Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkan memilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.
***
Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Suatu siang, di deret pertokoan pusat kota yang begitu ramai. Langkah kaki Delano terhenti tepat di depan sebuah toko buku berukuran besar.
Toko buku yang begitu ramai pengunjung. Membuat jiwa imajinasinya tergugah. Hasratnya untuk menggapai mimpi seolah terpanggil. Ia hanya mengikuti langkahnya, memasuki toko buku. Bob dan Hendri menyadari keningnya menyadari Delano masuk ke pertokoan tersebut.
Bob yang terkejut mencoba bertanya pada Hendri dengan mengangkat kepala sebagai apa yang dilakukan oleh Delano. Mengerti dengan Bob Hendri hanya menjawab dengan mengedikkan bahu sebagai jawaban ia tidak tahu dengan rencana Delano.
ini bukan rencana mereka, Hendri dan Bob memasuki toko, mengikuti ke mana pun langkah Delano pergi.
"Delano," panggil Hendri setengah berbisik.
Delano diam. Berpura-pura tidak mengenal rekannya. Ia malah mengambil beberapa buku bacaan dan juga membeli sebuah kanvas berukuran kecil, lengkap dengan terpentin dan juga cat minyaknya.
Entah berapa kali Hendri dan Bob berusaha memperingatkan Delano, agar tidak membeli apapun di toko buku tersebut. Namun, ia seolah acuh sedikitpun tidak merespon pada kedua kawannya yang semakin kesal dengan ulah Delano.
Menit kemudian, setelah mendapatkan beberapa barang yang dibutuhkan, Delano berjalan menuju kasir dan membayarnya.
Kedua kawannya yang semakin mencemaskan Delano terkena masalah, pada akhirnya memaksa mendekati.
"Delano, kembalikan," desis Bob.
Delano bergeming, usai membayar di kasir dan mengambil bukti pembayaran ia pun segera meninggalkan toko dan pulang menuju gedung tua tempat di mana mereka tinggal selama ini.
Hendri dan Bob merasa kesal sekali, sebab Delano yang awalnya menyenangkan menjadi menyebalkan. Ia acuh, sedikitpun tidak merespon keduanya.
Delano berjalan dengan langkah lebar, setengah berlari memasuki gedung tempat tinggalnya. Ia bergegas membuka beberapa buku.
Matanya mulai berembun, buku jemarinya mengusap lembut lembaran demi lembaran buku yang ia buka. Di hirupnya bau khas kertas yang begitu lama ia rindukan.
Sementara itu, kedua kawannya mematung mengamati Delano di ambang pintu. Sejenak Delano membaca salah satu buku yang dibelinya.
Siapa sangka Hendri merampasnya dengan kasar, lalu menghempaskannya ke lantai.
BRUK! ....
"Kamu tidak perlu belajar, Delano!" sergahnya dengan suara bergetar, serak khas orang marah.
Delano menoleh menatap dingin ke arah sumber suara. Ia hanya memungut buku itu kembali. Kemudian ia membuka barang-barang lain yang dibelinya.
Kedua kawannya terkesiap mengetahui Delano mengeluarkan sebuah kanvas, kuas, palet, cat minyak beraneka macam warna, dan terpentin untuk membersihkan kuas yang terkena cat.
Kedua temannya penasaran, kenapa Delano terlihat berbeda. Mulanya mereka hanya menganggap Delano adalah bocah seusia mereka dengan kenakalan sesuai. Namun, kini keduanya tertegun mengetahui Delano mampu melukis raut wajah seorang wanita yang amat cantik meski masih separuh jadi.
Seketika tatapan mata Hendri berubah sendu. Dia takut kehilangan Delano yang selama ini membersamainya.
"Delano, apa tujuan kamu sebenarnya datang kemari?" tanya Hendri, dengan wajah yang kini berubah merah padam.
"Menjadi pelukis impian semua orang yang melegenda," jawabnya, dengan suara dingin.
Hendri melangkah mendekat, ia memberanikan diri menatap tajam ke arah Delano. Sementara sebelah tangannya mencengkram erat ke arah kulkas dan melemparnya dengan kasar ke lantai. Membuat Delano terperanjat sekaligus tersulut amarahnya.
"Hendri!" pekiknya sembari mendorong tubuh Hendri hingga membentur dinding.
Kedua pasang bola mata yang sedang beradu pandang kini saling menatap dengan iris yang sama tajamnya.
"Apa yang kamu inginkan? Haaaah!" Delano berteriak di telinga Hendri sembari menarik kain yang menempel di tubuh pria kecil bernama Hendri.
Mengetahui kedua kawannya berseteru, Bob berusaha melerai.
"Sudah, kalian adalah keluarga! Jika ada masalah selesaikan dengan baik. Apa yang kalian dapatkan dengan pertengkaran ini. Hendri, katakan kenapa sikapmu demikian? Dan ... kamu juga perlu menjelaskan apa yang kamu lakukan, Delano!"
Bob adalah anak yang paling jarang marah apa lagi berseteru. Namun, kali ini terpaksa harus ia lakukan mengetahui pertengkaran hebat yang terjadi begitu saja di depan matanya.
Keduanya saling melepaskan cengkeramannya masing-masing. Kemudian Delano memundurkan langkahnya, perlahan menjauhkan jarak dari Hendri.
"Aku datang kemari bersama ibuku, dahulu. Aku sudah mengisahkan segalanya tentangku pada kalian. Sejak lama mimpiku adalah ingin menjadi pelukis hebat," jelas Delano, berkilah atas perbuatannya.
"Aku marah, karena aku tidak mau kau pergi meninggalkan kita yang sudah menjadi keluarga. Aku bahkan tidak suka melihatmu belajar, karena semua itu hanya akan membuatmu pandai lalu menjauhi kita," jawab Hendri.
Sungguh jawabannya di luar dugaan Delano. Kedua kawannya ternyata amat mencintainya seperti keluarga sendiri. Bahkan mereka takut kehilangan satu sama lainnya.
Delano membenci fakta jika dirinya adalah seorang yatim piatu yang dipandang aneh karena keadaan fisiknya yang memiliki warna kulit berbeda. Pria itu mengumpat dirinya sendiri yang tak mampu bangkit dari keterpurukannya.
Namun bibirnya terasa ke kelu. Bahkan langkahnya kini tercekat di pijakannya meski kakinya mulai gemetar menahan emosinya. Setelah mengetahui lukisan ibunya yang pertama kali ia buat, telah robek dan teronggok di lantai.
Ingin rasanya Delano memukul Hendri dan menghimpitkan tubuhnya hingga terjepit di tembok. Namun, ia tak mampu melakukan hal itu. Sehingga membuatnya semakin kesal saja.
"Delano, tenanglah! Ini hanya sebuah lukisan, kamu bisa membeli kanvas lagi dan melukiskannya ulang nanti," desis Bob berusaha menenangkan.
Delano menjatuhkan diri hingga bersimpuh di lantai dan mendekap lukisan setengah jadi itu. Membuat mata Hendri membola.
Kini ia menyadari, jika Delano melukis gambar seorang wanita yang sejak lama ia rindukan.
"Delano, apakah wanita itu amat berarti dalam hidupmu? Lukisannya, bahkan masih belum sempurna," Hendri memberanikan diri menukas, meski terdengar kurang lugas.
"Ya, ini gambar ibuku yang telah tiada," balas Delano, raut wajahnya berubah datar.
Hendri benar-benar merasa bersalah telah menghancurkan lukisan yang dianggapnya sebagai jarak pemisah antara dirinya dan Delano.
Setelah mendengar jawaban Delano, bahwa lukisan tersebut amat berarti bagi Delano, Hendri bergegas memeluk erat Delano. Meminta maaf atas kesalahannya. Seandainya tahu itu adalah lukisan ibunya, Hendri tidak akan merusaknya.
Delano hanya diam. Ia bahkan tidak mengangkat kedua tangannya yang masih menggantung di udara sejak tadi meski untuk sekedar membalas pelukan permintaan maaf sahabatnya.
"Maafkan aku, hukum aku! Apapun akan aku terima asalkan bisa memperbaiki hubungan persahabatan yang telah kita jalin selama ini," ucap Hendri, merutuki kebodohannya sendiri.
Delano terbaring di ranjang pasien, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya bergerak-gerak cepat di balik kelopak mata tertutup, seolah terjebak dalam mimpi buruk yang menakutkan. Beberapa orang mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan lembut, berusaha membangunkannya dari koma panjang yang telah lama menahannya."Delano, bangunlah! Tolong bangun!" suara lembut namun tegas memanggilnya.Perlahan, Delano membuka matanya. Pandangannya masih kabur, namun ia bisa merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya. Matanya kemudian fokus pada sosok di sisi ranjangnya. "Papa?" Delano berkata dengan suara serak, penuh ketidakpercayaan. "Papa Hilton?"Jeff Hilton, ayahnya yang sudah lama ia kira meninggal, duduk di sana dengan senyuman penuh kelegaan."Ya, Nak. Ini Papa," jawab Jeff dengan suara lembut, menyentuh tangan Delano dengan lembut.Delano menatap sekeliling, melihat wajah-wajah yang begitu akrab namun terasa seperti dari dunia lain. Di dekat pintu, seorang pria botak berdiri denga
"Tuan, Delano, saya sangat menganjurkan untuk beristirahat sejenak," ujar Oscar dengan nada penuh kekhawatiran, mencoba meyakinkan Delano yang masih tegar berdiri meski tubuhnya bergoyang-goyang."Dengarlah, Delano. Kesehatanmu sangat penting," tambah Miranda, ibu Delano, sambil menggenggam erat tangan anaknya. "Kami semua khawatir padamu."Delano menggeleng tegas, matanya bersinar penuh tekad. "Saya tidak bisa beristirahat, Ibu. Saya harus menemukan gadis itu, membantunya sebelum terlambat."Oscar mendesah, mencoba meredakan kepanikan yang mulai melanda. "Tapi, Delano, kamu tidak dalam keadaan yang baik. Kamu butuh istirahat.""Tidak, Oscar. Saya sudah memberikan kata-kata saya pada gadis itu, dan saya akan memenuhinya," balas Delano, suaranya terdengar lemah namun penuh tekad. "Saya tidak bisa tinggal diam ketika seseorang membutuhkan bantuan."Miranda menatap putranya dengan penuh kebanggaan, meskipun juga khawatir. "Kamu adalah anak yang mulia, Delano. Tapi, pikirkanlah juga keseh
Cahaya berkilauan di sekeliling Ben Daniel, melibatkan tubuh Delano dalam mantra penggabungan jiwa. Sementara itu, saat Delano melafalkan mantra tersebut, keajaiban terjadi. Di tengah keheningan, suasana berubah, dan tiba-tiba, Delano merasakan sensasi transmisi yang menakjubkan. Dalam sekejap, Delano terbangun di sebuah kasur empuk, menyadari bahwa ia berada di dalam istana yang ia yakini sebagai keluarga ayahnya. Keheranan meliputi dirinya sendiri, dan dalam kebingungan, ia melihat ibunya—Oscar, mendekatinya dengan penuh kelembutan. Dengan mata penuh kegembiraan, Oscar menceritakan kisah pahit selama tiga bulan terakhir. Delano, tanpa sadar, telah berada dalam koma yang panjang. Perasaan kehilangan dan rindu ibu yang menyayangi anaknya menjadi permainan emosi di antara mereka, meruntuhkan hati Delano yang baru saja terbangun dari dunia lain. Miranda menatap Delano dengan matanya yang penuh kekhawatiran, "Delano, bagaimana perasaanmu? Apa yang kau rasakan selama ini?" Delano meng
Usai membantu membebaskan Anna dari cengkraman makhluk jahat, Ben Daniel segera menjadi remaja dan membawanya masuk ke dalam mobil. Sementara di dalam rumah usang di tengah hutan, masih menyisakan suasana mencekam.Ben Daniel merasakan detak jantungnya semakin cepat saat ia melihat Delano berubah menjadi makhluk yang menakutkan. Dengan tangan gemetar, ia segera meraih botol ramuan yang telah disiapkan sebelumnya. "Kembalilah, Delano!" serunya sambil berusaha menjaga kestabilan emosinya.Delano yang kini tampak seperti makhluk buas, merintih kesakitan saat ramuan itu menyentuh kulitnya. Bulu-bulu lebatnya mulai rontok, dan matanya yang tajam terlihat melemah. "Aku... tidak ingin melukaimu, Delano," Ben Daniel berbisik sambil terus mengoleskan ramuan itu.Sambil terus mengucapkan mantra dengan penuh konsentrasi, ia merasakan energi magis mengalir dari tubuhnya ke ramuan. Dia merasa bahwa ada kekuatan di dalam dirinya yang dapat melawan pengaruh gelap yang merasuki Delano. Pandangan mata
Dari embusan angin yang terasa kencang seolah menampar-nampar wajah, Ben Daniel sudah menyadari kehadiran sosok jahat di dekat Delano. Dengan cekatan, tapi diam-diam, Ben Daniel menyembunyikan botol kecil berisi ramuan yang dibuatnya sendiri di balik baju yang ia kenakan. Kemudian, ia mendorong kendaraan miliknya yang sebelumnya sempat ia sembunyikan di bawah rerantingan kering dan juga dedaunan yang menutupinya. Namun, yang mengejutkan. Tiba-tiba saja mobil tersebut bergerak cepat seolah ringan melesat cepat di jalanan sambil disentuh pelan. Delano, kau meminta bantuan kepada siapa? Tanya Ben Daniel sambil menatap tajam, seolah mengisyaratkan kemarahan. Delano tergemap seketika. Bibirnya terkatub rapat. Tak ada kecuali katapun yang keluar sebagai pembelaan, sedangkan matanya membelalak lebar. "Delano!" bentak Ben Daniel. Delano berjingkrak dan kembali menatap si empunya mobil tua yang baru saja dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. "Tidak ada, Om. Mungkin perasaan Om Ben s
Delano melangkah perlahan ketika hendak menemui Ben Daniel. Pria paruh baya itu, bahkan bisa menerka jika Delano sedang mencemaskan sesuatu dari mukanya yang sedang ditekuk."Ayo kita pergi sekarang!" ajak Ben Daniel, meski sedikit ragu.Perlahan ia melangkah keluar rumah. Namun, Delano tetap berdiri di pijakannya. Tercekat tanpa kata."Delano, ayo! Tidak ada waktu untuk melamun. Anakku dalam bahaya!" teriaknya.Ben Daniel sengaja bersuara keras agar Delano yang pikirannya tampak terganggu segera kembali fokus dan santai mengikuti langkahnya.Bukannya melangkah, akan tetapi Delano yang saat itu masih berdiri di taman pintu justru terjatuh dan terkulai lemas di lantai.Seolah mengalami demam tinggi, pemuda itu kembali terlihat aneh. Tubuhnya yang menggigil pun mengeluarkan suara erangan menyeramkan.Tak lama kemudian, yang terlihat hanyalah seklera matanya saja. Terang saja mata Ben Daniel membulat sempurna. Saya benar-benar terkejut dengan perubahan Delano.Delano, apakah ini artinya