Setahun kemudian.
Ponsel Avery berdering nyaring di atas sebuah meja. Avery melirik nama si penelpon dan langsung mengacuhkannya. Beberapa orang, termasuk penjaga, meliriknya tajam dan kesal, tetapi Avery tidak peduli.
Jelas saja para murid dan penjaga kesal karena Avery sedang berada di perpustakaan yang menjunjung tinggi keheningan. Namun, tidak ada yang berani menegurnya. Alasannya sederhana; itu karena ia adalah salah satu anak terkaya di SMA Culfox. Ayahnya donatur utama yang membuat penjaga perpustakaan segan padanya, dan kakaknya, Jihun, adalah si brengsek yang memiliki reputasi buruk di sekolah.
Sebenarnya, para murid tahu bahwa Jihun dan Avery jauh dari kata akrab, tetapi Jihun adalah berandalan yang suka mencari gara-gara. Itu sudah cukup menjadi alasan untuk sebagian murid tidak macam-macam dengan Avery, kecuali mereka siap berhadapan dengan Jihun. Avery membenci Jihun, tetapi dia menyukai keuntungan yang ia dapat karena itu berarti dia terjauhkan dari masalah.
Ponsel Avery berhenti berbunyi sejenak sebelum kembali berdering nyaring dengan lagu yang menghentak-hentakan telinga.
Avery berdecak kesal. “Si brengsek ini keras kepala sekali.”
Dan ia kembali membaca komik sambil mengunyah permen karet tanpa mematikan ponselnya. Seorang murid dari kejauhan berkata padanya, “Tolong, matikan teleponnya.”
Avery membalik halaman komik dengan santai. “Tidak mau.”
Ia mendengar beberapa orang menggumam jengkel. Beberapa orang memilih hengkang dari perpustakaan dengan marah; tercermin dari deritan kursi yang menggeser dengan suara menggema. Avery mengabaikan itu semua dan tersenyum dari balik komik.
Beberapa detik kemudian, senyumnya memudar karena sebuah tangan terulur dan mematikan ponselnya. Avery terbelalak dan menoleh dengan kesal. “Hei!”
Dia melihat seorang pemuda berambut coklat, yang mengenakan baju lengan panjang kebesaran dibalik kaos putihnya yang biasa, berdiri tepat di belakangnya. Pemuda itu mengangkat satu alisnya.
“Apa kau tidak tahu kau harus tenang saat berada di dalam perpustakaan?”
“Cih, rupanya kau.” Avery berbalik dan kembali membaca komiknya dengan santai. Ia berkata sejurus kemudian dengan suara yang lebih lantang. “Mereka semua bisa membaca dalam keheningan saat mereka mati. Bukankah kuburan juga memiliki moto yang sama? Haha.”
Avery mengabaikan pandangan marah beberapa orang sambil tersenyum senang. Lock duduk di seberang mejanya dan berkata, “Apa kau bertengkar lagi?”
Avery mengernyit. Raut wajah gembiranya lenyap. “Lagi? Kenapa kau berkata seolah-olah aku sering bertengkar?” tukasnya.
Lock tidak menjawab, tetapi dia berpura-pura menghitung dengan jari tangannya. Avery melempar komik yang dipegangnya ke wajah Lock, yang sukses mengenai jidatnya dengan bunyi yang mengesankan, sebelum terjatuh ke lantai.
Avery tidak tahu mengapa, tetapi Lock memang selalu bisa menebak situasinya lebih baik dari siapapun walaupun Avery tidak pernah bercerita padanya. Ini terdengar menggelikan, bahkan bagi Avery sendiri, tetapi terkadang Avery berpikir bahwa Lock adalah orang yang paling mengerti dirinya – bahkan lebih daripada keluarga atau sahabatnya.
“… Kemarikan komiknya. Aku belum selesai membaca.”
Lock telah memungut komik yang dilempar Avery. “Apa aku perlu melemparnya seperti yang kau lakukan?” tanyanya. Ia nyengir saat melihat wajah Avery. “Aku bercanda.”
Ia menyerahkannya pada Avery tanpa mengeluh. Avery melirik dahi Lock yang memerah dan segera membenamkan kepalanya ke dalam komik lagi untuk mengalihkan cubitan sedikit rasa bersalah. Avery sudah terlalu sering melakukan kekerasan fisik pada Lock selagi dia marah atau kesal, tetapi Lock tidak pernah marah ataupun mengeluh.
Selama beberapa saat, hanya ada suara hujan yang terdengar samar-samar selain bunyi gesekan kertas atau suara orang mengetik di dalam perpustakaan besar milik SMA Culfox. Avery tengah berusaha berkonsentrasi membaca, tetapi pikirannya berkelana kemana-mana. Ia melirik Lock, yang duduk diam dengan tangan terlipat diatas meja, sedang menatap keluar jendela yang sedikit berkabut karena hujan, dengan tatapan menerawang.
Terkadang, Avery sangat ingin tahu apa yang ada di benak Lock, apalagi saat dia mendengar ada gosip yang beredar antara dirinya, Lock, dan Jihun, tetapi dia menahan diri untuk tidak bertanya. Avery malu untuk mengakui bahwa ia takut orang-orang mengetahui kenyataan yang sebenarnya, dan dia tahu cara terbaik untuk menutupi kenyataan itu adalah dengan memanipulasi kenyataan. Avery tahu itu tidak adil bagi Lock, namun Avery tidak menemukan cara lain. Lock, di sisi lain, nampak sama sekali tidak keberatan. Dia masih menjadi Lock yang sama; pendiam, penyendiri, aneh, bodoh…
Lock mendadak menoleh dan mata mereka berdua bertemu. Avery buru-buru menunduk, pura-pura membaca.
‘Tunggu, kenapa aku harus mengalihkan pandangan?’ Avery bertanya-tanya dalam hati, tetapi tidak bisa menahan diri untuk terus berpura-pura membaca.
“Kalau kau tidak membaca lagi, ayo pulang,” kata Lock.
Avery mendengus. “Siapa bilang aku tidak membaca? Aku tengah asssyik membaca.” Avery menekankan kata asyik sambil membalik halaman komiknya. Ia menguyah permen karetnya lebih cepat untuk menenangkan diri.
“Hm-mh, sekarang aku menyadari dengan mataku sendiri bahwa kemampuan intelegensimu memang sangat mengagumkan,” kata Lock serius.
Avery menurunkan komiknya sedikit dan melirik Lock dengan tatapan mengancam dari atas buku. “Apa aku mendengar kosakata sarkastis disini?”
Tidak ada satupun murid yang tidak tahu bahwa Avery selalu berada di ranking 10 besar siswa yang mendapatkan nilai rata-rata ujian paling rendah tiap semester.
“Bukumu terbalik.” kata Lock kalem.
Avery otomatis melirik komiknya dan seketika membeku ketika menyadari bahwa Lock benar. Avery menutup komiknya dengan kasar dan melemparnya ke atas meja. Ia menatap Lock dengan marah seolah-olah itu kesalahan Lock dia membaca terbalik. Lock tersenyum kepadanya dan bangkit berdiri.
“Hujannya juga sudah berhenti.”
Kemarahan Avery mendadak menguap. Gadis itu hanya memperhatikan saat Lock memasukan komiknya ke dalam tas, kemudian menentengnya dibahu. Lock menatapnya, menunggu. Avery mengepalkan tangan dan bangkit berdiri seperti gadis kecil merajuk yang dijemput pulang oleh orang tuanya. Lock nyengir sedikit padanya dan berjalan terlebih dahulu. Avery mengekorinya di belakang dengan wajah cemberut dan tangan terkait di belakang.
Pemandangan Lock membawa tas Avery, atau membelikan makan siang untuk gadis itu, atau membawakan pakaian gantinya di saat situasi genting tertentu, bukanlah hal yang luar biasa. Semua orang tahu bahwa Lock adalah salah satu ‘pelayan’ Jihun, dan ia bertugas melayani Avery. Namun, bukan berarti tidak ada pandangan meremehkan, geli, bahkan jijik, dari beberapa murid yang melihat mereka berdua berjalan beriringan melintasi gedung sekolah.
Tidak ada orang yang berani atau bahkan berpikir bahwa Avery dan Lock berpacaran, karena beberapa hal yang sangat jelas; terutama karena Lock adalah Lock. Dia tidak menarik dan penyendiri. Belum lagi kenyataan mengenai status sosial mereka. Selain itu, gerak-gerik dan gelagat Avery yang tidak segan melakukan kekerasan pada Lock, seperti melempar buku, sapu, atau menabraknya dengan pintu, adalah salah satu penyebab lainnya. Avery juga dikenal telah memiliki seorang pacar mahasiswa yang tampan dan sangat kaya, yang ngomong-ngomong..
“Kenapa ponselku mati?” tanya Avery saat ia menatap ponselnya dengan bingung.
Lock meliriknya dari balik bahu. “Oh, aku yang mematikannya.”
Avery memukul kepala belakang Lock dengan keras. “Siapa yang suruh kau melakukannya?”
Avery menghidupkan ponselnya dan melihat beberapa telepon dan pesan dari ‘Jimmy’. Avery membaca pesan terbaru.
[Kenapa kau mematikan teleponnya? Kita harus bicara.]
Avery mendengus dan langsung menghapus pesan itu. Dia sudah putus dengan pacarnya itu beberapa hari yang lalu, dan tidak berniat untuk ‘bicara’. Kali ini, Avery sendiri yang mematikan ponselnya, dan melirik Lock yang tengah mengusap kepalanya.
“… Apa kau tahu?” tanya Avery. “Makannya kau mematikan ponselku?”
“Tidak,” Lock menggeleng. “Aku hanya berpikir kau tidak ingin diganggu olehnya beberapa hari ini.”
Avery terdiam sesaat setelah mendengar jawaban Lock. “Apa kau tidak penasaran?”
Lock menatap Avery dengan ekspresi tercengang sebelum dia menjawab dengan jujur. “Tidak.”
Entah mengapa, Avery jengkel mendengar jawaban Lock. Belum selesai sampai disitu, Lock memperparah suasana dengan tersenyum bodoh kepadanya seperti biasa dan mengulangi jawabannya dengan tegas. “Tidak sama sekali.”
Avery memukul kepala belakang Lock lagi.
“Aw. Untuk apa itu?”
“Aku hanya ingin melakukannya. Mengapa aku harus punya alasan untuk memukulmu? Ngomong-ngomong…” Avery berhenti berjalan dan memandangi Lock dengan seksama. “.. Kau bertambah lebih tinggi?”
Avery tercengang saat menyadari ia benar. Celana panjang Lock terlihat kependekan; menggantung di atas pergelangan kakinya. Avery tahu bahwa laki-laki biasanya memang mengalami perubahan fisik, terutama di tinggi badan, saat mereka menginjak usia 15-16 tahun. Itu bukan hal yang aneh, tetapi dia tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi pada Lock. Dulu, Lock memiliki tinggi yang sama dengan Avery, tetapi sekarang tinggi Lock terlihat 2 kepal lebih tinggi darinya.
Lock mengendikkan bahu menanggapinya. “Mungkin.”
“Bagaimana bisa secepat ini? Apa kau minum suplemen atau vitamin?” ejek Avery.
“Lebih mungkin karena kepalaku sering dipukul olehmu…”
Avery memukul kepala Lock untuk yang ketiga kalinya.
Mereka berdua berjalan beriringan tanpa banyak bicara. Setelah berada sedikit jauh dari lingkungan sekolah, Avery berjalan bersisian dengan Lock. Avery tidak ingin sering bertemu Jihun atau pulang bersamanya, jadi dia memilih tinggal bersama dengan beberapa pelayan di rumah lain dan meninggalkan keluarga besarnya yang tinggal di rumah induk. Rumah tempatnya ia tinggal sekarang sangat dekat dengan sekolah sehingga ia hanya perlu berjalan kaki selama 10 menit. Lock, pelayan tidak resmi Avery, selalu ‘menjemputnya’ dan mereka selalu berjalan bersama berangkat dan pulang sekolah. Namun, Lock jarang bicara dan tidak pernah bertanya apa pun padanya, apalagi membicarakan dirinya sendiri. “Hei,” panggil Avery. Ia berhenti berjalan. “Ayo kita makan es krim.” Hari itu tiba-tiba saja berbeda. “… Apa kau sakit?” Jawaban dan ekspresi Lock membuat Avery geram. “Berhenti menjadi orang brengsek dan pergi beli es krim.” Beberapa menit kemudian, mereka
Lamunannya terinterupsi ketika bus berhenti di halte tujuannya. Hujan kembali turun saat ia turun dari bus, membuat Lock harus berlari menembus hujan hingga ke gedung apartemennya.Saat dalam perjalanan naik tangga menuju kamarnya yang ada di lantai 3, Lock menyadari bahwa ia basah kuyup dan jejak kakinya mengotori lantai. Mau tidak mau, bayangan tetangganya yang akan menghujaninya dengan 1001 sumpah serapah, terbayang di benak Lock. Bibi sebelah kamarnya selalu mencari hal untuk memarahi Lock, bahkan hingga ke hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini:“Bunga-bungaku selalu layu di tempat ini! Tidak ada hawa kehidupan sama sekali yang bisa membuatnya mekar dengan indah!”Dia melotot seolah-olah Lock adalah sumber tragedi yang membuat bunganya layu. Saat itu, Lock menjawab dengan wajah serius.“Itu karena Bibi terlalu banyak tersenyum pada bunga itu.”Sebelum wanita itu memproses makna jawabannya, Lock meny
Di malam hari yang cerah, beberapa orang warga berkerumun di salah satu lapangan yang dikenal sebagai markas Red Carnaval. Polisi menjaga agar tidak ada orang yang bisa mendekat, sementara gosip berhembus diantara para kerumunan warga. “Mereka menjual obat-obatan, para pemain sirkus itu.” “Aku dengar mereka juga memperjualbelikan manusia.” “Ck, sudah kuduga orang-orang sirkus itu tidak baik. Binatang yang mereka gunakan sebagai bagian dari atraksi itu terlihat tersiksa.” “Kau menyukai atraksi mereka.” “Ah, tidak. Aku selalu tahu kalau mereka orang-orang jahat. Hei, lihat! Itu rombongannya! Mana ketua mereka – si Joe?” “Dia ditembak mati oleh Detektif gila itu.” Mereka menatap para petugas yang sibuk menggiring beberapa orang ke dalam mobil polisi atau menyusup masuk ke dalam mobil-mobil karavan untuk mencari bukti. Para warga semakin asyik berdiskusi apalagi setelah melihat beberapa tim medis keluar membawa kantong-kan
Lock memandangi langit biru cerah tidak berawan dengan mata menerawang. Burung-burung terbang bebas di angkasa, berkicau lembut seperti nyanyian indah di siang hari. Suasana terasa indah, tetapi tidak tampak nyata bagi Lock, sama seperti saat ia memikirkan tetangganya yang lenyap tanpa jejak. Semua yang ia alami terasa tidak nyata. Hari itu bergulir dengan sangat cepat. Lock hampir tidak bisa mengingat apapun selama perjalanan ke sekolah, atau saat ia menjemput Avery, dan tidak ingat apa-apa sejak ia masuk kelas hingga saat ini. Ia bahkan tidak menyadari hari sudah siang dan ia sudah berada di atap untuk menghabiskan waktu istirahat sendirian seperti biasanya. Lock tidak heran karena pikirannya penuh dengan semua keanehan yang terjadi di sekelilingnya. Luka lama di tubuhnya hampir lenyap tidak bersisa, ‘pesona’ aneh yang dimilikinya, bisikan mengerikan yang hanya dapat didengar olehnya, mata kanannya yang terkadang mengeluarkan sinar redup bewarna kemerahan; semua te
Hanya suara gemuruh yang terdengar saat Lock selesai. Ia tidak bisa melihat Jihun karena pandangannya ditutup oleh tubuh besar antek Jihun yang berdiri mengelilinginya. Lock menunggu perasaan lega itu datang; dia yakin saat anak-anak di sekelilingnya mengetahui kenyataan bahwa Jihun membohongi mereka, mereka akan pergi meninggalkan pemuda menyedihkan itu. Tapi, tidak ada kelegaan saat Lock membuka kartunya. Ia tersentak mundur saat mengetahui ada sesuatu yang salah. Tepat saat itu, suara tawa Jihun terdengar di tengah-tengah rintikan hujan yang mulai turun. “Puahahahhahahahahaha!” Jihun menyeruak diantara badan kedua temannya. Ia terlihat santai sekali dengan senyum menghiasi wajahnya yang tampan. Air hujan membasahi rambut Jihun dan matanya menatap Lock dengan tatapan mencemooh. “Pegangi dia.” Diluar dugaan Lock, teman-teman Jihun bergerak mengikuti perintah pemuda itu tanpa keraguan sedikitpun. Tangan kanan dan kirinya dipegangi kuat-kuat h
Sherly merenggangkan tubuh mungilnya yang kaku dan keluar dari ‘kapsul’ – yang merupakan tempat kerjanya, dengan perasaan lega. Ia sudah berada di dalam ‘kapsul’ selama 48 jam tanpa beristirahat dan perasaannya tidak baik karena harus menonton banyak hal buruk selama itu. “Sudah selesai, Sherly? Selamat!” Itu adalah salah satu rekannya yang lain, Brahm. Sama seperti Sherly, dia baru saja terbebas dari ‘kapsul’ miliknya setelah hampir 72 jam terkurung. Mata Brahm berkantung, dan tangannya memegang secangkir kopi elixir. Sherly hanya bisa mengangguk, tidak punya tenaga untuk berkata apapun. Ia menyeduh kopi elixir yang tersedia di meja pantri di belakang Brahm dan baru bisa rileks saat kehangatan kopi masuk ke perutnya yang kosong. Bibirnya mengeluarkan desahan lega saat ia menikmati kopi dan memandang kosong ‘kapsul-kapsul’ lain yang berterbangan diatasnya. Empat ‘kapsul’ masih tertutup dan bersinar, menandakan beberapa rekannya bahkan masih belum sele
“Tunggu sebentar,” kata Collin, mengangkat tangan dan mengernyit pada hal tak kasat mata di depannya. “Butuh waktu untuk menghapus elemen-elemen di [Panggung]. Aku tidak suka hujan, ngomong-ngomong. Jadi, mari kita hilangkan efek hujan juga.”Dan selagi ia berkata demikian, satu per satu objek di sekeliling Lock mulai menghilang, mulai dari titik hujan, awan gelap, pipa besi penuh darah, sapu, kayu, bahkan mayat pun lenyap. Sebagai gantinya, langit menjadi biru cerah, burung-burung berkicau di bawahnya dengan riang, mayat berubah menjadi petak bunga, dan lantai atap menjadi rumput hijau.Lock menampar pipinya. “Tidak sakit.”Collin mengalihkan pandangan ke arahnya. “Tentu saja tidak karena [Panggung] telah usai sekarang. Saat ini tubuhmu pasti sedang terkapar pingsan di suatu tempat. Tunggu, biar kuperiksa. Oh, benar. Kau ada di dalam klinik,” Collin tersenyum seolah-olah semua persoalan beres. “Nah, bukankah
“Sepertinya kau membutuhkan waktu untuk berpikir? Apakah ini semua masih terasa tidak nyata untukmu?” “Hanya…” Lock kemudian terdiam, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Lock punya kecenderungan untuk terus bergerak maju tanpa menoleh ke belakang untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi saat ini, setelah dia mendapatkan sedikit jawaban akan takdirnya, tiba-tiba dia menoleh lagi ke belakang untuk menyadari bahwa perjalanan yang ia tempuh sudah sangat jauh. “Wajar jika kau kebingungan dan tidak percaya pada perkataanku,” kata Collin, menanggapi dengan santai. Tangannya berusaha menyentuh seorang bayi yang terbang di dekatnya, namun bayi itu menatapnya dengan ekspresi jengkel saat ia menyentuh tangan yang montok dan menggemaskan itu. Bayi itu menjulurkan lidah dan menghadiahi Collin dengan pantat berbalut popok besar. “… Bagaimanapun, aku harus memberimu apresiasi yang pantas. Kau tampak tenang menghadapi ini semua. Gadis yang kudatangi sebelumnya mengajukan hamp