Share

08. Golden Dragon

     Satu per satu dari mereka berjalan ke luar dari ruang keluarga. Hanya ada Aga dan Alex di sana. Aga melihat Alex tidak ingin kakaknya dihina. Apa lagi oleh sepupu dekatnya.

“Kak,” panggil Alex.

“Iya. Tidak perlu cemas, Lex. Kakak baik-baik saja.”

“Kakak tidak bisa diam saja.”

“Tidak papa, Lex. Hanya itu yang bisa Kakak lakukan saat ini.”

“Kakak, orangnya sabar.”

“Tidak juga kok, Lex. Ada saatnya Kakak juga kesal.”

“Kakak banyak berubah. Lebih dewasa menghadapinya. Kehidupan di luar membuat mental Kakak jadi kuat.”

“Iya begitulah, Lex. Tidak selamanya kita akan memegang sendok emas.”

“Sabar, Kak.”

“Terima kasih, Adikku yang perhatian.” Aga iseng mengacak-acak rambut adiknya.

“Kakak ini iseng,” kata Alex merapikan rambutnya.

“Tidur sana. Besok kamu pergi kuliah.”

“Kakak belum mau tidur?”

“Nanti. Kakak masih mau jalan-jalan ke taman dahulu.”

“Jangan terlalu dipikirkan, Kak.”

“Iya, adikku yang manis.”

“Enak saja. Memang aku gula,” kata Alex berjalan ke luar dari ruang keluarga.

     Dua orang pelayan masuk ke ruang keluarga dan mendapati Aga masih duduk di sana. Mereka berdua ingin membereskan makanan dan minuman yang di meja.

“Mas Aga masih mau di sini?” tanya salah satu pelayan memberanikan diri.

“A, mau dibersihkan ya?”

“Iya, Mas Aga.”

“Silahkan. Saya mau jalan-jalan ke taman.”

“Iya. Mas Aga.”

     Aga memilih mencari udara segara di taman karena udara di ruang keluarga terasa sesak. Dia menghela napas seolah beban di pundaknya hilang sedikit.

“Belum tidur, Mas Aga?” tanya seorang pria. Tiba-tiba berjalan mendekati Aga dalam kegelapan.

“Astaga. Siapa kamu?”

“Saya, Mas Aga,” kata Cakra berjalan mendekatinya.

“Apa yang Pak Cakra lakukan di sini?”

“Itu. Saya melihat bintang,” jawabnya seolah tidak meyakinkan.

“O.”

“Apa yang  Mas Aga lakukan di sini?”

“Menghirup udara segar.”

“Jangan terlalu dipikirkan dan dimasukkan hati. Cara bicara Mos memang seperti itu. Tidak bisa diubah sudah dari sananya.”

“Aku tidak memikirkan perkataan Mos. Pak Cakra kok tahu?”

“Pelayan-pelayan membicarakan di belakang. Suara Mos cukup untuk didengar dan tidak perlu menguping.”

“Iya. Suaranya menggelegar.”

“Apa yang mau Mas Aga lakukan?”

“Maksud Pak Cakra?”

“Mas Aga akan diam saja setelah diremehkan?”

“Sekuat apa pun, aku melawan mereka tidak bisa.”

“Alasannya?”

“Mos sepupuku.”

“Mas Aga, Mas Aga. Tidak bisa berpikiran seperti ini. Ini bisnis, Mas Aga.”

“Iya. Aku tahu. Kakek juga akan mengumumkan pewarisnya.”

“Lalu Mas Aga diam saja?”

“Iya mau bagaimana lagi, Pak Cakra.”

“Hatimu terbuat dari emas, Mas Aga.”

“Aku anggap perkataanmu sebagai pujian.”

     Mereka tertawa. Aga bisa mendapatkan udara segar di malam hari ini walaupun seharusnya untuk istirahat. Mereka berdua masuk ke rumah untuk istirahat. Aga bisa bangun sesukanya, tetapi Cakra tidak bisa. Tanggung jawabnya sebagai sopir pribadi Papa As.

     Harum masakan Mama Lud tercium sampai ke kamar Aga.

“Aaaa, sudah pagi saja,” kata Aga menguap.

“Masih ngantuk.” Aga mengambil posisi duduk.

     Aga mengambil ponsel di nakas untuk melihat jam. Padahal di dinding terdapat jam berukuran besar.

“Masih pagi.” Aga melihat pukul 06.00 pagi.

“Wangi. Mama masak apa ya? Mandi dahululah daripada diomelin.”

     Aga berjalan lima langkah menuju kamar mandi yang terdapat di dalam kamar tidurnya. Dia hanya perlu membersihkan diri karena pakaian dan pernak-perniknya sudah ada. Tanpa perlu mencari.

     Aga mengenakan bath robes untuk menutupi tubuhnya dan mengeringkan.

     Crekkk.

     Aga berjalan ke luar dari kamar mandi. Dia berjalan ke walk in closet untuk mengambil pakaian yang akan dikenakan. Dia hanya perlu mengambil sesuai dengan keinginannya.

“Oke punya,” katanya melihat cermin dengan setelan jas warna yang sama dengan dasi.

     Crekkk.

     Aga berjalan ke ruang makan yang bersebelahan dengan dapur bersih.

“Aga,” panggil Mama Lud.

“Iya, Ma. Masak apa?” tanyanya.

“Makanan kesukaanmu.”

“Puyung hai?”

“Iya. Duduklah.”

“Papa dan Alex mana?”

“Kamu tidak menanyakan kakekmu?”

“Bukankah kakek masih tidur? Biasanya begitu. Tidak tahu kalau sudah berubah.”

“Kakek ada di taman.”

“O.”

“Kakak,” sapa Alex.

“Hari ini ada kuliah?”

“Ada, Kak. Baru selesai sore hari. Sampai rumah malam.”

“Kok malam?”

“Kakak ini tidak pernah muda saja.”

“Kamu sudah punya pacar?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Tidak punya. Aku berkumpul dengan teman-teman di restoran cepat saji dan mengerjakan tugas. Pulang tinggal istirahat tidak memikirkan tugas kuliah lagi.”

“Iya juga. Awas saja kalau udah punya pacar tidak memberitahu Kakak.”

“Ma, Kakak posesif,” kata Alex mengadu pada Mama Lud.

     Mereka langsung diam ketika Papa As dan Kakek Aga masuk ke ruang makan.

“Apa yang kalian bicarakan? Asyik sekali,” kata Papa As.

“Bukan pembicaraan yang penting. Kita sarapan dahulu,” ajak Mama Lud.

     Mereka sarapan tanpa suara, setiap kali dilakukan di keluarga ini. Ketika makan di meja makan. Tujuannya adalah supaya tidak tersedak. Ada benarnya juga.

     Aga melihat kakeknya selalu lebih dahulu selesai makan. Padahal dahulu beliau memerlukan waktu yang lama ketika makan. Aga melihat Kakek Aga berjalan ke luar dari ruang makan.

“Ga, Papa tunggu di mobil.”

“Iya, Pa.”

     Setelah sarapan, Papa As mengajak Aga ke kantor lagi.

“Kita mau ke kantor lagi, Pa?” tanya Aga di mobil.

“Iya.”

“Aku mau ngapain di kantor. Tidak ada yang bisa aku lakukan.”

“Ikut saja tidak perlu protes atau membantah.”

“Iya. Aga tahu, tetapi untuk apa juga ke kantor. Apa Papa mau anakmu ini diremehkan terus?” tanya Aga yang membuat Papa As menoleh dan menatap tajam.

     Aga menyadari jika pertanyaannya salah. Dia langsung diam dan menatap ke arah luar.

     Sesampainya di kantor, seperti biasa beberapa karyawan yang berpapasan memberi salm. Lebih tepatnya memberi salam pada Papa As. Jalan yang diikuti Aga menuju ruang kerja beliau. Aga mengingatnya sebelum dia ke luar dari rumah dua tahun yang lalu.

“Masuklah,” kata Papa As mempersilakan Aga.

“Iya.”

     Suara ketukan pintu.

“Masuk saja.”

“Selamat pagi, Pak.” Seorang pria mengenakan setelan jas warna yang sama dengan Aga.

“Selamat pagi. Duduk.”

“Aga,” panggil Papa As membuat Aga sadar dari lamunannya.

“E, iya.”

“Perkenalkan ini Ben. Dia sekretaris dan sopir pribadimu.”

“Ben, saya minta kamu bantu Aga di kantor atau bantu apa yang dia perlukan. Pendidikannya pascasarjana akutansi, tetapi dia tidak mau bekerja di perusahaan sampai saya memanggilnya. Dia memilih jadi chef.”

“Tidak ada salahnya menjadi chef,” sahut Aga.

“Iya tidak ada yang salah. Yang salah itu ada perusahaan tidak mau kamu kelola.”

“Maaf, Pak. Saya diminta untuk bersama Mas Aga?” tanya Ben.

“Iya. Saya minta tolong padamu. Bantu dia, apa yang dia perlukan.”

“Iya, Pak.”

     Aga berharap Ben bisa membantunya setiap saat dan bisa membantu dengan rencananya. Tidak boleh ada yang tahu, termasuk Papa As yang memintanya bekerja dengan Aga.

“Mas Aga, kita ke pabrik sekarang,” ajak Ben.

“Iya.” Aga mengiakan.

     Mereka berdua ke luar dari ruang kerja Papa As dan menaiki lift walaupun letak pabrik bersebelahan tetap membutuhkan mobil.

“Ben, aku menolak untuk ke pabrik.”

“Mas Aga, tetapi Pak As meminta saya mengantar ke pabrik.”

“Aku tahu dan mendengarnya dengan sangat jelas. Papa memperkenalkanmu denganku supaya membantuku. Bukan begitu?”

“Iya, Mas Aga.”

“Iya sudah ikuti saja ke mana pun aku pergi.”

     Aga mengendarai mobil yang diberikan Papa As. Sebenarnya ini juga mobil dia karena mobil hasil kerja kerasnya diganti dengan yang baru. Ben duduk di bangku penumpang di sebelah Aga.

     Aga mengajaknya ke sebuah klub. Golden gradon – sebuah klub mewah yang dihadiri oleh orang-orang kaya generasi ketiga karena generasi pertama sudah berumur, dan generasi kedua ada yang sudah berumah tangga sehingga enggan untuk ikut kembali.

“Ini di mana, Mas Aga?” tanya Ben yang belum mengetahui tempat ini.

“Golden Dragon.”

“Ini, ini tempat apa?”

“Ayo. Turun saja,” ajak Aga menarik tanga Ben.

     Aga melihat Ben menggeleng dan dibalas dengan senyuman oleh Aga. Ben berpikir bisa membantu anak bosnya.

“Ayo, kamu bisa menari enggak?” tanya Aga dengan berteriak karena suara musik yang keras.

“Enggak, Mas Aga,” jawab Ben menggeleng.

“Kenapa musiknya seperti ini? Tidak nyaman. Apakah DJnya ganti?” gumam Aga.

     Aga berjalan ke tempat DJ.

“Aga,” panggil seorang pria yang sudah pasti mengenalnya.

“Hai, Kama.”

“Akhirnya pulang juga.”

“Eits tunggu dahulu. Papa yang memintaku pulang.”

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kama pemilik Golden Dragon.

“Bersenang-senang. Aku ganti musiknya.”

“Kamu bisa memainkannya?” tanya Kama tidak yakin.

“Bisa dong. Aku pernah mengikuti temanku seorang DJ.”

“Cobalah.”

     Aga memainkan musik dengan jari-jarinya yang cekatan mengatur setiap tombol. Dia melihat ke bawah dan mendapati beberapa dari pelanggan menikmati musik yang dimainkan.

“Ternyata kamu bisa,” puji Kama.

“Iya dong. Aku kembali ke sana.”

“Iya. Hubungi aku jika ada yang diperlukan. Aku pulang dahulu. Papa telefon.”

“Iya. Hati-hati.”

     Aga berjalan ke tempat Ben berada.

“Kamu sudah pesan minuman Ben?” tanya Aga.

“Sudah. Ini Mas Aga.” Ben menunjukkan gelas yang berisi jus jeruk.

“Apa ini? Jus jeruk?” tanya Aga tertawa.

“Iya, Mas Aga.”

“Iya sudah. Aku tidak akan memaksamu. Aku ke sana dahulu mau ambil minuman.”

“Iya, Mas Aga.”

     Aga berjalan ke arah bartender karena dia ingin memesan koktail.

     Tiba-tiba, Aga melihat sosok pria yang dikenalinya duduk bersama dua wanita di kedua sisinya.

“Aga.” Mos berdiri menatap lekat dan wajahnya memerah.

“Mos.” Aga menatap Mos dengan santai.

     Sontak saja membuat Mos terkejut dengan kedatangan Aga ke tempat yang seharusnya tidak dikunjunginya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status