Pagi ini Paman Taylor kembali mengetuk pintu kamarku, entah sudah ke berapa kalinya, sebenarnya aku masih ingin berlama lama tiduran di kasur empuk ini, tapi mengingat aku tak ingin ketinggalan pelajaran sekolah, juga Paman Taylor sudah memberikanku waktu istirahat untuk mengurangi jetlag selama dua hari, maka kupaksakan mengumpulkan semangat untuk memulai sekolah di tempat yang baru.
Semua pendaftaran sekolahku sudah diurus oleh paman, jadi aku hanya tinggal masuk dan belajar dengan baik. Paman Taylor mengantarku sampai di gerbang sekolah sebelum beliau berangkat ke kantornya.
Fond Du Lac High School.
Kutatap papan nama sekolahku itu, salah satu sekolah terbaik tingkat SMU di kota ini, aku menarik napas panjang dan melangkahkan kaki memasuki sekolah baruku itu, lumayan besar, mungkin bisa menampung sekitar dua ribuan siswa. Mataku memandang sekitar, seperti sedang mencari-cari sesuatu, yang aku sendiri tidak tau apa yang kucari.
"Hai, kamu pasti siswa baru di sekolah ini ya? Dan kulihat sepertinya kamu juga orang baru di kota ini"
Saat sedang menilai tentang sekolah baruku dan termenung sendiri, tiba tiba seorang gadis sebayaku menyapa, aku menoleh kearahnya dan tersenyum.
"Oh hai.. kamu benar, aku baru disini, dan kenalkan aku Vanessa," jawabku sembari mengulurkan tangan.
Gadis itu menyambut uluran tanganku. "Aku Andrea"
"Senang berkenalan denganmu Andrea, bisakah kau membantuku menunjukan dimana letak ruang guru? Aku harus mengambil jadwal pelajaranku"
"Tentu saja, aku juga akan dengan senang hati mengajakmu melakukan school tour, hehehe," jawabnya ramah sambil terkekeh.
Hari pertama belajar di sekolah berjalan dengan lancar, aku juga sudah berkenalan dengan beberapa siswa di kelas tadi, berhubung di tiap pergantian mata pelajaran kita juga akan berganti kelas jadi lah aku memiliki teman berbeda beda di tiap-tiap kelas dan mata pelajaran. Aku dan Andrea memiliki jadwal kelas yang sama di dua mata pelajaran kami, setelahnya kami harus berpisah untuk menuju kelas kami masing masing.
Saat bel istirahat berbunyi, semua siswa sekolah tersebut terlihat keluar kelas dan menuju ke kantin sekolah, begitu juga aku. Kuseret langkah kakiku menuju kantin, bersyukur tadi sudah ditunjukan bagian-bagian penting dari sekolah ini oleh Andrea, jadi aku tidak khawatir nyasar untuk menemukan kantin. Mataku melihat ke semua sudut dan area yang kulewati, kembali merasa ada sesuatu yang aku cari dan inginkan, namun kau tidak mengerti apa itu.
Saat baru memasuki pintu kantin mataku langsung menemukan keberadaan Andrea yang sedang duduk berdua dengan siswi lain, kulangkahkan kakiku menuju ketempat dimana mereka berada.
"Hai Vanessa"
Andrea langsung menyapaku begitu dilihatnya aku berjalan mendekatinya.
"Boleh aku bergabung bersama kalian?”
"Tentu saja, kami justru senang dengan kehadiranmu, by the way.. kenalkan ini Rose, dan Rose kenalkan ini Vanessa"
Andrea memperkenalkan kami berdua, dan selanjutnya kami bertiga terlibat obrolan menyenangkan, kami tertawa dan bercerita diselingi makan siang.
Tiba tiba saja aku merasakan jantungku berdebar kencang, aku tak mengerti mengapa?
Kucoba untuk mengalihakan perhatianku dengan minum jus pesananku. Namun hatiku justru semakin gelisah, aku mengedarkan pandangan mataku hingga netraku menangkap seseorang yang sedang menatapku tajam, pandangan kami bertemu dan seolah terkena sihir aku tak mampu menggerakan mata atau kepalaku untuk mengalihkan arah pandanganku, seolah tatapanya mangandung magnet yang menariku untuk terus memandangnya.
“Ehm.. jangan menatapnya Vaness, dia berbahaya” tiba-tiba Andrea berbisik dekat telingaku, nmaun anehnya hal itu tak membuatku mampu untuk memutus kontak mataku dengan pemuda tersebut.
“Dia Alexander, biasa dipanggil Alex" kali ini Rose ikutan berbisik, saat itulah aku seolah mendapatkan kembali kekuatanku dan mampu mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Mengapa kau berbisik bisik?" tanyaku namun tak urung ikutan berbisik juga.
"Karena mereka seperti memiliki pendengaran super, mampu mendengar dari jarak jauh" Rose menjawab dengan tetap dalam mode berbisik.
"Dan cowo yang disebelahnya itu adik sepupunya Alex, namanya William, kami biasa memanggilnya Liam, sedangkan cewe di sebelah Liam namanya Susan, dia pacarnya Liam" lanjut Rose.
"Ohh" aku hanya membulatkan mulutku, namun ekor mataku kembali melihat ke arah Alex, dan aku terkejut karena dia masih saja memandangiku.
Entah mengapa aku merasa tidak nyaman, dan jantungku berdebar kencang, kupikir ada sesuatu dengan tatapan tajam Alex yang membuatku gemetar. Buru buru aku berpamitan kepada kedua teman baruku itu.
Kulangkahkan kakiku cepat meninggalkan kantin, namun sebelum mencapai kelas aku merasa tanganku ditarik oleh seseorang hingga aku terpojok dan punggungku menyentuh tembok.
"Kau menghindariku?"
Aku terkejut mendapati pemuda yang bernama Alex itu kini telah berada tepat di hadapanku. aku kembali membeku menatap matanya, entah apa yang salah dari tubuhku, sulit sekali untuk digerakan, bahkan aku tak mampu untuk hanya sekedar menggerakan bibirku untuk menjawab pertanyaanya.
Dia memandangiku lekat, satu tanganya disandarkan ke tembok, mengungkungku, dan tanganya yang lain berada di saku celananya.
"Cantik," gumamnya, sambil terus menatap wajahku lekat. "Kemana saja kau selama ini?" lanjutnya.
"Bb.. bisakah kau menjauh?" akhirnya aku mampu mengeluarkan suara meski sedikit terbata.
"Kau takut sayang?," ucapnya lembut dan sangat merdu terdengar di telingaku, aku terkejut sendiri dengan segala pemikiranku tentangnya.
"Ti..tidak, tolong menjauhlah” dengan masih terbata aku kembali memintanya menjauh.
"Jangan takut, aku hanya ingin kita menjadi teman dan lebih dekat satu sama lain.” Dia memberikan senyumnya yang mampu menggetarkan hatiku.
Dan.. Apa katanya? Mengenal lebih dekat? Apa ini caranya menawarkan pertemanan? Anti mainstream banget, jujur aku takut, dalam benaku terlintas sosok seorang psikopat kejam yang berperilaku aneh.
Tiba-tiba tanganya menyentuh pipiku dan mengusapnya lembut, tentu saja aku kaget, bukan karena dia lancang menyentuhku, tetapi karena aku merasakan seperti sebuah percikan dan sengatan listrik kecil dikala kulit tanganya bersentuhan dengan kulit pipiku. Mataku terbelalak dan tak sadar mulutku membuka, dan saat itu juga dia menarik kembali tanganya.
"Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar, sungguh," ujarnya sambil mundur satu langkah dariku.
Entah mengapa aku merasa kecewa saat dia melepaskan tanganya dari wajahku. Saat aku hendak membuka suara kembali, terdengar bel sekolah berbunyi.
"Aku harus pergi, aku ada kelas Mr Moris," ucapku, yang akhirnya membuatku malu sendiri, mengapa juga aku harus memberikan informasi itu kepadanya? Memangnya dia siapaku?
Namun diluar dugaanku dia tersenyum dan tampak senang mendengar aku memberitahukannya tentang jadwal kelasku.
"Baiklah, aku akan menunggumu usai sekolah nanti, by the way aku belum tau siapa namamu"
OMG, dia benar, bahkan kami berdua belum menyebutkan nama masing-masing, dan ini merupakan cara berkenalan paling aneh dalam sejarah hidupku.
"Aku Alexander Kelvin Stewart, kau bisa memanggilku Alex"
Dia memperkenalkan dirinya.
"Namaku Vanessa, Vanessa Anderson," jawabku.
Aku tergesa meninggalkanya dan memasuki kelas Mr Moris, tapi benaku masih memikirkan ucapan terakhir Alex tadi, dia menungguku usai jam sekolah? Kenapa aku membiarkanya? Kenapa aku tidak menolaknya saja? Dan untuk apa dia menungguku? Ada urusan apa dia denganku?.
Entahlah segala sesuatu tentang Alex membuat benakku tak pernah berhenti bertanya tanya.
Usai bel sekolah aku buru-buru membereskan bukuku, mungkin aku akan pulang diam diam tanpa menemui Alex, semoga dia belum keluar kelas, namun baru saja kakiku melewati pintu kelas aku merasakan sebuah tangan melingkari bahuku"Kita pulang sekarang?," sahutnya.Aku melihatnya sepintas dari ekor mataku. "Bisa tolong kau kondisikan tangamu?," ucapku tidak menghiraukan pertanyaanya, dan untunglah dia menuruti ucapanku dan kami pun berjalan bersisian."Aku akan mengantarmu pulang, mobilku diparkir disana, ayo." Dia menunjuk ke arah dimana mobilnya terparkir."Maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa, aku tidak biasa pergi dengan orang asing, sekali lagi aku minta maaf, lagipula pamanku pasti menjemputku""Oh.. kau tidak tau saja, bahkan di alam semesta ini aku adalah orang yang paling dekat denganmu," gumamnya perlahan namun aku masih bisa mendengarnya serta melihat wajahnya yang berubah murung."Maaf? Kau barusan bilang apa?," tanyaku ingin memastikan."Ah.. tidak, bukan apa-apa, baiklah mung
Setelah selesai berdandan dan mengganti bajuku, aku menunggu Alex di sofa ruang tamu, sambil sesekali melirik penampilanku di kaca besar yang ada di pojok antara ruang tamu dan ruang TV. Aku menata rambutku sedikit curly dan memoles tipis wajahku dengan make up, juga memakai dress selutut warna jingga, tidak terlalu formal tapi tidak terkesan santai juga.Tak berapa lama aku mendengar klakson mobil dari luar, aku melihat mobil audi warna hitam memasuki pekarangan rumahku, aku beranjak dari sofa dan keluar menghampiri mobil tersebut, dan kulihat Alex keluar dari sana."Sudah siap?," tanyanya.Aku hanya tersenyum kecil dan menganggukan kepala, Alex membukakan pintu mobil untukku, mobil yang hanya berisi dua orang saja, untuk pengemudi dan satu penumpang. Kulihat selera Alex dalam memilih mobil cukup tinggi."Dimana Susan dan Liam?," tanyaku setelah Alex duduk dibelakang kemudi."Mereka jalan duluan untuk membooking tempat makan dan beli tiket bioskop untuk kita berempat," jawabnya.Sela
Pagi ini aku bersiap hendak berangkat sekolah, paman sudah berangkat pagi sekali ke kantornya, dia bilang sedang banyak kerjaan jadi tidak sempat mengantarku sekolah, akhirnya aku memutuskan untuk memesan uber.Masih mengunyah zucchini bread, aku berdiri hendak meninggalkan meja makan, meraih ponselku dan membuka applikasi taksi online tersebut. Saat itulah aku mendengar klakson mobil dari arah luar. Aku penasaran dan mengecek keluar melalui jendela rumah, dan aku melihat mobil Alex terparkir disana, sang pemilikpun terlihat keluar dan berjalan mendekati pintu rumah, meskipun aku melihatnya mendekat tak urung aku terkejut mendengar bel pintu yang berbunyi nyaring itu, tak mau membuatnya menunggu lama aku membukakan pintu."Ada apa?," tanyaku masih terheran heran dengan kedatanganya pagi-pagi sekali di rumahku."Menjemputmu, apa kau sudah siap? Kalau sudah ayo berangkat" wajah Alex terlihat sangat bahagia saat mengatakan hal tersebut."Hei tunggu! Aku belum menyatakan kesediaanku. Lagi
Aku berjalan terburu buru keluar kelas menuju kantin, sebelum Alex kembali mengekoriku, aku mengambil jalan memutar, meski harus melewati ruang guru, bukan apa apa, aku hanya risih dengan tatapan siswa lain akan kedekatanku dengan Alex, walaupun Alex sendiri bukanlah termasuk the most wanted boy di sekolah, atau mungkin akunya saja yang belum terbiasa, dan masih ada ganjalan di hatiku tentang telpon yang diterimanya saat kami makan malam.Saat sedang melintas depan ruang guru tepatnya depan ruang Miss Martha tiba tiba sang pemilik ruangan keluar dan menyapaku."Vanessa? Kamu Vanessa kan? Keponakanya Taylor?""Iya miss? Ada yang bisa saya bantu?""Ahh bukan apa apa, bagaimana kabar pamanmu?""Ohh paman, dia baik"Aku teringat Paman Taylor pernah bercerita bahwa dia punya teman yang mengajar di sekolahku. Aku langsung memberikan senyum manisku padanya."Ohh begitu, apa kamu mau ke kantin?""Iya miss, saya mau makan siang di kantin""Bagaimana kalau makan siang di ruangan saya? Kebetulan
Sepulang sekolah sesuai rencana kami semua berkumpul di rumahku untuk mengerjakan tugas yang di berikan Miss Martha, seperti kemarin aku berdua Alex di mobilnya dan Susan di mobilnya Liam, kami berpisah di persimpangan karena Susan hendak membeli bahan bahan untuk memasak di rumahku, tadi dia bilang selain belajar kami juga akan makan malam bersama dan Susanlah yang akan menjadi chefnya.Sesampainya di rumah aku melihat jendela kaca yang tadi pagi pecah telah utuh kembali, dan keadaan rumah juga sudah rapih kembali, tidak ada pecahan kaca seperti saat aku meninggalkan rumah untuk berangkat sekolah tadi pagi, mungkin paman yang sudah membereskan semua kekacauan yang terjadi tadi pagi.“Kita istirahat saja dulu sambil menunggu Liam dan Susan”Alex merebahkan tubuhnya di sofa, seolah ini adalah rumahnya sendiri. Aku beranjak ke dapur untuk mengambil minuman dan snack untuk kami berempat, sambil menunggu Susan dan Liam aku dan Alex ngobrol santai .Alex masih di sofa namun kali ini sudah
Sesampainya didalam kamar aku tak henti hentinya bertanya pada Susan, aku sungguh sangat heran dan penasaran kenapa sikap mereka bertiga sangat aneh, dan seperti penuh kekhawatiran. Sebelum sempat mendapat jawaban dari Susan tiba tiba aku mendengar suara lolongan serigala, itu terdengar sangat dekat. "Susan, apa kau dengar itu? Itu seperti suara serigala." Aku langsung melompat kaget dan terduduk di sofa kamar. "Dimana? Aku tidak mendengarnya" Jawaban Susan membuatku sangat heran karena aku yakin sekali dengan apa yang kudengar tadi. "Buka telingamu Susan, itu terdengar jelas sekali, sepertinya mereka sangat dekat dengan kita" "Tapi tidak terdengar apa apa olehku, kau tenanglah semua akan baik baik saja" Susan mengusap usap pelan bahuku dan tersenyum. Bagaimana mungkin Susan dengan santainya meminta aku untuk tenang, semua ini tidak masuk akal olehku, ditambah lagi sikap mereka, aku berusaha mencari cari celah untuk lari keluar kamar dan melihat apa yang terjadi di bawah, namun s
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Susan dan Liam kembali, mereka membawa tukang untuk membetulkan pintu rumahku yang rusak, entah mereka dapat dari mana, dan karena acara masak memasak kami tadi sempat rusak, akhirnya kami memesan pizza dan makan dalam diam, aku memberikan satu box besar pizza kepada Max, diapun makan dengan lahap. "Aku akan membereskan ini semua, dan dapur juga" Susan tiba tiba bersuara memecah keheningan. "Aku akan membantumu" sahutku. "Tidak Vaness, biar aku membereskan semuanya, kau tenang saja, lebih baik kau ke kamarmu" "Susan benar Vaness, kau istirahatlah biar tenang, sekarena kau terlihat tegang sekali, tapi kau tenang saja kali ini tidak akan ada kekacauan lagi" Liam menimpali sambil terkekeh. Jika kedua pasangan itu sudah berkolaborasi, susah sekali untuk ditentang, dan akupun akhirnya membawa Max keatas, ke kamarku untuk beristirahat dan membiarkan kekacauan di bawah di urus oleh Liam dan Susan. Karena aku terbiasa mandi sebelum tidur aku pun be
Saat pagi menjelang, aku terbangun dengan mendapati diriku yang sedang memeluk Alex. Aku terkejut melihatnya terbaring disisiku, terlebih aku memeluknya. Lalu ingatanku melayang pada kejadian semalam, saat badai turun.Lalu potongan memory bermain di kepalaku, akhirnya aku mengingat apa yang terjadi semalam. Wajahku memerah dan perlahan melepaskan tanganku yang sedang memeluk Alex. Akupun turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela kamar, kulihat salju masih turun, dan pepohonan serta rumah-rumah sudah tertutup salju tebal. Udara begitu dingin, aku bermaksud menyalakan pemanas yang ada di kamarku. Saat itulah aku tersentak kaget, teringat sesuatu.“Semalam turun salu disertai badai, dan pemanas di kamarku dalam keadaan mati, jadi bagaimana mungkin tubuhku tidak membeku?”Aku bergumam sendiri merasa heran, lalu aku menoleh ke arah Alex yang masih tertidur pulas, kulihat dia masih bertelanjang dada. Karena terkejut dan juga penasaran, aku pun menghampirinya, dan sedikit menyibakan se