***Athikah_Bauzier*** Semenjak kehadiran Zeeta di rumah Rezvan, tak seperti biasanya Erga menjadi lebih sering mengunjungi rumah Rezvan. Tak ayal, kedatangan Erga membuat Zeeta merasa aman. Terlebih lagi kedatangan pria itu dapat mengontrol sikap Rezvan yang seringkalinya membuat Zeeta kehabisan kata-kata dan mengurut dada. "Malam ini kau di kamar saja," perintah Rezvan. "Kawan-kawanku akan datang." "Tuan Erga juga datangkah, Tuan?" "Hei ... ada apa kau ini? Berlebihan sekali!" "Ti–tidak apa-apa, Tuan." "Jangan bermain hati, kalau tak mau terluka. Aku tidak mau tanggung jawab kalau kau bunuh diri karena patah hati," ucap Rezvan lagi. "Maksud Tuan apa?" "Ar
"Van .... " Erga berjalan cepat, mendekat pada Rezvan, mengangkat tangan lalu hendak melayangkan kepalan tangan tepat pada wajah Rezvan."Jangan, Tuan! Saya mohon jangan berkelahi! Jangan, Tuan Erga!" Zeeta berhasil melepaskan diri dari cengkeraman tangan Rezvan, lalu mendorong tubuh Erga tepat pada bagian dada. "Jangan, Tuan!" isaknya kemudian."Zeeta! Masuk ke kamarmu!" sentak Rezvan lagi."Tu–Tuan ... saya mohon Anda berdua jangan berkelahi!" Tangisan Zeeta semakin berderai. Ia menatap Rezvan seraya meremas kedua tangan tepat di depan dada."Masuk ke kamarmu!" Rezvan semakin geram.Tanpa dapat mengucapkan patahan kata, dengan tubuh bergetar, Zeeta pun berlari ke dalam."Ga, kali ini kau berurusan denganku! Jadi ... jaga sikapmu!" Rezvan menunjuk Erga, lalu berlalu mengikuti langkah Zeeta.***Athikah_Bauzier***Sesaat setelah Zeeta memasuki kamar dan hendak menutup p
Saat hendak menutup pintu kembali, Erga dikejutkan oleh Rezvan yang tengah berdiri dan bersandar pada dinding di dekat pintu kamar seraya melipat tangan di dada. "Sedang apa kau di sini? Bukankah malam ini kau serahkan dia ke dalam pelukanku?" Erga menautkan alis. Rezvan hanya bergeming dan berbalik menyorot tajam. "Apa kau mulai mengkhawatirkannya? Khawatir jika aku mengeluarkan taringku seperti biasanya?" lanjut Erga seraya menaikkan bibir sebelah. "Hati-hati, jangan bermain hati! Nanti kau akan terluka," sindirnya lagi kemudian. Lalu, berlalu dari hadapan Rezvan dan menyusuri tangga. "Aku ingin berbicara denganmu," ucap Rezvan. "Hemh!" "Apa yang kau inginkan, Ga?" "Apa yang aku inginkan?
Rezvan menatap punggung Zeeta yang berlalu hendak meninggalkannya. "Hei, kau, Zeeta?!" "Iya, Tuan?" Zeeta berbalik arah. "Kenapa bersikap tidak sopan?" "Ma–maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kalau pertanyaan saya itu tidak butuh jawaban? Itu cuma ... cuma ... cuma apa, ya, tepatnya?" Zeeta memutar bola mata ke atas seakan tengah berpikir. "Aku tidak membahas itu. Kau tidak sopan masuk kamar dulu sementara aku belum berangkat kerja." Rezvan melirik Zeeta dari atas ke bawah sehingga membuat Zeeta merasa risih. "Lha, memang saya siapanya Tuan? Itu bukan urusan saya mengantar Tuan ke depan. Tugas saya, kan, hanya memasak, mencuci, membereskan kamar Tuan. Tidak pernah Tuan membaha
***Athikah_Bauzier***"Hiks! Tuan!" Zeeta semakin memekik."Aarrgghhh!" Sontak Rezvan berteriak saat Zeeta berusaha menggigit lengannya.Zeeta pun berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Rezvan. Wanita itu pun berlari ke arah parkiran mobil seraya menutup wajah."Saya tidak mau, Tuan!" tangis Zeeta."Payah! Apa masalahnya? Kau ini apa-apa tidak mau," sergah Rezvan."Saya malu, Tuan! Kenapa Anda begitu tidak mengerti!?" pekik Zeeta kemudian."Lantas andai Erga yang mengajakmu, kau mau, begitu?" sindir pria berkaus putih santai itu kemudian."Sama saja saya tidak mau, Tuan! Ini adalah privasi seorang wanita," pekik Zeeta.Sontak, Rezvan terdiam usai mendengar ucapan wanita di hadapannya."Mengapa
"Zeeta .... " Buah Khuldi pada batang leher Erga turun naik dengan cepat usai mendengar ungkapan Zeeta. Entah apa yang dipikirkannya. "Kalau Tuan memang orang baik, kenapa tidak membebaskan saya?" tanya Zeeta. "Padahal, saya berharap ... Tuan Erga yang membebaskan saya dari tangan Tuan Rezvan." Erga seolah bagai ditampar usai mendengar ucapan Zeeta. Ia hanya tak menyangka bahwa wanita yang tengah mengamuk itu berharap jauh darinya. Mendengar ucapan Zeeta, Rezvan terperangah seraya mengepalkan kedua tangan. Seolah tak menyukai apa yang baru saja dikatakan wanita itu. Namun, kali ini ia berusaha menekan emosi. "Wanita ini! Sudah digarap lima orang, masih segar bugar saja! Kek kuda tenaganya!" ucap Ethan seraya mengusap beberapa anggota tubuhnya yang terasa ngilu oleh pukulan yang dilayangkan oleh Zeeta.
"Ehemmhhh!" Rezvan terbatuk. "Jangan salah paham. Ini hanya demi menjagamu," lanjutnya. "Ma–maaf. Sa–saya .... " "Aku jangan saya!" potong Rezvan. "Tidak. Saya ... saya tidak bisa, Tuan!" "Baiklah!" Rezvan kemudian bangkit. "Ya?" "Kalau begitu ...," Rezvan menghentikan ucapan sejenak. "Kalau begitu aku tidak mempunyai alasan untuk menahanmu dari Ethan agar tak membawamu pergi dari sini." "A–Apa? Tu–tuan ... sa–saya tidak mau dibawa Tuan Ethan. Tolong kasihani saya, Tuan," Zeeta mengiba. "Pria itu ... dia tidak akan begitu saja melepaskanmu. Akan tetap berusaha mencari, walaupun kau kembali ke kampung halamanmu. Jadi, aku tidak bisa berbuat apa-apa kali ini
"Anda ini apa-apaan, sih, Tuan? Seperti ABG labil yang bertengkar masalah rebutan wanita saja!" omel Zeeta seraya mengompres pipi dan sudut bibir Rezvan yang lebam. "Argghhh! Sakit, Zeeta!" Rezvan meringis. "Ya, sudah ini kompres sendiri," suruh Zeeta. "Awwhhh!" seru Rezvan lagi. Seakan dengan sengaja ingin membuat Zeeta bertahan di posisinya. "Kenapa lagi, Tuan?" "Pundakku sakit sekali ini. Kayaknya kram," keluh Rezvan seraya menekan jemari pada bagian tubuh yang sakit. "Kok, bisa, Tuan?!" Zeeta tampak bingung antara ingin memijat atau diam saja. "Tadi terbentur pagar balkon. Sakit sekali. Kau saja yang bantu kompres," suruh Rezvan. Seraya memajukan