Tubuh ramping Anaxtra berlari dengan cepat di antara pohon-pohon hutan Lembah Dieng. Sesekali dia melakukan lompatan ke atas pohon yang besar, berayun dari satu pohon ke pohon yang lain. Lalu dia menukik ke bebatuan kecil sepanjang tepi sungai.
Sesekali juga dia berlari diatas air, jangkauan lompatannya yang mampu mecapai 10 meter membuatnya seolah-olah terbang. Busur panah otomatis yang selalu menempel di lengan kirinya selalu siap menembakan anak panah laser jika ia memerlukannya.
Anaxtra melompat ke sebuah batu besar yang berada di tengah sungai. Sementara di depannya sebuah tembok batu raksasa yang menyucurkan air yang jernih mencipatakan air terjun yang sangat indah.
"Dari mana asal air yang mengalir ini?" kata Anaxtra dalam hati.
Air terjun ini merupakan sumber air utama dari Lembah Dieng, menglir melalui sungai yang melintasi hutan dengan satu sisi merupakan bebatuan tinggi yang menjadi tembok pembatas Lembah Dieng.
Ujung dari sungai hanyalah danau kecil yang sama tertutup oleh tembok-tembok batu yang tinggi, sementara air terjun ini. Satu-satunya tempat di Lembah Dieng yang punya kemungkinan adanya jalan untuk bisa melihat dunia luar.
"Apakah kau akan mencoba melompat ke atas sana?" kata seseorang dari tepi sungai.
Anaxtra menoleh kearah datangnya suara itu, namanya Peter, sebenarnya dia berlari bersama Anaxtra, namun kecepatannya yang di bawah kemampuan Anaxtra membuatnya sedikit teetinggal.
"Aku pasti akan mencobanya, tapi tidak untuk hari ini," kata Anaxtra sambil melompat ke samping Peter yang berjarak hampir 8 meter dari tempatnya berdiri.
"Berapa kira-kira ketinggian air terjun ini?" tanya Anaxtra sambil duduk di atas batu yang tak jauh darinya.
"Mungkin sekitar 50 meter, atau bisa lebih," jawab peter.
"Jika kampuan melompatku sudah mencapai 30 meter, aku hanya memerlukan 2 kali lompatan. Namun aku memerlukan pijakan dari lompatan pertama."
Peter ikut duduk di samping Anaxtra, "Apakah papan seluncur ayahmu tidak bisa terbang lebih tinggi lagi?"
Anaxtra menghela nafas, "Pada prinsipnya, papan seluncur buatan ayah menggunakan partikel yang ditanam di dalam papan, dia bekerja berdasarkan grafitasi bumi, kemampuan terbangnya hanya sebatas 10 meter tanpa beban, jika dinaiki satu orang,kamampuannya akan meyusut dalam ketinggian 7 meter."
"Bukankah ayahmu sedang mengembangkan papan selancar itu?" Anaxtra mengakat bahunya, "Tapi belum ada kemajuan sampai sekarang." "Sebenarnya papan selancar itu peninggalan kakekku, dalam catatan kakek, dia pernah berencana memodifikasi dengan menambahkan sensor yang berfungsi pengendalian jarak terhadap suatu benda, selain mencegah tabrakan, sensor itu berfungsi menjadikan benda apapun sebagai pijakan." "Jadi nantinya tidak hanya bertumpu pada grafitasi bumi, dengan katalain, meski menaiki tembok yang tinggi, selama bisa menahan keseimbangan, papan selancar akan tetap terbang berdasarkan jarak pada tembok itu, bukan lagi berdasar grafitasi bumi." "Namun sayang, ayahku samapai saat ini belum bisa mengaplikasikannya ke dalam papan selancar itu." "Berapa lama ayahmu akan menyelesaikannya," tanya Peter lagi masih penasaran. "Entahlah," kata Anaxtra seraya berdiri. Lalu sebelum dia berlari dengan cepat, dia kembali berkata. "Sebentar
Pegunungan Dieng adalah kawasan terdingin dengan suhu terendah mencapai 9°C. Kabut tebal sering turun bahkan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Anaxtra masuk ke dalam rumahnya dan mendapatkan ayahnya sedang duduk sambil mengamati Papan Selancar di atas meja di depannya. "Apakah kau berhasil menambahkan sensor ke dalam papan selancar itu ayah?" tanya Anaxtra sambil ikut duduk di samping ayahnya. Pada dasarnya, Syemin ayah Anaxtra adalah seorang yang pendiam, namun dari sikapnya yang tidak banyak bicara, justru membuatnya menjadi sosok yang bersahaja dan di segani penghuni Lembah Dieng. Tak heran jika masyarakat Lembah Dieng yang hanya berjumlah kurang dari 50 orang mengangkatnya sebagai tetua. Sementara istri Syemin, ibu dari Anaxtra telah meninggal sejak Anaxtra baru lahir. Syemin hanya menganggukan kepalanya, "Tapi aku belum mengujinya, mungkin besok kau bisa mencobanya." Anaxtra menatap ayahnya dengan penuh semangat, "Bena
Sinar matahari menghangatkan Lembah Dieng, udara segar seakan menjadi nafas bagi kehidupan di dalamnya. Anaxtra meliuk-liukan tubuhnya di atas Papan Selancar menyusuri sungai, sesekali melakukan manuver dan terbang lebih tinggi di atas hutan Lembah Dieng. Sejauh dia menyusuri Lembah itu, selalu berujung pada tembok batu yang menjulang tinggi, seakan tak ada jalan keluar untuk bisa meninggalkan Lembah Dieng. Anaxtra menukik ke arah tepian sungai yang tak jauh dari air terjun, lalu mendarat dengan sempurna di atas bebatuan. Sementara tak jauh dari tempat Anaxtra mendarat, berdiri ayahnya, peter dan Lilia, adik Peter yang ikut menyaksikan uji coba Papan Selancar yang dilakukan Anaxtra. "Sensornya bekerja dengan sempurna, Ayah!" katanya kemudian. "Jika sebelumnya Papan Selancar ini hanya melayang di atas permukaan bumi, setelah penambahan sensor, Papan Selancar ini bisa menditeksi benda apapun dan melayang di atasnya, aku tadi mencobanya d
Anaxtra kembali menaiki papan seluncurnya, matanya tertuju ke tembok tinggi yang ada di depannya. Secara perlahan Papan Selancarnya melayang ke arah tembok itu. "Jangan terlalu tegang, rileks aja!" teriak ayahnya dari bawah. "Ayo semangat Anaxtra!" "Kamu pasti bisa!" teriak Peter dan Lilia saling sahut memberi semangat kepada Anaxtra. Anaxtra mengambil posisi badan yang tegak, kaki kiri berada dibelakang sementata kaki kakan di depan seperti layaknya orang mau berlari. Papan Selancar semakin dekat dengan dinding tebing, Anaxtra segera menekuk kaki kanannya dan bertumpu pada kaki kiri yang masih tegak. Dia memiringkan Papan Selancar hingga membentuk sudut 45 derajat. Setelah jarak kurang lebih 7 meter dari dinding tebing, kecepatan laju Papan Selancar agak berkurang, namun Papan itu terus mengapung naik, dan semakin naik. Anaxtra memandang sekeliling, hutan dan tempat dia tinggal terlihat hijau, Papan Selancarnya masih terus nai
Anaxtra mendarat ke atas tanah di depannya. Dia merasakan hawa yang panas langsung membalur sekujur tubuhnya. "Apakah aku di neraka?" pikirnya. Anaxtra melihat sekeliling, hampir tidak ada kehidupan. Sejauh matanya memandang, hanya hamparan kering dan gersang. Anaxtra memegang pelipis matanya, lalu sebuah layar kecil berbentuk kacamata terpampang di depan matanya. Layar itu adalah monitor radar yang mampu menditeksi pergerakan suatu benda. Dengan kaca mata itu Anaxtra kembali melihat sekeliling dengan lebih seksama. "Anaxtra! ... Anaxtra! ... apakah kau mendengarku?" terdengar suara ayahnya memanggil dari chip komunikasi yang tertanam di telinganya. "Aku mendengarmu ayah," kata Anaxtra mengaktifkan mode jawab. "Suaramu terdengar putus-putus, apakah kau baik-baik saja?" kembali suara ayahnya terdengar. Alat komunikasi yang dipakai penghuni Lembah Dieng adalah chip yang ditanam di sekitar telinga, chip ini mampu ber
Sebenarnya Anaxtra masih penasaran dengan penemuannya, namun karna dia tidak ingin membuat ayahnya cemas, dia mengurungkan niatnya untuk menyelidinya lebih jauh.Anaxtra mematikan alat komunikasinya dan menutup radar yang masih terpampang di depan kedua matanya. Dia kembali menaiki Papan Selancar dan melayang berputar untu menuruni tebing menuju ke Lembah Dieng.Jika orang yang belum pernah melihat Lembah Dieng, sesaat dari tempat Anaxtra berdiri, keberadaan lembah Dieng tidak akan pernah di ketahui, dari sana hanya terlihat awan putih. Pantas saja jika Lembah Dieng teramat terlindungi.Anaxtra menukik perlahan sepanjang tepian tebing, dia harus tetap menjaga jarak antara tebing dan Papan Selancar agar sensor bisa bekerja dan menjaganya tetap melayang. Jika tidak, tubuhnya bisa langsung merosot karena jarak sensor dengan benda tidak bisa melibihi 10 meter.Syemin, Lilia dan peter memperhatikan Anaxtra yang melayang turun dengan seksama.Dari tempat
"apa yang kau lihat di atas sana, Anaxtra?" tanya Peter penasaran."Apakah di atas lebih indah dari sini ?" Lilia menyela dengan tidak sabar.Anaxtra menghela nafas, dia ingin sekali menceritakan apa yang baru saja dilihatnya, namun dia mengurungkan niatnya ketika ayahnya juga bertanya."Bagaimana menurutmu Papan Selancar itu, apakah sudah berfungsi dengan sempurna ?""Aku rasa ini sudah berfungsi dengan baik, ayah".Syemin tersenyum dengan puas."Buatkan satu untukku, Paman" kata Peter."Aku juga, Paman" kata Lilia tak mau kalah."Hai...kau anak perempuan, kenapa kau selalu ingin bersaing dengan kami" protes Peter.Lilia menjulurkan lidahnya, "selama Paman bersedia, kenapa kamu yang keberatan".Peter tidak bisa berkata lagi."Kalian tidak perlu bertengkar, aku pasti akan membuatkannya untuk kalian" Syemin berkata untuk melerai keributan dua bersaudara itu.Lilia melompat kegirangan."Anaxtra,
Sepeninggal Ayahnya dan Lilia yang menghilang di antara pepohonan hutan Lembah dieng. Anaxtra tiba-tiba melompat ke tengah sungai, setelah kakinya menginjak batu besar yang berada di tengah sungai, tumbuhnya kembali melayang ke atas dan bersalto di udara.Anaxtra mengeluarkan tiga kali tembakan laser dari tangan kirinya ke arah pepohonan yang berada jauh di tepian sungai itu. Pohon besar yang terkena tembakan itu langsung tumbang dengan sisi yang hancur.Tubuh Anaxtra kembali mendarat ke batu tempat dia berpijak tadi, kali ini dia kembali melakukan lompatan lagi, namun berbeda dengan lompatan tadi, dia melakukan lompatan ke belakang dan kembali bersalto sambil berkata,"Ayo Peter, bermainlah bersamaku"Lalu Anaxtra mengambil benda mirip korek api yang terselip di paha kanannya.Benda itu hanya memiliki panjang tidak lebih dari 15 cm. Ketika benda itu berada digenggaman Anaxtra, seketika benda itu memancarkan cahaya memanjang berukuran 1 meter