lantai. Perlahan ia duduk dan bersandar sambil mengingat kembali mimpi yang baru saja terjadi.

Ia bermimpi, ibunya datang dan kecewa mengetahui Delano putus sekolah.  Dalam mimpinya, sang ibu menangis dan duduk sendirian di sebuah kursi berwarna putih. Letaknya di sebuah taman kota. 

Saat itu, Delano ingin mendekat. Namun karena kecewa, sang ibu justru menjauh dan menghilang. Kemudian ia terbangun setelah jatuh dari ranjang empuknya.

Setelah kesadarannya terkumpul, Delano melesat menuju kamar mandi lalu bersiap pergi ke dapur. Berbeda dengan anak lain seusianya, Delano yang malang terbiasa mandiri bahkan ia menyiapkan sarapannya sebelum meninggalkan rumah. Bersamaan dengan itu, kedua temannya datang dengan alasan yang sama 'sarapan'.

Harus kedua sahabatnya akui, Delano meski terlihat aneh tetapi terlihat cekatan melakukan apapun. Ia cenderung sedikit bicara ketimbang dua temannya. Penampilannya pagi itu terlihat begitu berbeda. Membuat kedua  menaruh curiga.

"Kamu mau kemana dengan pakaian serapi ini, Delano?"

Bob meraih roti yang baru saja diolesi selai oleh Delano sambil langsung duduk di kursi tepat di hadapan Delano.

"Aku ingin kembali pergi ke sekolah," jawab Delano dengan kepala tertunduk.

"Tidak! Kita ini preman! Preman tidak boleh belajar!" Suara bariton khas Hendri terdengar membelah seisi ruangan.

Kedua temannya pun terhenyak, bahkan roti yang di genggam Bob hampir terjatuh mendengar nada Hendri meninggi satu oktaf.

Delano terlihat begitu marah mendengar perkataan Hendri, ia berjalan mendekat. Sementara Hendri yang sebenarnya dilanda ketakutan tiap kali menatap wajah penuh amanah Delano, mati-matian berusaha membalas tatapannya.

Netra Delano menjelajah, memperhatikan tubuh Hendri yang nyaris tidak bisa ditutupi jika dirinya sedang gemetar.

"Jika kalian melarang, aku akan pergi. Kita tidak bisa lagi menjadi teman, atau pun keluarga! Jika kalian masih bisa mendungku, aku akan tetap di sini, tanpa meninggalkan semua kegiatan yang sudah kita sering lakukan dan sepakati!"

Hendri masih terdiam. Meski jemarinya begitu jelas meremas-remas ujung kain pakaiannya. Ia bukan sekedar diam. Tetapi berusaha berpikir, dan memilih-milih kalimat apa yang tepat agar Delano mau mengurungkan niatnya.

"Jika kalian diam aku anggap setuju!"

Delano melesat begitu saja, meninggalkan tempat. Sedangkan kedua temannya segera mengikuti dengan langkah lebar agar tidak tertinggal.

***

Delano sedang mengikuti pelajaran dengan khidmat, meski beberapa siswa lainnya riuh membicarakan dengan suara jelas bahwa 'penampilannya aneh amat, belang, gak wajar' namun Delano sedikitpun tidak merespon.

Sementara di luar sekolah, kedua temannya yang juga berpenampilan rapi menunggu kepulangan Delano, mereka berdiri tepat di depan satpam.

Dan saat Delano berlari menuju pulang, keduanya segera berhambur mendekati Delano, "Delano, apa yang diajarkan di sekolah? Kenapa kamu masih bisa sekolah?"

Delano mengerutkan keningnya, kini ia paham. Kedua sahabatnya hanya mengenyam pendidikan sebentar saja. "Aku masih memiliki surat pindah dari sekolah lama, semua masih tersimpan di ransel milikku."

"Kalian bisa sekolah lagi jika kalian mau," Delano menukas dingin, lalu menggandeng kedua kawannya menjauhi sekolahnya.

Hari itu mereka tidak mencopet, ketiganya memilih pulang. Menunggu Delano menceritakan kisahnya. 

Di rumah, Hendri dan Bob menceritakan masa lalunya satu persatu, di saat bersamaan Delano mendengar sembari mengasah kemampuannya melukis. Delano juga menunjukkan semua semua buku pelajarannya agar kedua temannya juga belajar. 

Ketika keduanya asyik belajar, mereka terkejut melihat lukisan yang Delano buat, "Delano," panggil Hendri tertegun.

"Ya, bukankah kau adalah anak kecil seumuranku?"

"ya, lalu." Delano menoleh dan melemparkan tatapan iris matanya yang dingin.

"Bakatmu, tidak wajar untuk anak seusia kamu!"

Delano memutar bola matanya, jengah dengan ucapan Hendri. Delano di masa lalu sudah terbiasa dengan sanjungan seperti itu. Namun berakhir jatuh. 

"Jangan pikirkan tentang diriku, aku sudah terbiasa dengan kata 'aneh' hampir semua berkata begitu. Aku hanya ingin merubah nasibku suatu hari nanti, meski saat ini aku adalah pencopet kecil. Namun, suatu hari nanti aku ingin jadi pelukis ternama."

Kedua begundal kecil di hadapannya memicingkan matanya, tidak paham ke mana arah perkataan Delano. Setelahnya, Hendri mendelik ke arah Bob yang seketika mengedikkan bahunya. Sebagai jawaban ia juga tidak paham dengan perkataan Delano 

Delano tersenyum getir, "Aku ingin seperti Jeff Hilton."

Kedua teman Delano semakin tersentak mendengarnya. Namun juga tertawa mengejek.

"Kamu sudah gila, Delano. Apakah kamu bermimpi lagi?"

"Ya, ini adalah dorongan mimpiku."

— To be continued

— follow me on IG: @lia_lintang08

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status