Seorang anak kecil terlihat berlari mengejar-ngejar seekor kelinci yang ada di halaman rumahnya. Beberapa orang wanita yang ada di sana melihat ke arah itu dengan seulas senyuman lebar yang terlihat begitu bahagia. "Nona Sowon terlihat begitu senang, bukankah begitu?" Salah seorang wanita yang baru saja selesai menjemur pakaian itu pun berujar. "Dia terlihat menggemaskan, sama seperti Nona Nara dahulu sewaktu beliau masih kecil," jawab rekannya. "Aku dulu sempat khawatir jika Nona Nara benar-benar akan berakhir persis seperti mendiang ibunya dulu, tapi aku benar-benar bersyukur karena ternyata Nona Nara memiliki seseorang di dekatnya seperti Tuan Yooshin, bahkan hingga mereka berdua menikah pun, Tuan Yooshin terlihat semakin bahagia, kurasa beliau memang sudah memiliki perasaan yang lebih kepada Nona Nara sejak lama, atau mungkin sejak mereka masih anak-anak karena mereka sering sekali menghabiskan waktunya berdua." Wanita yang merupakan seorang pelayan di kediaman itu pun membuan
Beberapa orang tampak memasuki sebuah rumah dan meletakkan seorang gadis kecil di dekat perapian. Wajah gadis itu tampak begitu pucat dan berkeringat, bibirnya bergetar dan napasnya memburu cukup hebat. Dia ... tampak seperti sekarat.Seorang pria tua yang tadi membawanya langsung mengambil sesuatu yang berada di atas meja. Sebuah mangkuk yang terbuat dari kayu itu berisi cairan berwarna hijau pekat—bahkan cenderung kehitaman."Minumlah," ujarnya seraya sedikit menegakkan tubuh gadis kecil di pangkuannya.Kening gadis itu berkerut begitu merasa ada cairan aneh yang mengalir ke melewati kerongkongannya. Kedua matanya perlahan terbuka."Apa dia baik-baik saja?" tanya pria lain yang ada di sana.Si pria tua mengangguk. "Dia akan segera membaik," ujarnya dan membuka kepalan tangan gadis itu. Sesuatu tampak digenggamnya dengan begitu erat. Si pria tua menghela napas
Sebuah lonceng berbunyi begitu ada angin yang berembus ke arahnya. Langit pagi ini tampak cukup cerah, hangat sinarnya berpadu dengan dinginnya hawa musim dingin. Orang-orang tampak berlalu-lalang memulai aktivitas mereka.Nara menyentuh permukaan lehernya yang dibalut oleh sebuah kain. Gadis itu masih mengingat kejadian beberapa waktu lalu, ketika dirinya hampir saja dibunuh oleh Moa."Aku pasti sudah mati jika tidak ada norigae ini," batinnya seraya menyentuh sebuah norigae yang selalu menggantung di bajunya. Dia tidak pernah menyangka bahwa benda yang biasa digunakan hanya untuk aksesoris pakaian itu rupanya bisa menjadi peranan penting untuk hidup seseorang. Tapi itu hanya berlaku untuk norigae milik ibunya—yang selalu dia pakai.Apa benda seperti itu bisa dimasuki mantra? Nara menyentuh paemul norigae yang berbentuk bulatan itu. Aneh sekali, padahal tidak ada yang spesial."Tu
"Lepaskan!"Nara segera melepaskan anak panah di tangannya dan benda itu langsung menancap sempurna di tubuh pohon yang sudah diberi tanda oleh kakeknya. Seungmo berjalan ke pohon itu untuk melihat hasilnya. Pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya pelan dan segera mencabut busur yang menancap itu."Sedikit lagi. Sudah ada peningkatan," ujarnya.Nara tersenyum. Kemampuan memanahnya sudah mulai berkembang. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki rasa takut, tapi dia yakin kalau dia akan sehebat sang ibu yang hebat dalam memanah, juga seperti sang ayah yang handal dalam memainkan pedang dan turun ke medan perang. Nara tahu, perang yang akan dia alami bukanlah seperti perang pada umumnya. Musuhnya hanya satu, tapi di dalamnya tersimpan ratusan atau bahkan ribuan jiwa-jiwa manusia yang tak berdosa. Termasuk jiwa kedua orang tuanya.Bersamaan dengan itu seseorang berlari memasuki halaman rumah dengan napas memburu, membuat Nara dan Seungmo menoleh ke arahnya.
Perlahan Nara menarik salah satu anak panah miliknya. Kedua mata anak itu tidak lepas barang sedetik pun dari Moa. Kedua matanya mengkilap.Sementara Moa belum bergerak dari posisinya. Ia masih memperhatikan Nara. Dari kejauhan, anak itu tampak mirip seperti Kiara. Tatapan mata mereka tampak sama.Perlahan, bayangan ketika tubuh Kiara yang berlumuran darah kembali terlintas begitu saja. Wanita itu meregang nyawa tidak jauh dari tubuh suaminya yang terbelit akar pohon. Sementara itu, seorang anak kecil menangis meraung-raung di belakangnya. Sebuah pedang yang berlumuran darah menancap di permukaan tanah di dekatnya, beserta beberapa mayat yang tergeletak.Moa sadar, perlahan anak itu berubah seiring berjalannya waktu. Ia bisa melihat keberanian yang begitu besar perlahan muncul. Anak itu, Nara. Tidak lain adalah ancaman terbesar untuknya. Gadis itu kini sudah menarik tali busur dengan kedua mata yang tepat mengarah padanya. Pedang Moa bereaksi, bersamaan de
“Semuanya akan baik-baik saja, jadi bertahanlah. Ibu dan Ayah akan melindungimu.” Kedua sudut mata Nara kian berair. Aliran anak sungai itu kian merembes keluar dan Nara kehilangan pertahanannya begitu genggaman tangannya perlahan dilepas oleh Daehyun. Pria itu tersenyum seraya mengusap puncak putrinya. Tepat di belakang, Kiara menatap dua orang yang dicintainya dengan seulas senyuman. “Jangan pergi.” Suara Nara bergetar dengan isakan yang semakin keras. -“Ayah!” Kedua mata Nara terbuka. Hal yang pertama ia lihat adalah wajah seorang anak laki-laki yang berjarak cukup dekat dengannya. Nara secara refleks memeluk pemuda itu dan menangis di bahu lebarnya, menumpahkan segala kerinduannya.“Aku khawatir saat kakek berkata kalau kau terluka.” Pemuda itu berujar seraya mengusapi punggung Nara. G
“Musim dingin sebentar lagi akan berakhir, kan?” Yooshin menolehkan kepalanya pada Nara. “Kau hanya ingin melihat maehwa mekar. Iya, kan?” balas Yooshin dengan kikihan pelan. Nara menggelengkan kepala, “Bunga maehwa bahkan masih bisa mekar saat musim dingin datang. Dia, bunga yang kuat. Ayo kita lihat bunga canola,” ujarnya.“Canola?”“Hm. Aku ingin melihat bunga canola saja.” Setelah memasukkan sebuah kayu ke perapian, Nara menatap Yooshin, “Kau, jangan pergi. Tinggalah di sini.”Kalimat itu sempat membuat Yooshin terdiam, seolah kehilangan jawaban. “Jika berlatih di luar sana hanya untuk membuatmu menjadi lebih kuat, kenapa tidak berlatih saja di sini? Kakekku juga ahli pedang, bahkan ayahmu juga. Berada di sisiku mungkin akan membawamu pada bahaya, tapi aku tidak akan bisa berbuat apa-apa jika terjadi sesuatu padamu di luar sana. Sekarang aku mungkin hanyalah anak-anak, tapi aku berjanji akan melindungimu jika sudah dewasa nanti, sama seperti kau yang selalu melindungiku selama i
Bunga canola bermekaran seperti yang diharapkan. Hamparan berwarna kuning layaknya emas itu sama sekali tak menyilaukan bagi siapa saja yang melihatnya. “Cantik sekali.” Yooshin tersenyum menatap bunga-bunga canola di depannya. “Kau benar. Mereka telihat begitu cantik di hari pertama musim semi,” lanjutnya. Ia lalu menoleh pada gadis yang berada di sampingnya. “Kau … baik-baik saja? Apa kau merasa tak enak badan?” tanya lelaki itu begitu menyadari raut wajah Nara yang berbeda seperti biasanya. “Ah, ya. Aku baik-baik saja.” Nara tersenyum, lalu menatap ke depan sana. “Kurasa, aku mulai menyukai canola di musim semi.” Yooshin tertawa pelan. “Begitukah?”Lelaki itu mengangguk. “Karena ayah dan Kakek Seungmo sudah kembali, malam ini aku harus pulang ke rumah.” “Hm. Tak apa. Terima kasih karena sudah menemaniku selama kakek pergi.” “Aku sedikit bisa bernapas lega sekarang,” ujar Yooshin. “Tidak pernah lagi kudengar ada korban lagi. Apakah Moa s