Share

Pencopet Kecil

Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya.

"Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.

"Bagaimana, Delano. Kamu menyediakan?" tanya Bob kembali berharap, jika Delano memantapkan niatnya bergabung dengan komplotan copet kecil itu.

"Ya," jadi. marah.

"Kita mandi, dan setelahnya makan dan istirahat. Besok pagi-pagi sekali, kamu harus memperhatikan bagaimana cara kami bekerja. Ingat, kamu harus bisa melakukannya atau tidak akan menjadi bagian dari kami," ujar Hendri. Penuh penekanan, sengaja lontarkan agar Delano yakin dengan pilihannya.

Delano hanya membalas ucapan rekan barunya dengan senyuman misteriusnya dan juga menganggukkan kepala. Setelahnya mereka memasuki kamarnya masing-masing.

Delano memilih kamar paling depan, yang dekat dengan jendela. Ia menyingkap gorden yang menutupinya untuk memperhatikan hiruk-pikuk jalanan.

"Setidaknya aku masih memiliki tempat tinggal, Bu. Aku tidak mencari di jalanan. Beristirahatlah dengan tenang, aku akan tetap menjadi Delano yang kau mau. Mimpiku di kota ini 'kan?" Delano berceloteh sendiri, ia sosok sosok yang tiada.

Keadaan telah memaksa untuk mengubah cara hidup Delano. Malam itu, Delano yang hendak mandi sedang membuka pakaiannya, baru pakai bagian atas tubuhnya saja yang ia tanggalkan tetapi sudah disambut oleh ketukan pintu.

Tok, tok....

"Masuk," ucap Delano. Menghentikan pergerakan yang hampir saja menanggalkan seluruh pakaiannya yang kemudian ia urungkan.

Hendri dan Bob memasuki kamar Delano sembari membawa beberapa stel pakaian layak pakai.

"Delano, kami akan membeli beberapa pasang pakaian untukmu. Tapi sebelum itu, kamu bisa memakai pakaian ini," ujar Hendri berinteraksi dengan paper bag di genggamannya.

"Terima kasih," jawab Delano.

Meski preman, kedua teman barunya sangat memperhatikan Delano. Membuatnya merasa nyaman dan hangat tinggal di tempat asing.

Tatapan mata keduanya tercekat setelah mengamati keadaan Delano. Mereka terkejut mendapati keanehan dalam diri Delano. ya. Kulitnya yang memiliki dua warna berbeda membuatnya mencolok. 

"Kau—" belum sempat Hendri menyelesaikan kalimatnya, Delano menyahuti ucapan sahabatnya, "Aneh, belang, apa lagi?"

Hendri dan Bob saling bertatapan mata. Delano sudah menduga dan terbiasa mendapat perlakuan seperti itu sebelumnya. Karena hal tersebutlah yang menjadi alasan bocah tersebut dikucilkan hingga berada di kota saat ini dan mengakibatkan dirinya kehilangan segala sesuatu yang terasa berat. Mimpinya bahkan hancur karena keadaan itu.

Delano mengungkapkan Bob dan Hendri dengan tajam mengiris. Ia menghela napas lega, lalu menghempaskannya secara kasar. Delano bergeming, begitu juga dua orang pria di hadapannya.

"Kenapa kalian tidak lagi? Kenapa tidak meninggalkan aku sendiri? Kenapa tidak mengusirku dalam sunyi? tanya Delano, mencecar.

"Karena kita adalah keluarga," sahut Bob. Ia mendekat, kemudian tap-nepuk bahu Delano. Tepukan hangat yang nyatanya mampu merekam emosinya yang tak terkendali sebelumnya.

"Kami pergi, istirahatlah dengan nyaman. Sampai bertemu di meja makan," desis Bob, lalu meninggalkan kamar Delano tanpa menunggu jawaban darinya lagi.

Malam itu adalah malam yang berbeda bagi Delano. Hatinya sedih, begitu pilu. Namun pada hari itu pula ia pertama kali memiliki teman. 

***

Mentari menyadarkannya malam. Gelap perlahan menghilang, memudarkan cerahnya sinar mentari yang menyeruak melewati bias kaca jendela kamar Delano.

Delano menggeliat, rasa remuk itu seolah berkurang setelah peregangan otot yang ia lakukan. Perlahan, Delano mulai bangun dan membersihkan diri. 

Ia menemukan pengaturan pakaian formal yang terlihat mewah di dinding kamar.

"Pakaian itu untuk kamu, Delano." Hendri muncul dari ambang pintu, berjalan memasuki kamar.

Delano memperhatikan gaya busana Hendri yang terkesan modis. Jauh dari rencana pekerjaan yang membayangi benak Delano.

"Kenapa? Apakah pencopet tidak boleh terlihat keren?" tanya Hendri sengaja menggoda.

Delano yang sejatinya masih bingung berusaha menyunggingkan senyumnya.

Bob kemudian juga muncul dari balik tembok, dan melangkah memasuki kamar Delano.

"Kita harus melakukan penyamaran, Kawan. Hari ini kita akan menaiki bus antarkota," jelas Bob memberikan gambaran serta informasi mengenai kegiatan harian mereka.

"Baiklah, akan ku coba! Tapi untuk sementara, biarkan aku mengamati kalian terlebih dahulu," sahut Delano. Berusaha mencari kedua kawannya.

Bob dan Hendri mengangguk bersamaan. Kemudian, ketiganya berjalan menuju meja makan dan menyantap sarapan paginya.

Di sana Delano masih mematung. Mengingat kembali kebersamaan dengan sang ibu yang begitu ia cintai. Saat itu pula, Hendri dan Bob merasakan pilu yang sama. 

"Kami pernah merasakan rasa yang sama, Delano. Badai yang sedang menderamu pasti berlalu. Percaya, bisa memainkan dunia jika kamu mampu mewujudkan semua mimpi-mimpimu, meski kita tak memiliki orangtua." Hendri berdiri sambil mengelus punggung Delano.

"Kalian belum mengenalku dengan baik, aku ini pemberani meski dengan kekuranganku." Delano menyingkap kemeja yang dikenakannya, memamerkan dua warna kulitnya yang berbeda.

Hendri dan Bob tersenyum sambil manggut-manggut menyaksikan tingkah Delano.

Usai menyantap sarapan, ketiganya mulai beraksi. Diawali dengan menaiki lift dengan pintu rahasia di gedung tua nan megah namun tak terawat. Kemudian setelah ketiganya sampai di jalanan, mereka bertingkah seperti orang asing yang tak saling kenal.

Delano berpura-pura duduk sembari membaca sebuah buku, di sebuah kolam yang dilengkapi air mancur. Tempat yang pertama ingin ia singgahi saat berada di kota itu.

Sementara Hendri segera memasuki bus dari pintu samping kemudi, sedangkan Bob mulai masuk dari pintu belakang. Setelahnya, Delano menyusul berpura-pura sebagai penumpang sembari menenteng paper bag berdiri dan membaur dengan penumpang yang lainnya.

Mereka sebenarnya saling memperhatikan, namun terlihat samar. seolah tidak saling kenal.

Bob maju lebih dulu, mendekati seorang wanita berambut cokelat sebahu, di waktu bersamaan Delano berpapasan dengan Bob, tepat ketika berpapasan itu Bob menjatuhkan dompet yang baru saja dicopetnya ke dalam paper bag milik Delano. Hendri yang cepat dan tanggap, sudah bersiap di pintu belakang segera bertukar paper bag dengan Delano. Setelah itu pun Hendri bergegas turun di pemberhentian selanjutnya.

Sementara Bob dan Delano, tetap berada di bus. Mereka seolah benar-benar seperti sedang menumpang bus. 

Meski Delano anak yang nakal, ini adalah kesalahan yang pertama kali ia buat. Selama ini, ia tidak pernah melakukan kriminal dalam bentuk apapun. Keadaan memaksa Delano terperosok ke dalam jurang kejahatan.

Nurani baiknya ingin berontak, namun takdir menolaknya.

'Maafkan aku, Bu.' Batin Delano lalu mengalihkan pandangan ke arah luar jendela bus yang melesat dengan kecepatan sedang tersebut.

Setelah dua puluh menit berlalu, Delano dan Bob turun di pemberhentian bus selanjutnya. Setelah itu keduanya mencari kendaraan lain untuk pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, Bob yang menyadari kegugupan Delano tak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ia begitu memahami jika Delano sedang dilema memikirkan permasalahan hidupnya yang dirasa begitu berat.

Waktu berlalu begitu cepat, hingga akhirnya mereka sampai di kediamannya. Delano saat itu berjalan lunglai ketika menapaki lantai rumah berbahan marmer yang memperlihatkan kemewahan gedung yang mereka jadikan sebagai tempat tinggal.

"Delano, apa kau baik-baik saja?" tanya Hendri, melihat Delano pulang dengan raut wajah ditekuk.

"Ya," balasnya dingin, dan irit.

Membuat kedua kawannya mengerti jika Delano berusaha menyembunyikan perasaannya, bahwa ia sedang tidak baik-baik saja saat itu.

— Mampukah Delano melewati hari-harinya? Dengan apa ia akan meraih mimpi sebagai pelukis ternama? Ikuti terus keseruan kisahnya.

— To be continued

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status