Share

Bab 4 My Mate

Hampir setengah jam perdebatan panjang yang alot itu berlangsung. Butuh banyak usaha untuk mengeluarkan gadisnya dari kantor polisi. Semua ini membuatnya lelah, beberapa kali Adrian menghela nafas frustasi hingga ketiganya sampai keparkiran mobil tempat Adrian memarkirkan mobilnya

“Kemarilah.” Aku memanggil Reihan kearahku meninggalkan gadis itu di belakang. Reihan menghampiriku dengan ragu. Apa segitu menakutkannya diriku hingga dia seperti ini? Inilah alasan kami tidak pernah dekat walaupun kami bersaudara.

“Gadis itu pacarmu?” Aku menanyakan padanya tapi yang kulihat hanya ekspresi konyol dan bingung.

“Maksudmu Luci?” Reihan menangkap isyaratku, “Tidak, dia hanya sahabatku di kampus. Kenapa?”

Jadi nama gadis itu – Luci.

“Dia pasanganku.” Aku menjawabnya tegas.

“Oke. APPPAAAA?!” Reihan seketika heboh sendiri, “Tunggu! Dia pasanganmu? Kau tidak sedang bercandakan?” Kutatap sinis dirinya menandakan ketidaksukaanku. Dia sangat berisik.

Reihan menatapku tak percaya, bahkan dia mengajukan beberapa pertanyaan padaku seolah sedang mencari kebohongan atas ucapanku barusan. Orang gila mana yang akan percaya bahwa aku menemukan pasanganku akibat kejadian bodoh adikku sendiri! Bahkan dia adalah teman baiknya. Siakap Reihan pada gadis ini sangat overprotektif membuatku berpikir bahwa dia memiliki rasa padanya. Namun, yang lebih membuatku terkejut adalah perubahan sikapnya yang seperti psikopat.

“Jagalah Luci baik-baik. Kalau aku melihatnya menangis ataupun terluka, kau orang pertama yang akan ku hajar karena tak bisa menepati janjimu padaku k-a-k-a-k.” Reihan menekan kalimat terakhirnya seolah itu sebagai peringatan darinya.

“Bagaimana dengan catatan kriminalnya?” Tanyaku.

“Tak perlu pedulikan hal itu.” Dia menjawabnya dengan enteng seolah tak terjadi apapun,”Percayalah padaku, Luci adalah gadis baik yang pernah ada dan kau seharusnya merasa beruntung karena memilikinya.”

”Pulanglah duluan.”

”Tapi…..Luci – “ Reihan terlihat sangat enggan melepaskan gadis itu, “Uhm-” Bisa ku tebak apa yang ada dalam pikirannya.

“Apa?”

“Tidak, aku akan pergi sekarang juga. Jangan berbuat macam-macam kepadanya atau aku akan menghajarmu nanti. Pastikan dia sampai asrama dengan selamat!” Reihan langsung bergegas pergi setelah memberiku wejangan.

“Rei!”

Gadis itu berseru memanggil Reihan, sepertinya dia sangat gelisah karena di tinggalkan begitu saja dengan orang tak dikenalnya. Aku berjalan mendekat ke arahnya yang tengah kebingungan.

Gadis ini kini milikku seutuhnya.

“Aku akan mengantarmu pulang.” Kata Adrian

“Tidak! terima kasih. Saya bisa pulang sendiri. Anda sudah mengeluarkan saya dari sana jadi uhm-“ Jawab gadis itu kikuk, “Saya sangat berterima kasih untuk bantuan anda tadi.” ucapnya seraya tertunduk lesu sambil menggigit bibir bawahnya 

Apakah lantai lebih menarik ketimbang diriku?

Kupersempit jarakku dengan Luci lalu meraih dagunya dengan lembut dan mengangkat wajah cantiknya supaya menatap lurus kearahku.

Gadis itu sangat terkejut atas tindakanku. “Bukankah tidak sopan jika berbicara tanpa menatap lawan bicaramu?”

“Maaf...” Matanya yang cantik memantulkan sinar bulan. Pemandangan yang kulihat sekarang sangat menakjubkan, Setiap sudut gadis ini sangat menggoda imanku terutama bibirnya yang merah merekah, “Apakah ada yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikan anda?”

“Kau ingin membayarku kembali?”

“Ya…jika anda tak keberatan walaupun mungkin akan butuh waktu.” Aku melihat banyak emosi di mata indahnya yang redup.

“Kau yakin?”

Gadis itu mengangguk lemah, pipinya yang seputih salju memunculkan semburat merah seperti buah tomat. Dia sangat menggemaskan, sayangnya itu semua kebalikan dari respon tubuhnya. Tubuh kecilnya bergetar ketakutan setiap kali aku menyentuhnya.

“Aku takkan menculikmu.” Candaku mencoba mencairkan suasana.

“Tapi….”

Adrian mendadak menarik gadis itu dalam pelukannya dan langsung menciumnya, membuat pupil mata gadis tersebut hampir meloncat keluar. Dia sangat terkejut atas tindakanku hingga membuatnya terus memberontak dalam pelukanku. Beberapa kali kurasakan dia memukulku bahkan mendorongku tapi tak kuhiraukan, yang ada di pikiranku adalah rasa ingin memilikinya sepenuhnya.

My Mate.

“Ssstttt….aku hanya ingin mengambil kompensasiku.” Kubisikkan kata-kata itu di telinganya membuatnya sedikit menegang.

Perasaanku kini tak tertahan lagi, perasaan yang telah lama kupendam kini semakin memuncak seakan mengambil kewarasanku. Ciumanku semakin liar dan buas, bahkan tanganku pun kini semakin lancang menjalari setiap inci tubuhnya. Beberapa kali kudengar dia mendesah kecil di sela permainan kami. Aku tersenyum kecil, saat aku tahu dia menyerah dan mulai mengikuti alur permainanku.

Lebih…..

Aku ingin lebih dari ini.

Jiwa serigalaku semakin menggila karena bahagia. Tubuhku semakin memanas hingga aku tak dapat mengontrolnya lagi. Aku menginginkannya sekarang juga disini.

Tanganku semakin bergerak nakal menjalari tubuhnya sampai dengan lancang menurunkan resleting dress yang dikenakannya hingga membuatnya segera mendorongku menjauh.

Dia susah payah melepaskan diri dariku. Nafasnya masih terengah-engah habis maraton. 

“Jangan mendekat!” Katanya terengah-engah.

Ada kemarahan di matanya.

Rambutnya serta dressnya acak-acakan, Bibir tipisnya sedikit membengkak akibat permainan kami bahkan dress yang dikenakannya pun berantakan. Penampilannya sangat menggairahkan di mataku membuatku ingin mendekapnya lagi.

Tapi….

Kenyataan pahit menamparku.

Linangan air mata di sudut matanya membuatku terenyuh. Gadis itu menahan isakannya dalam diam bahkan dia beberapa kali mengusap air matanya kasar seperti sedang menahan penghinaan.

Apa yang telah kulakukan? Bagaimana bisa…

“Brengsek!” Aku memaki diriku sendiri yang telah menyakitinya. 

Kejadian itu sangat memukulku hingga tak mampu berkata apapun, perlahan aku kembali menariknya dalam pelukanku, tak masalah dia mau memukulku, memakiku, atau membunuhku setelah ini. Aku hanya tak ingin melihatnya seperti ini, bahkan beberapa kali kubisikkan kata maaf di telinganya sebagai bentuk penyesalanku. Aku tak bermaksud menyakitinya, dia adalah hadiah Tuhan yang berharga untukku.

Aku terus memeluknya hingga tangisnya berhenti, tak ada respon darinya. Gadis itu terus diam seperti patung. Perasaan bersalah seolah mengutukku. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apakah aku akan kehilangannya lagi? Kulihat kembali dirinya, tubuhnya menggigil kedinginan akibat dress yang dikenakannya.

“Aku akan mengantarmu pulang sekarang juga.” Kataku sembari memakaikan mantelku padanya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status