Share

The Larches (Pecundang Hati)
The Larches (Pecundang Hati)
Author: Beeboo

Tugas • 01

Jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi, dan mobil berpelat nomor merah dengan stiker yang bertuliskan 'Protokol' tertempel di kaca belakang dengan perlahan memasuki area parkir kantor Pemda.

Seorang pria berseragam dinas berwarna khaki keluar dari mobil tersebut. Kakinya yang berbalut sepatu pantofel hitam mengkilap perlahan mulai berjalan menjauhi area parkir.

"Mas Dipta!"

Suara seruan itu membuat langkahnya terhenti.

“Wah! Yang abis pulang dinas mukanya cerah banget, nih.”

“Cerah apaan! Badan gue pegel semua ini,” balas Dipta saat mengetahui siapa yang bersuara tadi. Mereka kemudian bersalaman.

“Lah, lagian lo ngapain masuk sekarang? Anak Humas yang ikut dinas kemarin baru masuk lusa,” terang Nanang, salah satu staf senior di bagian Humas, sedangkan Dipta sendiri di bagian Protokol di mana kerjanya lebih banyak di luar ruang.

“Lagi ada yang diurus, Mas. Ntar kalo kosong gue balik rumah lagi. Lo mau ke mana, Mas?” Dipta bertanya saat melihat pria itu membawa beberapa map.

“Mau ke ruangan Bunda.”

Bunda sendiri adalah sebutan bagi Bu Asti, wanita paruh baya yang menjabat sebagai Kabag Humas dan Protokol. Sedangkan Dipta sendiri sekarang ini menduduki jabatan sebagai Kasubbag Protokol.

Kasubbag atau Kepala Sub Bagian Protokol mempunyai tugas melaksanakan tugas keprotokolan, mengkoordinasikan persiapan dan pelaksanaan tata tempat, tata upacara dan tata penghormatan dalam kegiatan upacara, acara resmi dan acara kenegaraan, menghadiri rapat kedinasan dan pertemuan-pertemuan resmi serta acara-acara formal maupun informal yang dilaksanakan oleh Bupati, Wakil Bupati dan Pimpinan Daerah.

Usia Dipta baru menginjak 27 tahun dan terbilang sangat muda untuk menempati posisi tersebut, tetapi ia sangat berkualifikasi di jabatan tersebut.

"Ya udah, Mas Dip, gue duluan udah ditungguin sama Bunda," pamit Nanang.

"Iya, Mas."

Mungkin karena pangkat Dipta membuat semua orang menghormati dengan memanggilnya dengan sebutan 'Mas' entah orang itu lebih muda darinya atau bahkan yang lebih tua darinya, seperti Nanang tadi.

Kemudian Dipta kembali berjalan menuju ruangan Protokol yang sudah mulai terlihat. Saat memasuki ruangan, suara ceria Vista langsung menyambutnya.

"Selamat pagi, Mas Dipta!"

"Pagi!" Dipta melemparkan kunci mobilnya ke arah pria yang mejanya berada di sebelah Vista. "Bim, ambilin makanan di mobil."

Titahnya disambut dengan seruan riang oleh ketujuh orang yang berada di sana. Dipta yang sudah berdiri di depan mejanya berbalik badan dan menatap mereka bingung. "Kenapa?"

"Tadi waktu, Mas bilang mau ke sini anak-anak langsung nebak apa yang Mas Dipta bawa hari ini."

Penjelasan dari Vista membuat Dipta menggeleng pelan dan tersenyum. Memang sering kali Dipta membelikan makanan atau camilan untuk orang protokol.

"Udah buruan ambil, Bim. Ajak Raki juga buat bantuin bawanya."

Raki yang mejanya berada di belakang Bimbim langsung berdiri dengan semangat. "Weh! Gak kuat di bawa satu orang, saudara-saudara. Kira-kira apaan, nih?"

"Nasi tumpeng, nih."

"Pizza limo lah pasti." Suara mereka saling bersahutan.

"Mantep banget tuh, Mbak," celetuk Bimbim saat mendengar tebakan dari Mbak  Hima yang menyebutkan Pizza berukuran satu meter yang sedang viral.

"Gak usah ngarep yang aneh-aneh. kalo yang gue bawa pasir dari Bali, gimana coba? Udah buruan ambil keburu dingin nanti," tukas Dipta, mengingat kemarin ia baru saja pulang tugas dari Bali.

"Siap!" Bimbim dan Raki langsung beranjak dari ruangan.

"Mbak Hima, besok ada kegiatan apa?" Dipta bertanya saat sudah berhasil duduk dengan nyaman di mejanya.

"Sebentar Mas, tak tanyain dulu," balas wanita beranak satu itu.

Di sini memang Hima lah yang selalu mendapat jadwal kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Bupati.

"Besok ada acara di Ruang 45. Terus Bapak ada kegiatan peresmian jembatan darurat sama santunan korban bencana longsor," jelas Hima setelah melihat ponselnya.

Bapak sendiri sebutan untuk Bupati mereka yang biasa digunakan oleh orang-orang yang bekerja dekat dengan beliau.

"Rapatnya jam berapa, Mbak?" tanya Dipta.

"Jam sembilan, Mas."

"Okay. Kalau begitu besok yang ikut Bapak biar aku, Vista, Bimbim sama Raki. Terus Mas Angka, Mas Yogi, Mas Abi ngurus di Ruang 45 dan Mbak Hima nunggu ruangan aja."

"Mas, aku ajalah yang jaga ruangan besok," sela Vista.

"Jangan lah, Vis. Kemarin di Bali gue ketemu sama Mas Bayu. Katanya kalo bisa Mbak Hima jangan di kasih kerjaan yang berat-berat, biar cepet jadi proyek bikin adik buat Keno." Ucapan Dipta di balas decakan keras Hima yang terlihat memerah malu.

"Emang beneran pengen nambah anak, Mbak?" tanya Mas Angka yang tadinya menghadap komputer kini menoleh sekilas ke arah Hima yang duduk di belakangnya.

"Ya gitu. Dari kemarin-kemarin Mas Bayu ngomongin soal anak mulu."

"Ya gak papa sih, Mbak. Keno juga udah besar, udah waktunya dapet adek," tambah Vista.

"Mbak Him, jangan lupa minta doanya Gus Angka biar cepet jadi," celetuk Mas Yogi yang sedari tadi terlihat begitu fokus dengan komputernya.

Ucapannya itu membuat semua orang di sana tertawa.

"Yang penting tiap malam berusaha terus ngadon anak mbak ya," tambah Dipta.

"Ih, kenapa malah bahas aku sih. Mas Dipta juga ngapain tadi pake ngungkit-ngungkit hamil segala!" protes Hima dengan wajah tertutup hijab yang sudah memerah.

"Ngapain malu sih, Mbak. Produknya udah jadi satu itu."

"Beda lagi kalo yang ngadon bayi itu Mas Dipta. Bahaya kalo itu." Ucapan Vista bertepatan dengan kedatangan Bimbim dan Raki yang membawa satu kresek merah kota sterofom dan satu tandan pisang.

"Pisang dari mana tuh, Mas?" tanya Mas Abi.

"Dikasih nyokap, Mas. Itu pisangnya di gantung aja bisa gak?" tanya Dipta yang dibalas acungan jempol oleh Bimbim.

"Siapa yang ngadon bayi, Vis?" tanya Raki kembali mengungkit pembahasan tadi. Dengan lagunya Vista menunjuk ke arah Dipta.

"Parah sih, Mas Dipta. Cari istri dulu Mas, baru ngadon bayi."

"Astaga, Vista lo bikin orang salah paham mulu," gerutu Dipta.

"Makanya Mas Dip, buruan nyari istri biar bisa ngadon bayi. Masak lo kalah sama Mbak Hima, sih. Dia tiap malem ngadon bayi loh."

"Plis, deh. Ini bahasanya harus banget ngadon bayi?" tanya Hima tak habis pikir. Tak ada yang membalas ucapan Hima, namun semuanya tertawa terbahak.

"Tenang aja, Mas Yog. Gue tiap malem berusaha nyari, kok," balas Dipta.

"Nyari istri kok malem-malem. Situ nyari istri apa lagi nyari jangkrik?"

"Apalagi nyarinya di club, situ lagi nyari istri atau ...?" Raki yang menirukan kalimat Bimbim sengaja menggantungkan kalimatnya.

"Kalian pengen gak gajian bulan ini?" ancam Dipta membuat semuanya kicep.

"Dah yok, kita nyabu dulu yok!" ucap Bimbim mengalihkan toping dan membagikan kotak sterofom yang berisi bubur ayam itu kepada rekan-rekannya dan tentu saja pada pak Kasubbag jomblo mereka juga.

Dipta menganggap ketujuh orang di ruangan ini sebagai keluarganya sendiri, karena itu mereka selalu bersikap seperti ini. Hampir setiap hari mereka dan mereka terus yang selalu di temui Dipta.

Yang pada akhirnya membuat Dipta betah dan nyaman pada pekerjaannya saat ini yang dulu sempat ia benci.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
minicroissant
menarik sih ceritanya.. mau follow akun sosmed nya dong kalo boleh?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status