"Nara--" Yooshin yang semula berniat maju mendekati Nara langsung berhenti saat Moa mendekat ke arahnya.
"Aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Seharusnya kau menurut dan menyerah saja," ujar Moa."Aku tidak akan pernah menyerah padamu." Yooshin mencabut pedang miliknya tanpa melepas tatapannya barang sedetik pun. Ia lalu menatap Nara di belakang sana. Gadis itu tak bisa berbuat banyak dan tampak begitu khawatir."Setidaknya dia masih hidup karena aku tidak membunuhnya langsung. Seharusnya kau bersyukur." Moa tersenyum miring. Ia berjalan memutari Yooshin. "Kau tahu kenapa aku masih membiarkanmu hidup hingga detik ini? Karena ... gadis itu yang menyuruhku." Moa memegang kedua bahu Yooshin dan menunjuk ke arah Nara."Nara ... ""Dia memintaku untuk tidak membunuhmu." Dari posisinya, Moa bisa melihat kedua mata Nara yang berkaca-kaca. Netra milik gadis itu tampak berkilau karena pantulan cahaya api berwarna biru di sekelilingnya.Moa membawa tubuh Nara ke permukaan dan ia langsung kehilangan keseimbangannya. Pria itu menatap Nara yang masih tak sadarkan diri. Suhu gadis itu juga kian menurun. Moa meraih wajah Nara dan ia mendekatlan wajahnya. Diberinya napas buatan, berharap gadis itu segera menunjukkan pergerakan.Dengan tenaga yang masih tersisa, Moa berusaha mengeluarkan air yang kemungkinan masuk ke dalam tubuh Nara."Sadarlah! Kau bisa!" Moa kembali memberikan napas buatan.Setelah beberapa saat, Nara terbatuk pelan namun kedua matanya tak kunjung terbuka."Hei. apa kau mendengarku? Kau bisa mendengarku?" Moa menepuk-nepuk pelan permukaan pipi Nara namun gadis itu masih memejamkan kedun matanya, sesekali mengerutkan dahi.Moa menatap kedua telapak tangan milik Nara yang terluka. Gadis itu nekat sekali. Jika saja pedang yang melukainya adalah pedang milik Moa, nyawanya pasti akan langsung melayang kurang dari satu menit.Begitu hujan reda. ia segera membawa Nara pergi dari sana. Ia tak akan bisa bergerak l
Tubuh Nara seakan membeku saat material lembut itu menyapu permukaan bibirnya. Tubuh Moa perlahan kembai menjauh, dan menatap Nara yang masih tampak terkejut."Kau hanya perlu makan, tidak usah banyak bicara." Ucapan Moa membuat Nara tersadar dari lamunannya."Iya, maaf." Nara menunduk.Meskipun samar, Moa bisa melihat wajah Nara yang dihiasi oleh rona merah. Ia kembali menyuapkan sepotong kentang dan langsung disambut oleh Nara. Diam-diam, Nara memperhatikan wajah Moa."Wajahmu masih terlihat memar." ujar gadis itu pelan."Sudah tidak begitu sakit." ujar Moa. "Harusnya kau mengkhawatirkan pemuda itu."Kedua mata Nara melebar. "A-aku yakin kau tidak membunuh Yooshin.""Kenapa kau begitu percaya padaku?" ujar Moa."Aku tahu kalau kau bukanlah makhluk yang bisa dengan mudah berdusta. Aku yakin kau menepati perkataanmu.""Dan kau sengaja melakukan hal itu?" tebak Moa.Nara tersentak pelan. "A-aku--""Kau senga
Nara menatap kedua tangannya yang sudah sembuh. Luka yang sebelumnya menghiasi kedua telapak tangannya itu kini sudah tak terlihat lagi, berkat Moa.Gadis itu menghela napas, lalu menengadahkan kepalanya ke atas, menatap dedaunan di atas sana yang menari-nari tersapu angin."Maafkan aku. Yooshin," batinnya. "Aku juga tidak mengerti kenapa aku melakukan semua ini."Nara mengepalkan tangannya, lalu memejamkan mata. Mendadak, entah kenapa, ia merasa begitu berdosa kepada kedua orangnya. Jika keduanya masih hidup, mungkin Nara bisa melihat raut kekecewaan yang ada di wajahnya.Nara meremas pakaiannya."Ada makhluk jahat yang hidup jauh sebelum kakekmu lahir. Mereka jahat, sangat jahat, dan tidak memiliki belas kasihan sedikit pun.""Apa mereka membenci manusia, Bu?""Hm. Mereka sangat membenci manusia. Dan yang jadi masalahnya adalah, mereka itu abadi dan hampir tidak bisa dikalahkan bahkan oleh raja di negeri ini. Makhluk itu seolah tidak memiliki rasa takut, dan akan terus menyerang man
"Aku tidak akan pernah lagi membiarkan Yooshin pergi ke hutan itu." Tuan Hwang membuang napas pelan melihat keadaan putranya. Yooshin terlihat belum sadarkan diri."Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku," ujar Seungmo."Anda tidak bersalah. Tuan. Akulah yang lalai dalam memperhatikan putraku. Harusnya aku melarangnya pergi ke sana lagi. Dia sudah beberapa kali menghadapi situasi yang berbahaya yang bisa mengancam nyawanya, aku tidak bisa membiarkannya menghadapi hal seperti itu lagi."***"Kakekmu, Kim Seungmo, adalah manusia picik yang juga aku benci hingga detik ini. Dia penyebab dari semua ini. Dia mengadu dombakan aku dan juga ibumu. Dia tahu kami membuat kesepakatan dan dia mengacaukan segalanya. Dia dan juga orang-orangnya membunuh penduduk lalu berkata pada Kiara kalau akulah yang membunuh mereka semua.""Ibumu marah dan menyudutkanku. Dia dan ayahmu diam-diam masuk ke dalam hutan di malam purnama dan membunuh semua keluargaku. Dia membunuh mereka saat mereka dalam kondisi lema
Waktu tak terasa berlalu dengan begitu cepat. Nara yang masih berada di dalam Hutan Moa mulai perlahan kian terbiasa dengan kehidupannya di sana. Di samping itu, seharusnya Moa berperan sebagai sosok yang patut Nara jauhi, namun pada kenyataannya justru mereka berdua melakukan hal yang sebaliknya. Gadis yang sempat berencana membuat senjatanya sendiri secara diam-diam kini justru seolah melupakan tujuannya itu.Asap terlihat mengepul melewati dahan-dahan pohon, lalu berterbangan ke langit dan menghilang bersama dengan angin. Sementara di bawahnya, si pelaku pembuat kepulan asap itu tampak menikmati ikan bakar dengan wangi yang begitu menggoda, membuat air liur seolah hampir menetes keluar dari ujung bibir yang sudah lembap."Kau berencana makan itu sendirian?" Moa bertanya dari bawah pohon, menatap anak manusia yang terlihat fokus pada ikan bakar di depannya.Nara mengangguk dengan semangat. "Tentu saja. Aku lapar sekali." ujarnya. Ia menyudahi acara bakar ikannya dan kini sibuk meniu
"Terlihat cocok untukmu." Moa menatap panampilan baru Nara dengan pakaian berwarna putih, lengkap dengan jubah berwarna senada. Bagian pundak yang dihiasi bulu-bulu halus menambah poin plus penampilan gadis itu."Ini keren!" Nara memutarkan tubuhnya dan terlihat senang. "Kau mendapat ini dari mana?""Hanya iseng, aku melihatnya di salah satu desa yang aku kunjungi," jawab Moa."Kunjunganmu itu bermakna mengerikan. Beruntung pakaian ini tidak ada bercak merahnya," cibir Nara. "Ngomong-ngomong kenapa kau sampai membawakan ini untukku?""Udara mulai dingin kan, sebentar lagi musim dingin datang jadi aku memutuskan membawakan itu untukmu. Manusia lemah sepertimu pasti akan membuatku kerepotan di tengah udara dingin.""Astaga, kau menyebalkan sekali." Nara menggelengkan kepalanya. "Tapi penampilan kita terlihat seperti Yin dan Yang, hitam dan putih. Aku suka, meskipun kau pasti mencurinya." Salah satu sudut bibir Nara naik.Moa berdeham, lalu beranjak dari tempatnya. "Aku akan masuk ke dal
"Lihatlah, wajah suamimu memerah. Dia pasti senang sekali melihatmu yang semakin cantik." Nara berjalan pelan seraya memperhatikan keadaan di sekitarnya. Sesekali gadis itu melirik ke belakang, namun selalu saja tindakannya itu bisa diketahui Moa. Karena merasa tidak nyaman dengan atmosfir di antara mereka. Nara pun sengaja memelankan langkah kakinya sehingga ia sejajar dengan Moa. Gadis itu berdeham pelan, lalu berujar. "kau tahu, kan, yang tadi itu tidak sengaja. Wanita itu benar-benar tidak tahu kita berdua, terlebih lagi dia tidak tahu identitasmu yang sebenarnya." "Lalu?" Nara menggaruk tengkuknya.. "Kau tidak perlu marah pada wanita itu. Dia kan baik, dan kurasa dia tulus--" "Kenapa aku harus marah?" ujar Moa. Ia menatap Nara hingga pandangan keduanya bertemu. "Ya... kupikir kau akan marah. Baguslah jika tidak. Kupikir kau kesal." Nara membuang pandangannya dan berjalan mendahului Moa. "Jangan berjalan terlalu cepat atau kita akan terpisah. Tempat ini ramai dan biasanya t
"Kau masih marah?" Nara menatap wajah Moa dari samping. Mereka keluar dari desa dan kini dalam perjalanan kembali. Moa tak menjawab. Ia tak lagi berlari, hanya berjalan menyusuri hutan. "Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri," ujar Nara. "Diamlah, dan jangan bergerak." Kedua pipi Nara menggembung. Ia lalu mengeratkan kedua tangannya yang berada di leher Moa. "Kau tidak terluka? Kurasa di pakaianmu ada noda darah." ujar gadis itu. "Aku tak apa." "Kenapa kau memberi uang pada pria itu? Kau juga menurut saat aku menyuruhmu untuk membebaskannya." Nara kembali bersuara. "Pria itu lebih membutuhkan uang ketimbang aku." Mendengar itu, kedua sudut bibir Nara naik dan membentuk seulas senyuman tipis. "Aku yakin, sekejam apapun seseorang, ia pasti memiliki sisi lain yang baik." Moa terdiam selama beberapa saat. Ia menikmati angin sore yang menyambutnya begitu sampai di Hutan Moa. "Dan sebaik apapun manusia, mereka pasti sedikitnya memiliki sisi lain yang kejam." lirih Moa. Tidak l