Kesedihan yang dirasakan Delano benar-benar kesedihan yang tak berujung. Pikirannya kalut. Dalam rasa pilu yang menyayat jiwanya begitu dalam, Delano terus berlari di bawah guyuran hujan lebat.
Netranya menemukan sebuah truk angkutan barang yang sedang berhenti di ujung jalan. Dengan sekuat tenaga, kakinya yang mungil terus memanjat dan diam lalu bernaung di dalam bak bagian belakang truk.
"Ibu ... kau bahkan belum membawaku ke air mancur pusat kota," lirih Delano dalam tangisnya.
Ia berusaha menahan isakan tangisnya, saat mengetahui sang sopir naik dan mulai melajukan truk pengangkut barang tersebut.
Delano duduk meringkuk di bak bagian belakang truk, sementara sebelah tangannya merogoh gambar potret kebersamaan dengan sang ibu yang selalu ia simpan di jaket yang ia kenakan. Dan sekarang, potret itu akan menjadi kenangan sekaligus pengingat luka baginya.
Entah berapa lama Delano tertidur di bak belakang truk. Hingga akhirnya, truk tersebut menghentikan lajunya. Membuat Delano yang semula terlelap dalam lelah terperanjat.
Perlahan ia membuka kelopak matanya hingga nyaris sempurna. Kedua telapak tangannya mengusap kasar sepasang mata dengan manik indah berwarna abu-abu. Mempertegas bahwa ia memiliki darah campuran.
Perlahan Delano kecil mengamati sekeliling jalanan yang nampak sepi, setelahnya ia melompat turun hingga jatuh tersungkur di aspal. Sambil menahan rasa sakit, Delano memegangi sebelah tangan kirinya yang terbentur keras di aspal hingga tubuhnya nyaris melengkung menahan saat sakit. Bahkan ia sampai meringis.
"Ibu, aku kini sendiri. Tanganku sakit Bu," rintihnya sambil terisak-isak. Sungguh keadaan yang sangat menyedihkan.
Menit kemudian. Ia menghentikan tangisnya setelah beberapa orang yang melintas di jalan tersebut melemparkan beberapa uang koin namun didominasi oleh kertas.
Perlahan tangisnya terhenti. Ia menyembunyikan lembaran uang kertas dan juga uang logam yang terkumpul dibalik jaketnya yang mulai berubah Kumal.
Jangankan pakaian ganti, Delano bahkan tidak sempat menghampiri mobil rongsokan milk ibunya.
Menit kemudian, matanya berubah membola. Senyumannya perlahan melengkung sempurna setelah mengamati sekitar tempat tersebut.
"Pancuran pusat taman kota"
Delano bangkit dengan wajah yang mulai berbinar ia mengamati sekeliling tempat. Lalu ia perlahan melangkah mendekati lingkaran yang menyerupai kolam, lengkap dengan pancuran.
Disentuhnya air yang terasa dingin. Sejenak ia terdiam. Mengingat kembali lukanya yang baru saja terjadi.
"Aku hanya sendiri, aku harus bangkit demi mimpiku," lirih Delano.
Menit kemudian, ia berusaha menarik para pejalan kaki dengan menyanyi. Bahkan suaranya bisa dibilang jauh dari kata merdu. Namun, karena hidupnya yang keras Delano memberanikan diri melakukan hal itu.
Tak butuh waktu lama, para pejalan kaki yang melintas kian tertarik dengan sikapnya yang lucu. Meski penampilannya aneh, tetapi mereka tetap memberikan sumbangan untuk Delano meski itu hanya sekedar uang receh.
Delano merasa beruntung, ia mulai menghitung uang yang ia dapatkan hari itu, "Aku bisa membeli makanan dengan ini, lihatlah Bu ... aku bahkan bekerja seperti ini tanpamu," ia menukas dengan suara yang begitu lirih.
Aktivitas Delano terhenti, ketika bola matanya menemukan dua orang yang seumuran dengannya tengah berdiri tepat di hadapannya.
"Apa mau kalian?" tanya Delano, dengan iris matanya yang tajam dan dingin.
Meski di kota baru, Delano sedikitpun tidak menunjukkan ekspresi wajah takut pada siapapun yang mendekat. Jika sebelumnya ia sulit membaur dengan lingkungan, saat ini ia sedang dipaksa membaur oleh alam.
"Kau mengamen di wilayah kami! Kami memperhatikan mu sejak tadi!" teriak begundal kecil bertubuh gemuk.
Saat para begundal kecil sedang asyik bernegosiasi, suara sirine polisi berbunyi. Delano terkesiap, kedua iris matanya membola. Sedangkan dua kawanan begundal kecil di hadapannya segera berlari.
Bukannya menjauh, Delano justru mengikuti kemana kedua kawanan yang baru saja menegurnya.
Kedua begundal kecil itu, berlari menyusuri lorong-lorong sempit pertokoan yang begitu padat, lalu berbelok, dan memanjat pagar bangunan yang terlihat lama tak berpenghuni.
Delano terus mengikutinya, meski napasnya mulai terengah-engah. Dengan sekuat tenaga pula Delano ikut memanjat pagar yang berbahan menyerupai besi kecil. Setelah sampai di halaman bangunan, netra Delano menatap dua kawanan seusianya itu menaiki sebuah tangga darurat kemudian menaiki bagian atap bangunan dan berpindah ke bangunan lainnya. Kemudian melompat setelah menemukan lubang di bagian atap berbentuk kotak.
Delano mengatur napasnya yang sedari tadi memburu. Kemudian mengintip celah lubang atap rumah yang berbentuk persegi itu. Lalu setelah menemukan kedua pria kecil berada di sana, Delano ikut melompat dan mendarat di sebuah kasur yang sengaja diletakkan tepat di bawah lubang.
"Hey, kenapa kau mengikuti kami?" tanya begundal kecil bertubuh gemuk.
Delano tersenyum kecut, entah mengapa baginya pria itu terlihat lucu meski ekspresinya sedang mengamuk.
"Aku Delano, hari ini adalah pertama kalinya aku menjadi seorang yatim piatu," Delano menukas sembari mengulurkan tangannya.
Bob dan Hendri saling bertatapan mata. Seolah memberikan isyarat lewat mata masing-masing. Setelahnya mengangguk pelan.
"Namaku Bob, panggil saja begitu," balas begundal kecil bertubuh gemuk.
"Aku Hendri," ucap begundal kecil bertubuh kurus lainnya.
"Apakah kita bisa menjadi keluarga?" tanya Delano menawar.
"Tentu, aku juga baru kehilangan keluargaku. Aku sama denganmu, seorang yatim piatu," jawab Bob.
"Tidak, kita baru saja bertemu dengannya! Bagaimana mungkin bisa mudah mempercayai orang yang baru saja kita temui?" Hendri memalingkan wajahnya, kemudian menjatuhkan diri ke sebuah kursi usang di sudut ruangan.
Bob kemudian berjalan mendekat, ia menyentuh bahu Hendri sambil berkata, "Dia sendiri di kota kejam ini, apa kau lupa bagaimana pertama kali di sini menemukan aku?"
Hendri refleks menoleh, kemudian berdiri dan berjalan mendekati Delano.
"Baiklah, kita keluarga!" seru Hendri, seraya mengulurkan tangannya.
Kemudian ketiganya saling merangkul satu sama lainnya. Menit kemudian, ketiganya melepaskan pelukan hangat mereka.
"Ayo, kita masuk! Selamat datang di rumah baru," tukas Hendri, sembari mengajak Delano dan Bob masuk ke lift tua namun masih berguna dengan baik.
Delano mengikuti langkah kedua sahabat barunya, yang kini telah menjadi keluarga baginya. Di dalam lift, tatapan matanya tidak berhenti sedetikpun menyisir sekeliling tempat tersebut.
Hanya dalam hitungan menit. Delano dan kedua kawan barunya sampai di sebuah ruangan yang amat luas. Sungguh kontras dengan bagian luar bangunan yang terlihat tua, lama tak berpenghuni, bagian dalamnya terlihat menarik. Bahkan banyak perabot rumah yang terbilang mahal.
Mata Delano membulat sempurna saat mengedar menelusuri ruangan.
"Kamu bisa pilih kamar, yang akan kau jadikan ruangan pribadi. Selebihnya ruangan untuk bersama," ucap Hendri.
Delano benar-benar merasa beruntung, sejenak ia terdiam. Memikirkan berbagai hal yang dirasakan di luar nalarnya.
"Apa yang kalian kerjakan, hingga mamt merubah tempat ini?" tanya Delano, dengan ucapan menusuk bagi para pendengarnya.
Kedua kawannya tersenyum kecut, kemudian berjalan mendekati Delano bersamaan.
"Kamu pun juga harus mengikuti jejak kami, jika mau tinggal di sini. Ingat, kehidupan di sini keras. Tidak ada yang gratis Delano," ucap Bob dengan raut datar.
"Pekerjaan apa itu?" tanya Delano, sambil mengerutkan keningnya merasa penasaran.
"Menjadi pencopet," ujar Hendri tanpa ragu-ragu.
Delano terkesiap, kedua bola matanya hampir saja mencelos mendengar ucapan kedua sahabatnya. Bibirnya terbuka lebar.
Akankah Delano mengikuti jejak mereka? Ikuti terus keseruan kisahnya ya. Salam hangat, Lia Lintang.
— To be continued
— Follow me on IG: @lia_lintang08
Delano masih diam. Berusaha mencerna dua orang yang baru saja ia kenal dan kini telah menjadi bagian keluarganya. "Jika aku menolak keinginan mereka, aku tinggal di mana?" Batin Delano, pikirannya melayang, menerawang ke segala arah adalah segala kemungkinan yang mulai bermunculan di benaknya.
Delano tidak menunggu para sahabatnya membuka dompet hasil mereka mencopet di jalanan. Melainkanmemilih menyendiri di dalam kamar. Berbaring nyalang, menatap langit-langit kamar adalah caranya untuk berusaha berdamai dengan amarah. Meski sebenarnya justru mengingatkannya dengan masa lalunya.***Waktu berjalan begitu cepat, Delano kini mulai terbiasa dengan rutinitas sehari-hari. Ia bahkan ikut mahir juga seperti dua sahabatnya. Bahkan Delano menjalani semua seolah tidak memiliki beban.
Hendri yang merasa bersalah, akhirnya memikirkan banyak hal agar mendapatkan maaf dari Delano. Meskipun Delano sebenarnya telah mengucapkan kalimat 'memafkan' sebelumnya. Siapa sangka jika ternyata Hendri sangat suka memasak. Sebelum jam makan siang, ia segera menuju dapur dan mulai menyiapkan beberapa menu untuk disantap bersama. Tentu saja bukan tanpa alasan, melainkan ingin mengambil hati sahabatnya kembali setelah melakukan kesalahan. Di ruangan yang berbeda, Bob masih setia duduk di hadapan Delano yang masih sibuk membuat sketsa berwarna hitam putih dengan kertas gambar ber
Waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tak terasa ketiga kawanan begundal kini telah tumbuh dewasa. *** Hari itu hujan lebat, ketiganya memutuskan untuk berdiam diri di rumah. Tidak melakukan aktivitas seperti biasa. Hanya berdiam dan bersantai, jarang-jarang mereka bisa seperti itu. Perawakan mereka tak jauh berbeda dengan saat mereka masih kecil. Hendri masih sama kurusnya, yang membedakan adalah Hendri dewasa memiliki rambut sebahu berwajah dingin. Sementara Bob, adalah kebalikan dari Hendri. Tubuhnya jauh lebih bugar bahkan tiga kali ukuran Hendri. Pipinya masih sama, seperti roti sobek yang ketika ditarik elastis dengan coklat lelehnya. Begitulah panggilan sayang Hendri untuknya yang begitu suka makan. Dari ketiganya, yang berbeda memanglah Delano. Penampilannya begitu kontras. Terlihat jelas jika di kedua sisi kulit tubuhnya memiliki dua warna yang berbeda. Namun, Delano dewasa
Pagi hari pukul 06.00Delano sudah bersiap dengan penampilan menawan. Balutan pakaian formal yang disiapkan kedua sahabatnya, mampu menutupi kekurangan-kekurangan Delano.Sesekali, ia menatap wajahnya di pantulan cermin. Hanya dalam hitungan menit, selanjutnya ia tertunduk dan mengelus kedua punggung tangannya bergantian. Ya, kulitnya masih sama. Memilih warna berbeda, sawo matang dan albino."Delano, apa kamu sudah siap?" tanya Hendri memastikan di ambang pintu.Suaranya mengejutkan Delano yang saat itu sedang mematung, memikirkan masa lalu yang kenyataannya tidak bisa lepas dari belenggu hidupnya."Sudah, aku berangkat sekarang," balas Delano, sambil melangkah menuju lift yang sama. Lift tua yanga masih berfungsi sempurna.Kakinya melangkah lebar memasuki lift, "Kamu mau pergi tanpa kami?"Suara bariton Bob terdengar menggema memenuhi ruangan. Delano menghen
Delano bangkit dan perlahan menyandarkan tubuhnya di tembok bagian depan galeri. Ia adalah seorang yang pendedam. Meski begitu ia bukan pria yang mudah menyerah atas keadaan.Pandangan Delano mulai nanar, perutnya yang mulai keroncongan membuat kesadarannya menurun. "Sial, jika saja ini bukan galeri lukisan, aku tidak akan memaksa bertahan di tempat ini," gerutunya. Berdecak kesal.Saat akan mencoba bangkit dan berniat pergi mencari makanan. Delano dikejutkan dengan kedua pasang kaki yang sudah berdiri di hadapannya."Delano, makanlah dulu. Kamu pasti lapar," ujar Hendri yang merasa bersalah sambil menyodorkan sebungkus roti.Seharusnya, Hendri dan Bob menyampaikan pada Delano jika sebenarnya lowongan pekerjaan di tempat tersebut hanyalah sebagai petugas kebersihan. Seandainya semua itu terjadi, mungkin Delano tidak akan sekecewa ini.Delano menyambar roti yang diulurkan He
Seluruh penghuni terlihat begitu riuh. Mereka disibukkan dengan berbagai kegiatan yang luar biasa setelah mendapat kabar, jika Jeff Hilton akan datang berkunjung ke galeri. Bahkan ada juga yang berhamburan ke sana kemari.Sementara di sebuah koridor yang lumayan panjang. Delano kembali terlelap dengan kondisi yang acak-acakan.Suara pintu yang terbuka berderit mengagetkan dirinya yang baru saja membuka kelopak matanya.Delano segera bangkit dari tempat duduknya. Ia yang semula berjongkok membersihkan lantai berpindah mendekati lukisan di dinding. Lukisan yang tak sadar ia buat sebagai bentuk protesnya pada Calista.Niat Delano ingin mengacaukan semua lukisan, agar Calista merasa dipermalukan ketika saat pameran berlangsung.Akan tetapi, keadaan justru membuat siapapun terpana melihat lukisan yang diperbaiki Delano."Delano!
Malam hari di sebuah bangunan mirip kastil tua.Pukul 23.10Delano duduk termenung, sambil memandangi kartu nama yang bertuliskan nama Jeff Hilton di kamarnya. Diusapnya berulang kali, lalu ia mengeluarkan potret kebersamaan dengan ibunya di masa kecil dulu."Lihatlah, anakmu sudah dewasa saat ini. Aku akan mewujudkan impianku, semoga kau berbahagia di sana, Bu." Delano menitikkan air mata, setelah mendengar dua temannya sedang ribut ia segera mengusap kasar bulir bening yang berhasil merembes di pipinya.Delano bangkit, kemudian menghampiri kedua temannya. "Terimakasih sudah membawaku ke tempat terkutuk itu."Hening.Kedua begundal kecil yang kini telah dewasa dan berubah menjadi preman jalanan, terdiam membeku menundukkan kepalanya di hadapan Delano."Kenapa kalian diam?" tanya Delano sambil terkekeh dan membentangkan kedua tangannya. B