Share

07. Pemberitahuan Kakek Aga

     Aga mengumpulkan tenaga untuk berdiri. Dia juga perlu menutupi wajah dari rasa malu. Dia berpikir bagaimana menatap mereka dan menatap karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya.

     Aga datang ke kantor dengan Papa As. Tentu saja beliau sudah pulang atau pergi ke mana. Dia tidak bisa pulang.

“Sial. Naik taksi ini,” kata Aga kesal.

     Aga berjalan ke lobi dan mendapati taksi yang masuk ke halaman kantor. Setidaknya dia tidak perlu jalan ke depan untuk menunggu taksi.

“Permisi, Pak. Apakah sedang menunggu penumpang?” tanya Aga sopan.

“Iya, Pak.”

“Iya sudah.”

     Aga sedikit berjalan jauh untuk menunggu taksi.

“Benar juga. Ngapain masuk ke sini kalau tidak ada yang memesan.”

     Aga berjalan ke gerbang.

“Sial. Benar dugaanku.”

     Aga kesal karena harus menunggu taksi di depan gerbang dengan debu-debu dari kendaraan yang melewati dihirupnya.

     Uhuk.

“Sial, mana ini taksinya.”

“O itu.” Aga melihat taksi.

     Aga berjalan mendekat pada taksi dan membuka pintunya.

“Ke mana, Pak?” tanya sopir taksi.

“Jalan saja, Pak. Nanti akan aku katakan jika sudah berjalan jauh dari sini.”

“Baik, Pak.”

     Sepanjang perjalanan ponsel Aga berdering tanda panggilan telefon, dia tidak melihatnya. Bahkan membiarkan ponselnya terus berdering.

“Pak tidak diangkat panggilan telefonnya?” tanya sopir taksi memastikan penumpangnya baik-baik saja.

“Iya, Pak. Biarkan saja tidak penting.”

 Sopir taksi hanya mengikuti arahan yang dikatakan oleh Aga.

     Sampai di depan gerbang rumah.

“Ini, Pak. Terima kasih.”

“Iya sama-sama. Ini rumahnya besar sekali.”

“Bukan rumah aku, Pak. Ini rumah kakek.”

     Satpam yang berada di pos melihat Aga.

“Mas Aga, sebentar.”

“Iya, Pak.”

     Satpam membuka pintu gerbang dengan deretan kunci yang dibawa dan hafal semua kunci.

“Mas Aga dari mana. Kenapa tidak minta sopir untuk jemput?”

“Saya belum ada sopir, Pak. Apa papa sudah pulang?”

“Sudah, Mas Aga.”

“Saya masuk dahulu.”

“Silakan, Mas Aga.”

     Langkahnya biasa saja padahal mau masuk ke rumah. Setidaknya air dingin di dalam lemari pendingin menunggu untuk diminum.

     Aga melihat seorang pelayan membukakan pintu untuknya. Mungkin terlihat lemas terkena panas matahari. Dia melihat jam tanagn menunjukkan pukul satu siang.

“Akh wajar saja jika panas.”

“Terima kasih,” ucap Aga pada pelayan yang membukakan pintu untuknya.

     Aga tidak mendapati siapapun di dalam. Padahal satpam mengatakan kalau Papa As ada di rumah.

“A, mungkin salah lihat,” kata Aga berjalan ke dapur.

     Aga mengambil air dingin di lemari pendingin ternyata dia melihat ada botol jus di sana. Dia memilih mengambil itu.

“Aga,” panggil Mama Lud.

     Uhuk.

“Mama ke luar dari mana?”

“Maaf, Mama mengagetkanmu. Mama dari dapur di luar.”

“Papa sudah pulang?”

“Bukannya pulang bersamamu?”

 Aga menggeleng.

“Coba di ruang kerja.”

“Iya, Ma. Biarkan saja.”

“Kamu pulang dengan siapa?”

“Naik taksi, Ma. Ma, aku ke kamar ya. Alex belum pulang kan?”

“Belum. Adikmu pulang malam, sebelum makan malam.”

“Iya sudah. Aku mau ke kamar.”

     Aga berjalan ke kamarnya, dia berhenti di depan kamar Alex tidak mendengar suaranya.

“Mungkin belum pulang.”

     Crekkk.

     Aga masuk ke kamar dan mendapati kamarnya sudah bersih dan rapi.

“E, mereka yang membersihkannya,” katanya menyadari jika dia hanya perlu mengatakan pada pelayan.

     Aga meletakkan ponsel di nakas dan merebahkan tubuhnya di tempat tidur dengan kasur yang empuk.

“Apa bisa aku menjalankan perusahaan seperti mau Papa? Mereka lebih kuat jauh dari yang aku pikirkan.”

     Suara ketukan pintu di kamar Aga.

“Masuk.”

“Mau tidur?” tanya Mama Lud.

“Tidak, Ma. Masuk saja.”

“Kamarmu masih sama seperti kamu ke luar dari rumah.”

“Iya, Ma.”

“Tidak ada yang mau ceritakan dengan mama?”

“E, sepertinya tidak ada. Lagi pula, Aga yakin bisa mengatasinya. Mama tidak perlu cemas dengan apa yang dilakukan Aga. Aga pasti akan melakukan yang terbaik untuk keluarga ini.”

“Iya. Mama yakin kamu bisa melakukannya. Istirahatlah. Mama mau menyiapkan makan malam dahulu. Kakekmu mau makan malam di sini.”

“Iya, Ma.”

     Aga memilih untuk memejam menghabiskan waktu dua jam untuk istirahat.

     Teng, teng, teng.

     Jam dinding di rumah berbunyi setiap jam dengan angka genap. Jam menunjukkan pukul 6 sore.

“Sudah malam,” kata Aga melihat ke luar jendela dengan langit yang sudah gelap.

“A, makan malam.”

     Aga berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia tidak ingin tampil sempurna seperti ke kantor. Hanya saja pakaian santai dikenakannya.

     Crekkk.

     Aga berjalan ke ruang makan dan mendapati suara mereka sedang berbincang.

“Aga,” panggil Kakek Aga.

“Selamat malam, Kek.”

“Malam. Duduklah. Kursimu masih sama dan tidak ada yang berani menempatinya.”

“Iya, Kek,” ucap Aga melihat Papa As dan Mama Lud.

“Alex belum pulang?” tanya Aga cemas dengan adiknya.

“Sebentar lagi,” kata Mama Lud.

“Kita makan saja dahulu,” ajak Kakek Aga.

     Mereka sudah memegang sendok dan garpu di tangan mereka.

“Aku pulang,” teriak Alex berjalan ke ruang makan.

“Kakek,” sapa Alex.

“Mandi dahulu sana,” pinta Kakek Aga.

“Iya, Kek.”

     Sepuluh menit kemudian, Aga melihat Alex sudah duduk di depannya.

     Mereka menikmati makan dengan masakan Mama Lud. Di rumah ini hanya Mama Lud yang ahli dengan makanan karena beliau adalah chef.

“Kakek ingin berkumpul di ruang keluarga. Setelah selesai makan,” pinta Kakek Aga.

“Iya, Kek,” jawab Papa As.

     Mereka saling menatap karena tidak biasanya Kakek Aga mau menemui mereka, setelah makan malam. Biasanya beliau langsung pergi ke kamarnya untuk istirahat atau sekadar nonton televisi di kamarnya.

     Makan malam ini bersama dengan Keluarga Paman Bimo yang artinya ada Mos dan Tante Wening juga. Namun, Aga tidak merasakan dirinya diremehkan oleh Mos atau karena ini di rumah Papa As sehingga Mos menjaga sikap.

“Canggung?” tanya Kakek Aga pada mereka yang berada di ruang keluarga.

“Tidak, Pa,” kata Papa As memberanikan diri menjawab.

“Kita jarang dan tidak pernah berkumpul. Ada yang mau dikatakan?” tanya Kakek Aga seolah mengetahui apa yang terjadi.

     Dua pelayan masuk ke ruang keluarga dengan masing-masing membawa teh hangat dan dessert sebagai penghangat di malam hari.

     Masing-masing dari mereka mengambil cangkir yang berada di depan mereka.

“Kakek mengajak kalian berkumpul karena ada yang mau diberitahu.”

“Apa itu Kek?” tanya Alex juga memberanikan diri untuk bertanya.

“Kakek akan memberitahu pewaris. Seseorang yang akan melanjutkan perusahaan.

     Mereka yang berada di ruang keluarga saling menatap satu sama lain. Terutama Aga dan Mos, mereka berdua kandidat yang akan menjadi pewaris.

     Aga berpikir jika perkataan Kakek Aga secara tidak langsung mengajaknya untuk berkompetisi dengan Mos. Dia bisa saja, tetapi Mos tetaplah sepupunya. Dia tidak bisa menjatuhkan sepupunya dengan kompetisi seperti ini.

“Kek, apa tujuan sebenarnya? Apa kakek mau aku berkompetisi dengan Aga?” tanya Mos tanpa tedeng aling-aling.

“Kurang lebih seperti itu,” jawab Kakek Aga.

     Aga gemetar memegang cangkir.

“Menarik, Kek,” kata Mos.

“Mos tidak yakin Aga bisa melakukannya.” Mos meremehkan Aga.

     Aga tidak membalas perkataan Mos karena akan terjadi perdebatan. Dia tidak mau karena kumpul keluarga ini bukan untuk perdebatan. Itu menurutnya.

“Aga pasti akan menghabiskan uang saja. Mundur saja, Ga,” kata Mos meremehkan Aga.

“Ga, mundur lebih baik daripada kamu membuang waktu dan tenagamu. Gunakan saja untuk bersenang-senang. Apa perlu aku carikan tempat untuk bersenang-senang? Kehidupan dua tahunmu tidak bisa bersenang-senang. Ups maaf kelewat batas.

“Ga, aku sangat berterima kasih kalau kamu mau mundur dengan sendirinya. Aku juga tidak harus capek-capek yang tidak sebanding denganku.”

     Lagi-lagi, Aga hanya diam untuk mengalah. Dia tidak membalas ucapan Mos. Sikap Aga membuat Papa As cemas dengan posisinya di perusahaan. Sikap Aga yang diam hanya diremehkan oleh Paman Bimo, Mos, Tante Wening, dan terakhir Kakek Aga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status