Share

Chapter 3. Drama Palsu

Berpuluh-puluh kilometer dari apartemen kecil Lock, seorang gadis sedang berbaring diatas sebuah tempat tidur mewah di sebuah kondomonium elit. Gadis kecil itu mengerang dengan wajah pucat. Badannya melengkung dan mengejang menahan sakit. Di sampingnya, sepasang suami istri menatapnya dengan pose stres.

“… Melisa, telepon dokter Ken lagi.”

Melisa, seorang wanita cantik yang menginjak usia 40 tahun, melirik suaminnya dengan pandangan kesal. “Telepon sendiri.”

“Apa?”

Melisa tidak gentar di bawah tatapan marah suaminya “Kau dengar kataku,” kata Melisa ketus. “Aku sudah menelpon dokter Ken sepuluh menit yang lalu. Kalau kau tidak sabar, telepon sendiri.”

Wajah Baram merah padam karena marah. Dia mendengus, kemudian bangkit berdiri, dan mengambil telepon dengan kasar. Suara Baram yang marah dan tidak sabar terdengar, tetapi Melisa tidak peduli. Ia menatap gadis kecil yang terbaring di depannya dengan pandangan kosong. Geraman terdengar; dan wajah pucat gadis itu dipenuhi dengan bulir keringat dingin. Kening Melisa berkerut otomatis melihatnya.

Eira berusia 12 tahun. Tubuhnya kecil, kurus, dan dia sakit-sakitan sejak kecil. Baram dan Melisa sudah membawa Eira berobat kesana-kemari bertahun-tahun yang lalu, mengeluarkan banyak uang untuk mengetahui apa persisnya penyakit Eira agar mereka bisa menyembuhkannya, tetapi mereka selalu menemui jalan buntu. Semua dokter, spesialis, profesor, tidak mengetahui penyakit gadis itu. Semua dugaan dipatahkan, obat tidak berhasil, dan Eira selalu kesakitan tiap hari, dan semakin parah pada malam hari.

Pada akhirnya, Melisa menjadi lelah dan apatis, dan Baram menjadi frustasi. Hal itu turut menyeret kehidupan pernikahan Baram dan Melisa. Setelah sekian tahun berjuang, akhirnya hubungan mereka merenggang dan dingin.

“Kau tahu, mendesak seseorang seperti itu sangat tidak berkelas,” ujar Melisa dingin saat Baram selesai menelpon. “Dokter Ken sangat sibuk, kau tahu.”

Baram menatap istrinya dengan geram. Wajahnya masih merah padam. “Kau pikir sikapmu ini benar? Anakmu sedang terbaring sakit, dan kau malah…. Hah,” Baram mendadak mendengus dengan tatapan tajam. “Apa itu Ken?”

“Apa?”

“Selingkuhanmu. Apa itu Ken?”

“Omong kosong apa ini…”

Baram mengibaskan tangannya di udara. “Tidak usah pura-pura tidak tahu. Kau pikir aku orang bodoh yang tidak menyadari apapun? Apa kau kira aku tidak tahu wanita seperti apa kau ini? Melihat Eira seperti itu, tidakkah membuatmu ingin membuangnya dan menggantinya dengan yang baru?”

Nada suara Baram yang merendahkan membuat Melisa bangkit berdiri dengan mata berkilat. Dia berkata dengan nada rendah. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Apa kau pikir aku sama rendahnya denganmu?” Melisa kemudian tertawa. “Baik, kita tidak usah berpura-pura. Mengapa aku tidak bisa membuangnya? Kau bisa membuangku dan mencari yang baru, jadi mengapa aku tidak bisa membuang anak yang bahkan tidak bisa apa-apa selain sekarat!?”

Tubuh Baram menjadi kaku. Ia menatap Melisa dengan pandangan tercengang. Ia tidak tahu bahwa Melisa bisa berkata sejauh itu. “Kau gila,” gumam Baram sambil menggelengkan kepalanya.

Melisa tersenyum dengan mata mendelik. Sorot matanya penuh kegilaan. “Stella, Loren, siapa lagi? Oh, Yohana. Kenapa Baram? Mengapa kau melihatku seperti itu? Apa kau pikir aku hanyalah wanita kaya yang hanya bisa diam di rumah, menjaga anak sekarat, sementara kau bisa bersenang-senang dengan wanita di luar sana dan punya anak lain?”

Suara Melisa tenang, tetapi Baram merinding mendengarnya. Baram berusaha mengendalikan dirinya dan berkata, “Mereka hanya selingan. Kau harus paham aku bekerja keras dan membutuhkan pelampiasan…”

Baram sama sekali tidak tahu bahwa dia mengail di air keruh. Jiwa Melisa sudah melewati ambang batas kewarasan dan ia tengah mendengar bisikan-bisikan.

[Kenapa dia melakukan itu? Kenapa dia bersenang-senang diluar, kembali ke rumah, lalu menatap anaknya yang sekarat dengan pandangan seolah-olah dia khawatir?]

Baram terus berbicara sementara pikiran Melisa terus dipenuhi bisikan-bisikan. Kecemburuan, kemarahan, frustasi, kebencian, semua menumpuk dalam dirinya. Melisa berbalik memunggungi Baram. Tangannya membuka laci di sebelah tempat tidur Eira.

“… itu adalah kecelakaan! Kau juga seorang ibu, kau tahu tidak mungkin aku membunuh anak itu, kan?”

[Menyedihkan.]

Melisa mengangguk kecil. “Ngomong-ngomong, aku penasaran. Mengapa kau tidak memberitahuku?”

“Untuk apa!?” Baram meninggikan suaranya. Ia tidak mau merasa bersalah. Diatas segalanya, ia tidak mau meminta maaf. Harga dirinya yang tinggi menentang kata taboo itu. “Apa yang bisa kau perbuat? Kau lebih baik fokus mengurus Eira, bukan memata-mataiku atau berselingkuh dengan pria lain!”

Melisa terbahak seolah itu jawaban yang sangat lucu. Dia tidak ragu lagi. “Jangan khawatir,” katanya riang. “Aku tidak akan memata-mataimu lagi.”

[Aku ingin membunuhnya.]

“…Apa?”

Melisa mendadak berbalik dan berlari ke arah Baram yang masih tidak menyadari situasi. Ia terpaku pada mata istrinya yang merah dan penuh kegilaan, hingga tidak menyadari Melisa membawa pisau.

Jleb.

Mata Baram mengerjap. Istrinya berada tepat di depannya hingga Baram bisa mencium aroma tubuh istrinya yang sudah dilupakan olehnya. Aroma itu bercampur dengan aroma lain. Baram menunduk dan melihat darah mengalir keluar dari perutnya. Rasa sakit menyerang, namun pada saat itu, Baram tidak bisa berkata apapun. Tubuhnya terhuyung ke belakang hingga membentur sofa. Ia terduduk dan menatap istrinya dengan tatapan tidak percaya. Darah keluar dari mulutnya yang membuka, mengucapkan kata-kata bisu.

Mata merah Melisa menatap Baram dengan pandangan kosong. Segala kegilaan dan kemarahan yang tadi ada di sorot matanya mendadak tersapu habis. Tangan Melisa penuh darah, begitu pula dengan kemeja depannya. Melisa terdiam cukup lama sementara suaminya merenggang nyawa. Tidak ada penyesalan di mata Melisa; Melisa hanya menatap langit-langit kamar sebelum akhirnya menoleh ke arah gadis yang sedari tadi mengerang kesakitan.

Entah sejak kapan, gadis itu terduduk dan balik menatapnya dengan mata abu-abunya yang besar tanpa bersuara sedikitpun. Jika tidak ada jejak kelelahan dan kesakitan dari wajah pucatnya, Melisa mungkin berpikir bahwa gadis itu hanya berakting sedari tadi.

Melisa membuka mulut, namun kemudian menutupnya lagi. Ekspresi wajahnya menerawang jauh. Sejenak, tidak ada kata-kata yang keluar sementara mereka berdua bertatapan. Kamar itu hening.

[..Apakah kau.. mendengarku?]

Itu bisikan yang didengar Melisa selama ini. Melisa balik menatap pemilik suara, yang duduk di atas tempat tidur tanpa bergerak sedikitpun. Perlahan, Melisa mengangguk. Eira tidak terkejut, tetapi ekspresi gadis itu terlihat muram.

“.. Begitu.” kali ini, Eira berkata dengan suara normal yang bisa didengar orang lain.

Melisa berjalan menuju tempat tidur dengan pisau penuh darah di tangannya. Saat ia sampai di sebelah Eira, Melisa akhirnya membuka mulutnya lagi.

“Aku… ingat semuanya,” suaranya yang hampa dan sangat pelan terdengar seperti robot. “..Barusan. Baru saja aku melihatnya. Apa itu.. nyata?”

Eira menatap Melisa tanpa berkedip. Tanpa Melisa jelaskan, Eira tahu dan paham maksud Melisa seakan sudah menduganya. Gadis kecil itu mengangguk.

Melisa menarik nafas tajam dan menutup matanya. Tangannya, yang memegang pisau, gemetar hebat seperti tersetrum. Saat ia membuka matanya lagi, ia melihat Eira tengah memandangnya dengan ekspresi sulit ditebak.

Melisa memperhatikan wajah Eira dengan seksama; matanya yang abu-abu, bulu matanya yang panjang, hidungnya yang mungil, bibirnya yang penuh dan selalu nampak pucat.. Seolah kabut tebal yang selama ini memblokir pikirannya mulai terangkat, Melisa baru menyadari bahwa tidak ada kemiripan sama sekali antara Melisa dan Baram dengan Eira. Melisa memang cantik dan Baram sangat jauh dari kata jelek, tetapi tetap saja Eira berbeda. Dia rupawan hingga terlihat tidak nyata.

Melisa pun sekarang menyadari bahwa aura Eira sangat berbeda. Detik ini, Melisa tidak tahu siapa yang ia pandang. Ingatannya tadi sangat nyata. Itu ingatan masa lampau – sesuatu yang tidak pernah diingat olehnya ataupun Baram.

12 tahun yang lalu, Baram dan Melisa berada di sebuah ruangan bersalin. Mereka berdua menangis sambil berpelukan sementara seorang dokter berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Kata-kata dokter itu terngiang-ngiang di benak Melisa saat ini; dan Melisa tidak punya energi untuk bertanya mengapa dia dan Baram tidak pernah mengingat hal itu hingga sekarang.

“Bayi kalian tidak bisa diselamatkan lagi. Maafkan kami.”

Benak Melisa mengingat wajah biru bayi di pangkuannya, sementara matanya memandang gadis kecil yang juga tengah menatapnya dengan pandangan sayu.

[Terima kasih.]

Suara itu bergema di benak Melisa. Pisau yang dipegangnya terjatuh dan wanita itu merasa dunianya seketika runtuh. Dunia palsu yang selama ini dianggap Melisa sebagai ‘kenyataan pahit’.

[Terima kasih telah merawatku. Dan… aku minta maaf.]

Pandangan Eira beralih ke mayat Baram yang berhadapan dengannya dari jarak yang cukup jauh. Mata Baram terbuka dan ia menatap Eira dengan tatapan dingin tanpa berkedip; seolah-olah Baram juga teringat akan kepingan utama puzzle yang telah lama terhapus dari ingatannya sebelum dia meninggal.

Malam itu, tirai pertunjukan yang diperankan oleh sebuah keluarga kecil yang telah lama berkubang pada kepalsuan dan penderitaan, resmi ditutup.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status