Mag-log inAku masuk ke dalam sebuah novel romance dan menjadi tunangan dari tokoh utamanya. Sosok yang kini kuperankan bernama Alea, seorang wanita pendiam yang sejak kecil diadopsi bukan karena kasih sayang, tapi hanya untuk dijual kepada keluarga Keenan, sang tokoh utama. Kehadirannya tidak pernah dianggap. Di dalam keluarganya, Alea selalu dikucilkan, diperlakukan seperti alat, bukan manusia. Dia tumbuh tanpa cinta, tanpa perlindungan, hanya ada dinginnya pengabaian dan tuntutan. Dan sekarang, aku berada di tubuh Alea itu. Menjadi dia. Di akhir cerita, Alea akan dibuang oleh keluarganya karena gagal menikahi Keenan. Dan Keenan-dia bahkan tak pernah menginginkan Alea sejak awal. dan aku tidak ingin hidup seperti itu.
view more***
Novel ini harusnya hanya fiksi. Kisah klasik tentang pria kaya yang dingin dan wanita yang tak diinginkan siapa pun. Aku pernah membacanya berkali-kali, bahkan hafal dialog beberapa tokohnya. Tapi sekarang, entah bagaimana, aku berada di dalamnya. Bukan sebagai pemeran utama wanita yang akan mencuri hati sang tokoh pria. tapi sebagai Alea, Figuran yang akan dibuang di akhir cerita. Alea. Seorang gadis pendiam yang dibesarkan dalam dinginnya rumah keluarga angkat. Sejak kecil, dia tahu bahwa keberadaannya tidak diinginkan. Dia bukan anak. Dia bukan saudara. Dia hanya "investasi" untuk suatu hari nanti dijual demi membangun koneksi bisnis dengan keluarga Keenan, pewaris perusahaan terbesar dalam cerita ini, sekaligus tokoh utama cerita ini. Dan kini, hari itu telah tiba. Aku duduk di sebuah ruang tamu luas berwarna abu-abu, berhadapan dengan pria yang bahkan tak sudi menatapku sejak masuk ke ruangan ini. Keenan Alvarez. Tokoh utama novel yang aku kenal luar dalam setidaknya dari sudut pandang pembaca. Dingin. Tertutup. Sombong. Dan sangat membenci pertunangan ini. "Aku tidak peduli apa maumu," ucapnya tanpa menatap. "Selama kita bermain sesuai peran di depan keluarga masing-masing, aku tak akan mengganggumu. Dan kau jangan pernah menggangguku." Kata-katanya seperti pisau, tapi aku sudah tahu akan ada momen ini. Aku tahu semuanya. Aku tahu Alea akan terluka. dia Akan menangis diam-diam di balik kamar besar yang tak pernah benar-benar menjadi miliknya. Aku tahu Alea akan berakhir sendirian. Dibuang, dihina, dilupakan. Tapi aku bukan Alea. Dan jika ini adalah hidup baruku, maka aku akan memperjuangkannya dengan caraku sendiri. Tapi apa yang bisa kulakukan? Saat pertama kali aku memasuki dunia ini, aku mencoba melawan. Aku berteriak, menolak, memberontak dari skenario yang telah ditulis untukku. Tapi yang kudapat bukanlah keajaiban... Melainkan cambuk yang menghantam punggungku, dingin jeruji besi yang mengurungku dalam gelap selama berhari-hari. Aku berpikir ini hanya mimpi buruk. Bahwa rasa sakit itu tak nyata. Tapi aku salah. Rasa sakitnya nyata. Darah itu nyata. Tangisanku menggema di dinding batu yang dingin. Tidak ada yang datang. Tidak ada yang peduli. Saat itulah aku sadar ini bukan sekadar cerita. Ini dunia yang hidup. Dunia yang kejam. Dan aku... adalah seseorang yang tidak punya tempat di dalamnya. Sejak hari itu, aku belajar diam. Belajar untuk berjalan pelan, berbicara pelan, bahkan bernapas pelan. Alea, gadis pendiam yang tidak dianggap, perlahan menyatu denganku. Aku mulai hidup sebagai dirinya... bukan karena aku ingin, tapi karena aku harus. Namun, setiap malam sebelum tidur, aku terus bertanya dalam hati: Apakah memang takdirku hanya untuk menjadi tokoh yang dibuang? Aku tahu akhir cerita ini. Alea akan gagal menikahi Keenan. Keluarganya akan mencampakkannya seperti barang rusak. Dan Keenan... akan tetap melihatku sebagai beban yang harus disingkirkan. Tapi semakin lama aku hidup sebagai Alea, semakin aku sadar aku tidak ingin kisah ini berakhir seperti itu. Aku takut. Tapi lebih takut lagi jika aku hanya diam dan mengikuti naskah. Karena meski aku bukan siapa-siapa di dunia ini, meski mereka hanya melihatku sebagai figuran tak berharga. aku tidak ingin lenyap tanpa melawan. *** Mereka akhirnya meninggalkanku berdua dengan Keenan, Keenan yang akan beranjak pergi namun alea tahan. "Tolong bertahan di sini sebentar saja, walau kamu tidak suka, tapi aku mohon tolong aku" Keenan menatap Alea dengan tatapan menjijikan. Alea tau kalau sampai Keenan pergi dia bisa saja di cambuk orangtua nya karena di anggap gagal menaklukan Keenan, Alea terpaksa menahan pergelangan tangan Keenan dan memohon padanya . Karena setiap tolakan yang Keenan berikan maka cambukan yang Alea dapatkan. Keenan menatap tangan Alea yang masih mencengkeram pergelangannya. Tatapan matanya penuh kejengkelan. "Apa maksudmu menahanku? Kau pikir aku akan jatuh iba hanya karena kau memohon seperti orang putus asa?" Alea menelan ludah. Suaranya bergetar, tapi matanya berusaha tetap menatap Keenan. "Aku... aku tidak minta simpati. Aku hanya... mohon, bertahan sebentar saja. Di depan mereka" Keenan menyipitkan mata, wajahnya semakin dingin. "Keluargamu yang meminta ini, bukan? Kau sama saja dengan mereka. Menjadikanku alat untuk kepentingan kalian." Alea tercekat. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa dia sama sekali bukan bagian dari rencana kotor keluarganya. Bahwa dirinya juga korban. Tapi lidahnya kelu, seperti terikat tak kasatmata. Jika ia terlalu banyak bicara, justru semakin besar kemungkinan kebenaran itu tidak dipercaya. Jadi ia hanya berkata lirih, hampir tak terdengar, "Aku hanya ingin bertahan." Keenan terdiam sejenak. Tatapannya mengeras, penuh ketidakpercayaan. "Bertahan? Dari apa?" Alea menunduk cepat, menyembunyikan matanya yang basah. Ia tidak bisa menjawab. Kalau Keenan tahu kebenarannya, apakah dia akan percaya? Atau justru menganggapnya drama murahan seorang wanita lemah? Keenan mendengus pelan, lalu menarik tangannya dengan kasar. "Tsk. Menyebalkan." Ia berbalik, seolah akan pergi. Alea merasakan jantungnya mencelos. Kalau Keenan benar-benar keluar, maka semua sia-sia keluarganya tidak akan segan menyiksanya dengan alasan "gagal menjalankan peran". Alea menahan rasa kesalnya, lalu dengan gerakan spontan ia melepas sepatu dari kakinya dan melemparkannya ke arah Keenan, yang saat itu sudah berdiri di depan pintu dan hampir membukanya. "Aku bilang tunggu di sini sebentar sialan" Keenan membelalakkan matanya baru pertama kali dia mendengar umpatan apalagi itu dari Alea sosok pendiam dan sopan. "Apa ? "Kou tuli aku bilang duduk" teriak Alea sambil melotot. Keenan terdiam di tempat. Tangannya masih menggenggam gagang pintu, tapi matanya menatap Alea dengan tatapan tak percaya. Ia tak pernah, seumur hidupnya, mendengar suara Alea naik satu oktaf, apalagi sampai berani mengumpat kepadanya. Sepatu yang tadi melayang jatuh terguling di lantai marmer, meninggalkan keheningan yang mencekam. Alea sendiri terengah, jantungnya berdetak kencang. Ucapan barusan meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan, lahir dari campuran panik dan putus asa. Ia sadar benar ucapan kasar itu bisa menjadi bumerang, apalagi diarahkan pada pria seperti Keenan. Tapi kali ini ia tidak peduli. Keenan memicingkan mata, wajahnya perlahan berubah. Dari kaget, menjadi datar, lalu menegang penuh amarah. "Ulangi," ucapnya pelan, nyaris berbisik. Tapi justru itulah yang membuat bulu kuduk Alea meremang. Alea menelan ludah. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Kalau ia mundur sekarang, kalau ia meminta maaf, maka semuanya selesai. Ia akan kembali menjadi Alea yang penurut dan tak berdaya. Tidak. Ia sudah terlalu jauh. Dengan suara serak tapi tegas, ia mengulanginya. "Aku bilang... duduk." Tanpa pikir panjang Keenan pun duduk di tempat yang Alea tunjuk. "Diam di sini setengah jam saja, bisa kan" ucap Alea tegas. Mendapat anggukan dari Keenan. Keenan pun tidak mengerti kenapa dia jadi nurut sama alea Keenan bersandar santai di kursinya, meski raut wajahnya masih menyimpan ketidaksukaan. Ia sendiri heran, bagaimana bisa ia menurut pada perintah gadis pendiam yang bahkan tidak pernah ia perhitungkan.*** Alea menunduk sedikit, berusaha mengabaikan tatapan tatapan tajam yang mengikuti setiap langkahnya. Bisik bisik muncul begitu ia lewat berhenti sesaat ketika ia menoleh, lalu kembali muncul lebih pelan namun semakin menusuk. Rasanya seperti semua orang di sekolah tiba tiba berubah menjadi hakim yang siap menjatuhkan vonis. Alea tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan dada yang mulai sesak, ia mempercepat langkah dan segera masuk ke kelas. Begitu melihat kedua sahabatnya, ia langsung menghampiri. "Kenapa sih? Kok semua orang ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Alea, suaranya bergetar namun berusaha terdengar tenang. Salah satu sahabatnya saling melirik dengan wajah tidak enak. "kamu… beneran gak liat grup sekolah?" Alea mengerutkan kening. "Emang kenapa? Ada apa?" "coba kamu baca sendiri aja" Alea membuka ponselnya. Notifikasi grup sekolah memenuhi layar. Begitu ia membuka pesan paling atas, dunia rasanya berhenti sejenak. Sebuah postingan menyebar cepat, Keenan dan
Begitu sarapan selesai, para pelayan mulai membereskan meja. Nenek masih duduk di kursinya sambil memperhatikan Alea dan Keenan yang sejak tadi terlihat salting satu sama lain tapi sama sama pura pura tenang. "Alea, kamu sama Keenan berangkat bareng ya" ucap nenek tiba tiba. Alea tersentak. "sama Luna juga kan nek" "gak usah aku bisa naik bis kok" ucap Luna dengan senyum di bibirnya. "nanti Luna supir yang antar" ucap nenek. Keenan bangkit sambil meraih tasnya. "Ayo" Nada suaranya datar, tapi kedua telinganya masih merah. *** Di halaman depan, motor Keenan sudah terparkir rapi. Motor hitam itu mengkilap, model sport tapi tidak terlalu besar pas dengan gaya Keenan yang stylish. Alea berhenti di samping motor itu. "Naik motor…?" tanyanya ragu. Keenan memasang helm cadangan pada kepala Alea tanpa menjawab, benar benar tanpa meminta izin dulu. Gerakannya hati hati, seolah takut menyakiti. Tangan Keenan sempat bersentuhan dengan pipi Alea. Alea langsung menahan na
Di sisi kamar yang remang, Nyonya alfarez melangkah masuk ke kamar nenek. Wajahnya tegang, suaranya penuh emosi yang ditahan. "Maksud Ibu apa sih, bawa Alea ke sini?" tanyanya ketus. Nenek menatapnya tanpa bergeming. “Kamu tanya saja pada anakmu" Nyonya alfarez menghela napas keras, matanya memerah oleh kekesalan. "Bu, sepertinya di rumah ini tidak ada yang menghargai perasaan aku, Lama lama Ibu juga mau bawa perempuan itu ke sini… dan anak haramnya, ya kan?" Nenek menatapnya tajam, suaranya rendah tapi tegas. "Diana, jangan samakan Alea dengan perempuan itu. Mereka berbeda. Hanya karena kamu tidak suka seseorang, bukan berarti orang itu buruk" "tuh ibu juga tahu aku tidak suka dia…" "Ibu tahu," potong nenek lembut. "Tapi Ibu juga tahu siapa kamu sebenarnya, Coba buka sedikit saja hatimu untuk Alea, Ibu yakin… dia bisa menjadi teman di kala sepimu" "Alea sama aja sama keluarganya, tamak" "soal itu kamu bisa menilainya sendiri... nyonya alfarez pun tak bicara
Alea mengikuti nenek Keenan menuju mobil keluarga itu. Udara malam terasa menekan, angin dingin membuat kulitnya merinding, tapi bukan karena cuaca melainkan karena apa yang baru saja terjadi. Perjanjian itu, keputusan itu semuanya berlangsung terlalu cepat. Begitu pintu mobil terbuka, Alea sempat menoleh. Di depan pintu rumah, tuan dan nyonya Marvelle berdiri terpaku. Wajah mereka campuran antara keterkejutan, ketamakan, dan ketakutan. Tapi tidak ada sedikit pun belas kasihan yang tersisa dalam diri Alea untuk mereka. Tidak setelah semua yang mereka lakukan. dia masuk ke mobil, dan perjalanan menuju rumah keluarga Keenan dimulai. *** mobil berhenti, pintu depan terbuka otomatis. Lampu lampu taman menyala lembut memandikan halaman luas itu dengan cahaya putih pucat. Alea turun, mengikuti nenek Keenan masuk. Sang nenek berjalan anggun, seolah seluruh tempat ini berputar mengikuti langkahnya. Begitu pintu utama terbuka, sosok seorang wanita muncul di ambang pintu.
*** Alea turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah megah itu. Begitu melewati pintu utama, langkahnya terhenti. Di ruang tamu, nenek Keenan sedang duduk sambil mengobrol dengan kedua orangtua angkatnya. "Alea, sini nak…" panggil sang nenek sambil tersenyum. Alea mendekat pelan. Tatapannya berpindah ke kedua orangtuanya yang terlihat gelisah dan tidak nyaman. "Nenek sudah berbicara dengan orangtuamu" ucap sang nenek lembut. "Keluarga kami bukan keluarga biasa, jadi calon anggota keluarga harus dibimbing sejak awal. Akan lebih baik jika kamu tinggal bersama kami, di bawah pengawasan keluarga" Senyumnya begitu tenang, seolah keputusan itu sudah final. "Alea, bisa kita bicara sebentar?" suara nyonya Marvelle memecah udara. Alea menoleh. Tatapannya sempat menangkap senyum kecil di ujung bibir nenek itu senyum yang membuatnya curiga. Apakah ini rencana Keenan? Apa dia bekerja sama dengan neneknya? "Boleh saya bicara sebentar dengan anak saya?" pinta nyonya Marvelle.
Di masa sekarang, ingatan itu menghantam Keenan seperti gelombang dingin yang menampar kesadarannya. Ia menutup mata, mencoba mengusir sakit di dadanya, sakit yang sebenarnya sudah ia kenal sejak kecil namun tidak pernah ia akui. Karena untuk pertama kalinya… ia mulai curiga. Bagaimana kalau Alea tidak pernah membencinya? Bagaimana kalau semua waktu itu… Alea hanya ketakutan? Dan bagaimana kalau ketakutan yang sama masih menghantui Alea sampai hari ini? Keenan meremas ponselnya. Kecurigaan yang tadinya samar kini berubah menjadi rasa tidak tenang yang menikam. Dava. Setiap kali Alea terlihat ketakutan… Setiap kali Alea menutup diri… Setiap kali Alea bersikap aneh, seolah menyembunyikan sesuatu… Dava selalu ada di sekitarnya. Kenapa aku baru sadar sekarang…? pikir Keenan, rahangnya mengeras. Ia membuka mata, menatap pantulan dirinya di layar ponsel. Wajahnya datar, tapi tatapannya gelap. Ada naluri protektif yang selama ini ia tekan, kini mulai merangkak nai
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments